JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Koalisi Keadilan Iklim terdiri dari Yayasan Madani Berkelanjutan, Kemitraan, WALHI, Yayasan PIKUL, dan IESR menyambut baik keputusan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca pada 2030 dari 29% menjadi 31,89% dengan upaya sendiri dan dari 41% menjadi 43,2% dengan bantuan internasional.
Direktur Program Kemitraan Dewi Rizki menilai peningkatan target ini cukup menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menanggulangi perubahan iklim global.
“Penguatan seharusnya disertai mekanisme partisipasi publik yang bermakna dan inklusif serta memperhatikan berbagai sektor agar pilihan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia benar-benar berjalan efektif dan tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk bagi kelompok rentan,” ujarnya.
Saat ini, krisis yang dihadapi masyarakat akibat perubahan iklim begitu nyata. Berbagai pilihan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ternyata sebagian malah memperburuk kapasitas adaptif ekosistem dan masyarakat.
“Bahkan apabila dilakukan secara membabi buta seringkali melupakan dampak sosial dan lingkungan,” ungkapnya.
Di Kota Kupang, NTT, misalnya, pembangunan infrastruktur penahan gelombang sebagai pilihan aksi perubahan iklim mengabaikan kebutuhan nelayan tradisional. Di Kabupaten Malaka, NTT, infrastruktur pencegah banjir justru meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap banjir. Di Pekalongan, Jawa Tengah, tanggul yang dibangun untuk menahan air laut justru menghambat aliran nutrisi sehingga mangrove tidak bisa berkembang dengan baik.
Hal serupa juga terjadi di Pulau Obi, Maluku Utara, yang luasnya hanya 2500 km persegi telah dibebani 19 izin pertambangan nikel. Sebagiannya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik. “Pertambangan dan smelter pun masih tergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang menghasilkan banyak emisi,” katanya.
Seharusnya dipahami bahwa subyek utama dari aksi penanggulangan perubahan iklim adalah manusia dan ekosistem tidak bisa dipisahkan. Karena itu, intervensi aksi perubahan iklim harus seimbang dan dalam konteks aksi adaptasi seharusnya mendapatkan porsi yang setara atau lebih besar daripada mitigasi.
“Selain itu, pemerintah pusat maupun daerah harus melibatkan partisipasi masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan yang perlu dipenuhi dalam melakukan pilihan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” ujar Dewi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengingatkan bahwa penguatan ambisi iklim Indonesia harus dilakukan oleh sektor hutan dan lahan (FOLU) serta energi yang saat ini menjadi penyumbang utama pengurangan emisi dalam Enhanced NDC.
“Peningkatan target pengurangan emisi ini patut diapresiasi, terutama karena besarnya dana dan kolaborasi multi pihak yang dibutuhkan untuk mencapainya,” ujar Nadia.
Nadia menambahkan, “Ambisi ini dapat lebih ambisius mengingat target Indonesia dalam FOLU Net Sink 2030 jauh lebih besar. Target ini semestinya diadopsi ke dalam NDC selanjutnya.”
Dalam Enhanced NDC, angka deforestasi total periode 2020-2030 dalam skenario upaya sendiri justru meningkat menjadi 359 ribu ha per tahun, lebih tinggi dibandingkan total deforestasi dalam First NDC Indonesia 2016 dan Updated NDC 2021 sebesar 325 ribu ha.
“Padahal, Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat deforestasinya selama 4 tahun berturut-turut,” ujarnya.
Sementara dari sektor energi, koalisi mengapresiasi peningkatan penurunan emisi yang lebih tinggi dari sektor energi yakni 44 MtCO2e atau naik 14% dari target di Updated NDC.
Hanya saja, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyayangkan, kenaikan tersebut masih belum selaras dengan upaya yang dibutuhkan untuk memastikan pemenuhan target global menahan kenaikan temperatur di bawah 2°C/1,5°C.
“Penurunan emisi dari sektor energi masih dapat ditingkatkan apabila ada kenaikan target bauran energi terbarukan menjadi 42% di 2030,” ujar Fabby
Penurunan emisi yang lebih tinggi, menurut Fabby bisa didapatkan dengan memasukkan pensiun dini PLTU serta akselerasi penggunaan kendaraan listrik, serta penerapan efisiensi energi dari bangunan serta industri.
“Sayangnya hal itu belum dimasukkan dalam perhitungan penurunan emisi di NDC,” katanya.
Sementara berkaitan dengan adaptasi, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL. Torry Kuswardono menekankan bahwa seharusnya aksi adaptasi sejalan dengan agenda pembangunan dan tidak boleh menyebabkan sesuatu yang lebih buruk atau maladaptasi.
“Meskipun NDC telah menyebutkan integrasi lintas-sektor, pada aras implementasi di tingkat nasional, koordinasi dan kolaborasi antar sektor masih menjadi pertanyaan besar, mengingat aksi-aksi pembangunan yang bernuansa iklim maupun tidak bernuansa iklim, masih saling berbenturan dan berdampak negatif bagi keselamatan warga,” ungkapnya.
Oleh karena itu, koalisi menyoroti minimnya konsultasi dan partisipasi publik, terutama masyarakat sipil dan masyarakat adat dalam penyusunan Enhanced NDC. Padahal, masyarakat adalah kelompok terdepan dan langsung terdampak perubahan iklim.
Selain itu, Persetujuan Paris mengafirmasi pentingnya partisipasi publik dan akses publik terhadap informasi serta pelibatan seluruh aktor dalam seluruh proses penanganan perubahan iklim, termasuk penyusunan NDC.
Senada dengan itu, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional Hadi Jatmiko menilai, penyusunan dan implementasi NDC seharusnya didasari semangat “no one left behind” dalam penanganan perubahan iklim dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
Penguatan mekanisme konsultasi dan pelibatan yang bermakna bagi seluruh pihak dalam proses penyusunan maupun implementasi NDC adalah hal yang mutlak. “Hanya dengan mekanisme partisipasi publik yang bermakna, Indonesia dapat benar-benar menyatakan aksi yang ada di dalam NDC dan mampu menyelamatkan rakyat dari krisis iklim yang terjadi dan semakin dirasakan saat ini,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)