JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM –Koalisi Bersihkan Indonesia menemukan belasan bank, baik bank BUMN maupun bank milik asing, terlibat dalam sindikasi yang digunakan untuk memperparah krisis iklim dengan membiayai produsen batu bara terbesar kedua di Indonesia. PT Adaro Energy Tbk (ADRO) baru saja mendapatkan fasilitas pinjaman senilai US$400 juta atau setara Rp5,79 triliun (kurs 1$ = Rp14.475) melalui sindikasi pinjaman dari sejumlah bank.
Menyikapi hal itu, Koalisi Bersihkan Indonesia mengirimkan sejumlah karangan bunga ke kantor ADRO sebagai bentuk duka cita yang mendalam atas pencapaian ADRO mendapatkan pinjaman yang akan memperparah krisis iklim global dan mendatangkan malapetaka ekologis.
Koalisi Bersihkan Indonesia juga menemukan fakta, jika pinjaman berjangka waktu 5 tahun itu akan digunakan ADRO untuk melakukan pelunasan lebih awal atas seluruh saldo pinjaman terutang yang dimiliki salah satu anak perusahaan ADRO, Adaro Indonesia, yang merupakan lini bisnis utama pertambangan batu bara milik perseroan.
Komunitas Extinction Rebellion Indonesia, yang merupakan bagian dari Koalisi Bersihkan Indonesia menemukan, dalam laporan tahunannya, ADRO menyatakan memiliki cadangan batu bara sebesar 1.1 miliar ton. Jika batu bara tersebut dibakar, akan menghasilkan emisi sebesar 2.2 GtCO2-e, hampir 1.5 kali total emisi yang dihasilkan Indonesia di tahun 2018.
Perwakilan Extinction Rebellion Indonesia, Melissa Kowara menegaskan, jika dunia saat ini sedang menghadapi krisis iklim. Karena itu, bukan hanya tugas pemerintah untuk mengatasi krisis ini, namun semua lapisan masyarakat termasuk lembaga keuangan selaku pemodal.
“Mereka tidak seharusnya mendanai proyek-proyek yang malah memperburuk krisis iklim dan membawa kita lebih jauh menuju keruntuhan ekologis dan kepunahan massal. There is no financial return on a dead planet”, tegas Melissa Kowara.
Menurut Melissa, Bank BUMN yang termasuk di dalam sindikasi adalah Bank Mandiri, BNI dan BRI. Padahal, Bank Mandiri baru saja menerbitkan sustainable bond sebesar USD 300 juta. Bank Mandiri memanfaatkan momentum pasar maraknya demand atas sustainable bond untuk mendapatkan dana segar.
Namun, di saat yang sama, Bank Mandiri tidak menghentikan pembiayaan ke batu bara yang jelas-jelas merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar. “Hal ini menunjukkan masih nihilnya komitmen keuangan berkelanjutan dari bank-bank BUMN,” tegas Melissa.
Sebelumnya, dalam sesi diskusi “Green Finance: Tren Global dan Arah Lembaga Keuangan Nasional”, ekonom Faisal Basri menyatakan, bank yang masih memberikan pinjaman untuk proyek energi kotor tidak berkomitmen mewujudkan ekonomi hijau.
“Seharusnya bank sudah beralih memberikan pinjaman untuk pengembangan energi bersih,” ujar Faisal Basri pada Selasa (20/4).
Menurut Faisal, ketika bank-bank dalam negeri, termasuk BUMN, masih memberikan pinjaman ke industri batu bara, maka komitmen mereka tidak murni green financing.
“Tapi greenwashing atau berdiri dua kaki dengan membiayai proyek energi bersih, tapi di waktu bersamaan masih membiayai perusahaan batu bara,” tegas Faisal yang juga ekonom UI.
Sementara itu, peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo menyatakan “terdapat indikasi konflik kepentingan yang begitu kuat di balik keputusan problematik sejumlah bank BUMN mendanai bisnis energi kotor batu bara Adaro Energy”.
