CIREBON, BERITALINGKUNGAN.COM — Perwakilan Komunitas Rakyat Penyelamat Lingkungan (Rapel) Riky Sonia menjelaskan bahwa sebelum ada PLTU di Cirebon, kebanyakan warga berprofesi sebagai nelayan pinggiran. “Mayoritas masyarakat, khususnya Desa Kanci Kulon adalah nelayan pinggiran,” ujarnya.
Nelayan pinggiran, menurut Riky, sebagai korban PLTU yang perlu diperhatikan, karena keberadaan mereka tidak diakui oleh pemerintah. Selama ini, pemerintah kerap menganalogikan nelayan sebagai warga yang memiliki kapal atau perahu.
“Nelayan pinggiran itu unik, karena tidak punya kapal dan lahannya mencari ikan adanya di pantai, bukan di laut dalam,” jelas Riky. Sejauh ini, istilah nelayan pinggiran cuma ada di Cirebon.
Padahal secara harafiah, menurut Riky, yang disebut nelayan adalah masyarakat yang beraktivitas dan mencari nafkah di laut. “Laut kan luas, bukan hanya laut dalam. Pantai dan pesisir juga merupakan bagian dari laut,” ujar Riky yang merupakan Warga Kanci Kulon.
Secara umum, wilayah PLTU Cirebon 1 meliputi Desa Kanci Kulon. Sementara yang masuk wilayah PLTU Cirebon 2 terdiri atas lima desa, yakni Waru Duwur, Kanci Kulon, Kanci Wetan, Astanamukti dan Tangenan. Kelima desa itu berada di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Astanajayapura dan Kecamatan Mundu.
PLTU, menurut Riky membutuhkan lahan yang luas, dengan tenaga kerja yang sedikit. Itu sebabnya, tidak banyak warga lokal yang mampu bekerja di PLTU. “Kebanyakan menggunakan tenaga ahli, sehingga tidak mungkin warga disini bekerja di PLTU,” ungkapnya.
Jika pun menggunakan tenaga lokal, maka sifat pekerjaannya jangka pendek. Selesai proyek, maka selesai juga pekerjaannya.
“Sedangkan yang paling penting adalah melibatkan penduduk lokal. Tapi itu tidak mungkin, karena yang dibutuhkan adalah tenaga ahli,” ujar Riky.
Akhirnya, warga yang tanahnya digusur untuk pembangunan PLTU beralih profesi menjadi kuli bangunan, atau mengerjakan apa saja untuk menafkahi keluarga.
“Dengan adanya PLTU sangat terganggu sekali, karena mata pencaharian hilang,” terang Riky. Sebelum ada PLTU, masyarakat tidak mengenal istilah kelaparan. Jika tidak ada uang, mereka tinggal ke laut untuk mencari ikan.
“Dalam 3 jam mereka bisa mendapatkan ikan. Itu luar biasa sekali. Banyak yang bisa dicari dan dijual,” katanya.
Ketika musim ombak tiba, para nelayan memilih menjadi petambak garam. Biasanya aktivitas itu dilakukan bertepatan dengan musim kemarau. Ini yang membuat kegiatan ekonomi masyarakat tidak ada matinya. “Itu dilakukan saat di laut sepi atau jika kegiatan tambak garam sudah dimulai.” papar Riky.
Dampak PLTU
Riky menjelaskan jika muara yang merupakan lokasi berdirinya PLTU Cirebon 1 sebagai lumbung ikan, kerang, dan udang ebi. Sejak dahulu masyarakat memanfaatkan kawasan tersebut sebagai sumber penghidupan.
“Yang nyari disitu bukan hanya warga sekitar, banyak yang datang dari Indramayu, Kuningan ke situ. Dan proses pengambilannya dilakukan setiap hari,” ujarnya.
Riky menambahkan, “Itu sebabnya daerah Kanci terkenal sebagai kawasan sumber ikan.”
