Ilustrasi, panen padi yang dilakukan petani di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Foto : Beritalingkungan.com/Marwan Azis. |
JAKARTA, BL- Beras impor kembali membanjiri pasar ketika beberapa daerah sedang panen. Masuknya beras negeri tetangga ini secara psikologis mempengaruhi pasar yang diindikasikan oleh jatuhnya harga di level petani.
Seperti diberitakan sejumlah media, ribuan ton beras asal Vietnam masuk ke pasar Cipinang. Padahal kuota impor yang dimandatkan kepada Bulog untuk tahun ini sudah terpenuhi dan pemerintah tidak memberikan izin
impor tambahan. Diyakini beras diimpor dengan mengunakan izin impor beras khusus oleh importir.
Masuknya impor beras ini menambah besar jumlah impor beras indonesia yang sebelumnya telah dilakukan Bulog. Setiap tahun indonesia terus mengimpor beras. Jika demikian predikat importir beras terbesar akan terus dipegang. Dari statistik impor beras dunia pada tahun 2010 lalu, Indonesia berada di posisi kesembilan sebagai pengimpor beras. Bahkan menurut data UNINDO, pada periode tahun 1999-2003 Indonesia menjadi pengimpor terbesar seluruh dunia dengan volume mencapai 13,229 juta ton.
Terkait masuknya impor beras disaat kuota Bulog telah terpenuhi, Said Abdullah, Koordinator Advokasi dan Jaringan, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) kepada Beritalingkungan.com menyayangkan sekaligus mempertanyakan terjadinya hal ini. Menurutnya, menjadi pertanyaan besar ketika tugas Bulog selesai tetapi impor masih ada. Padahal tugas pengadaan beras untuk memenuhi cadangan pangan dan stabilisasi harga hanya dimandatkan kepada Bulog.
Selama ini impor beras khusus memang “sepi’ dari pengawasan. Dengan demikian membuka peluang bagi importir untuk berbuat nakal. Tahun 2007 lalu importir juga memasukkan beras untuk konsumsi hotel dan restoran hingga 185.000 ton. Selain beras ketan, beras khusus dibetes terselip beras menir padahal pada waktu itu produksi cukup.
Menurut Said, fenomena ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengontrol perdagangan beras. Semestinya pemerintah selaku regulator memiliki niat kuat dan kemampuan untuk mengendalikannya. “Pemerintah telah gagal melindungi petani dalam negeri dengan membiarkan terjadinya praktek impor dengan izin khusus karena yang menerima dampak terbesar dari situasi ini tentu saja petani indonesia sendiri,”ujarnya.
Perdagangan beras yang dilakukan oleh importir sangat rawan terjadi free rider. Izin impor sangat mungkin disalahgunakan dengan mengimpor beras untuk dilempar kepasar umum. Sementara pengawasan sangat lemah. Selama ini publik lebih banyak ditarik perhatiannya pada impor yang dilakukan bulog. Sepinya pengawasan bisa jadi pintu belakang bagi masuknya beras impor dengan label izin impor beras khusus.
Munculnya impor ini juga menunjukkan kuatnya tarik menarik kepentingan didalam pemerintah sendiri. Hal ini diindikasikan dengan saling lempar tanggung jawab antara Kementerian Pertanian dan Kementrian Perdagangan.
Dalam pernyataannya seperti yang dilansir sejumlah media, Kementerian Pertanian menyatakan bahwa izin impor dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan setelah ada rekomendasi. Dalam realisasinya Kementerian Perdagangan yang melakukan pengawasan. Sementara Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa secara teknis ketentuan impor beras khusus (jenis dan jumlah) diatur oleh Kementerian Pertanian.
“Silang pendapat dan lempar tanggungjawab diantara kementerian menunjukkan pemerintah memang tak ingin melindungi produksi dan produsen dalam negeri. Ujar Said. “Jika memang pemerintah memiliki paradigma dan kemauan untuk melindungi dan menyejahterakan petani saling lempar tanggungjawab tidak dilakukan. bukankah kementerian-kementerian itu bagian dari satu pemerintahan?,”tambahnya.
KRKP mengharapkan pemerintah bisa bersikap lebih tegas dalam menunjukkan niatnya melindungi petani. Pemberian sanksi bagi importir nakal tidak lah cukup. Sanksi tidak dapat merubah banyak hal.
Menurut Said, sudah saatnya pemerintah merubah paradigma dalam memandang pangan (beras). Pangan hendaknya dipandang sebagai hak dasar setiap warga negara. Karenanya sebuah pengingkaran jika pangan diserahkan ke pasar karena hanya akan menimbulkan persoalan.
Sudah saatnya paradigma kedaulatan pangan dilakukan. dengan demikian persoalan pangan menjadi domainnya pemerintah bukan lagi pasar. “Pada akhirnya hak atas pangan setiap warga negara dapat terpenuhi. Pada sisi yang lain kesejahteraan petani selaku produsen pangan dapat ditingkatkan,”tandasnya. (Marwan Azis).