Bank Mandiri, BNI, BRI yang secara serempak memutuskan untuk memberi dana, berada dalam naungan Kementerian BUMN yang dipimpin oleh Erick Thohir, adik kandung dari CEO Adaro Energy, Garibaldi Thohir. Kelindan kepentingan itu, menurut Andri telah menyebabkan prinsip pendanaan berwawasan lingkungan diabaikan.
“Dalam kerangka kebijakan yang lebih besar (Grand Policy) ini juga semakin menggenapi paket keistimewaan yang diperoleh Adaro Energy dari rezim pemerintahan saat ini, setelah dalam UU Minerba terbaru mereka mendapatkan jaminan kepastian perpanjangan izin operasi secara otomatis,” tegas Andri.
Sementara itu, di regional, bank-bank dari Malaysia, yaitu CIMB dan Maybank dan bank asal Singapura, UOB juga terlibat dalam sindikasi ini. “Padahal, CIMB tahun lalu baru saja mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi pembiayaan di sektor batu bara,” terang Andri.
Koordinator perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat Pius Ginting menilai, keputusan CIMB untuk tetap membiayai ADRO sangat bertolak belakang dengan komitmennya untuk mengurangi asset produktif pada sektor batu bara.
Banyaknya lembaga keuangan berbasis di Malaysia dan Singapura yang memberikan dukungan keuangan bagi industri batu bara menjadi sebuah ironi. Sebagai negara yang terpengaruh akibat asap dan badai, menurut Pius, pendanaan investasi pendanaan tersebut telah merugikan rakyat Malaysia dan Singapura, termasuk Indonesia yang rentan bencana terkait perubahan iklim.
Binbin Mariana, perwakilan Indonesia Energy Finance Market Forces menilai, bank BUMN dan bank regional yang tidak konsisten dengan komitmennya, juga dialami oleh bank asal Inggris, Standard Chartered dan HSBC yang terlibat dalam sindikasi bank tersebut.
Meskipun Standard Chartered mengaku telah memiliki kebijakan pembiayaan batu bara, namun Standard Chartered tetap terlibat dalam pembiayaan ADRO. “Hal ini menunjukan betapa lemahnya kebijakan batu bara yang diusung oleh Standard Chartered,” tegas Binbin.
Slogan Standard Chartered, Here For Good menurut Binbin, tidak berarti apa-apa jika mereka terus membiayai perusahaan batu bara yang bisnisnya dapat memperburuk perubahan iklim global.
“Standard Chartered mengatakan mereka peduli dengan perubahan iklim, atau mengakui bahwa mereka telah mendanai perusahaan batubara yang memperburuk perubahan iklim – tapi jelas Standard Chartered tidak dapat melakukan keduanya secara bersamaan,” ujar Binbin Mariana.
Sisilia Nurmala Dewi dari Indonesia Team Leader 350.org, bagian dari Koalisi Bersihkan Indonesia menilai, masyarakat Indonesia terutama anak mudanya sudah semakin cerdas menyikapi bahaya krisis iklim. Tidak perlu seorang jenius untuk melihat sentimen pasar yang haus akan pembangunan berkelanjutan.
“Bank dan investor harus memilih, apakah akan membangun untuk keselamatan umat manusia atau menyelamatkan elite batu bara. Kami tunggu komitmen institusi keuangan dan para investor untuk segera berhenti mendanai energi fosil,” pungkas Sisilia.
Ketika pembiayaan dalam jumlah fantastis ditujukan untuk kepentingan ekspansi bisnis batu bara ADRO, Koalisi Bersihkan Indonesia yakin, komitmen Adaro Energy untuk melakukan diversifikasi energi baru sangat lemah dan tak ubahnya jargon. Terlebih pernyataan pihak ADRO sebelumnya yang menyatakan batu bara sebagai pilar utama bisnis perseroan. (Jekson Simanjuntak)