Namun berdirinya PLTU, mengakibatkan biota laut jauh berkurang. Bahkan terumbu karang ikut rusak. Akibatnya, mata pencaharian masyarakat terganggu, karena tidak bisa melaut. “Jika pun memaksa, maka aksesnya tidak bisa lewat, karena dipagar sama PLTU,” ungkap Riky.
Sementara itu, ketika masyarakat tetap ke laut, hasilnya nihil. Mereka menyadari hal itu, namun terpaksa melakukannya, karena tidak memiliki keahlian lain. Mereka juga tidak mampu beralih profesi.
“Dan yang perlu digarisbawahi, dampak PLTU bukan hanya dari segi dampak lingkungan atau perekonomian, sosial budaya masyarakat juga terpengaruh,” katanya.
Terbukti, selama proses pembangunan PLTU, masyarakat kerap mengalami intimidasi dan diskriminasi. “Caranya dengan merekrut preman untuk diadu di antara masyarakat,” jelas Riky.
Selain itu, di tahun 2016, Rapel didukung WALHI Jabar melakukan riset terkait kesehatan masyarakat pasca hadirnya PLTU. Mereka melakukan survei ke beberapa puskesmas setempat. Hasilnya, ditemukan peningkatan penyakit infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA.
“Sebelum dan sesudah ada PLTU sangat signifikan perubahannya. Artinya sebelum ada PLTU, penyakit ISPA berada di posisi nomor kesekian, namun sesudah ada PLTU, penyakit itu menduduki posisi pertama,” jelasnya.
Warga Mengugat
Menurut Riky, warga menolak kehadiran PLTU sejak awal berdiri. Selain melakukan aksi demonstrasi di lapangan, mereka juga mengajukan gugatan ke pengadilan. “Aksi hampir setiap hari dilakukan di sekitar sini. Itu dilakukan pada 2007 – 2011,” ungkapnya.
Selain itu, warga juga melayangkan surat keberatan kepada para pendana (investor). Salah satunya ke Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan ke PTUN Bandung. Di PTUN warga dimenangkan.
“Di PTUN kita menang, namun sampai sekarang, PLTU terus beroperasi dan tidak berhenti,” ujar Riky.
Saat itu, pihak PLTU tidak melakukan banding. Namun uniknya, ketika pengadilan memutus untuk mencabut izin usahanya, ternyata pihak PLTU mengurus kembali izin dengan nama yang baru.
“Dicabut izinnya, bikin lagi yang baru, tanpa ada sosialisasi. Itu secara aturan jelas salah,” ujarnya.
Tidak hanya itu, proses pembangunan PLTU Cirebon 1 dinilai cacat secara hukum, karena tidak memiliki analisis dampak lingkungan (AMDAL). Saat itu, sosialisasi ke masyarakat tidak dilakukan. Proses pembangunannya dimulai di tahun 2007, sementara AMDAL baru muncul di tahun 2008.
“Itu jelas salah, karena AMDAL seharusnya sudah ada sebelum PLTU berdiri. AMDAL juga mewajibkan untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat,” terang Riky.
“Ini gak ada. Ujug-ujug ada pembangunan PLTU. Makanya waktu itu, masyarakat tidak mengerti apa itu PLTU,” imbuhnya.
Harapan Warga
Harapan warga saat ini adalah bisa kembali ke laut, seperti dahulu. Mereka ingin mencari ikan, udang dan kepiting. Warga tidak akan terpengaruh dengan iming-iming apa pun.
“Dari warga, sejak awal konsisten untuk menolak, karena tidak ada solusi lain. Ntah itu CSR atau masuk sebagai pekerja, sepertinya tidak mungkin,” tegas Riky.
Ketika ada warga yang setuju atau sependapat dengan pihak PLTU, menurut Riky, hal itu kontraproduktif dengan kegiatan yang telah dilakukan selama ini. Pasalnya, mereka telah melakukan gugatan, hingga protes ke Jepang.
“Harapan kita ingin seperti dulu. Bisa melaut, bisa cari ikan, bikin garam dan terasi. Cuma itu,”pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)