JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Penasehat Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Deni Gumilang mengatakan, pembiayaan energi terbarukan di Indonesia semakin terbuka seiring meningkatnya komitmen negara maju membantu transisi energi terbarukan di negara berkembang.
Pembiayaan tersebut membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah yang dapat meminimalisir risiko pendanaan dan meningkatkan minat investasi ke energi terbarukan.
Saat ini, menurut Deni, sudah tersedia berbagai macam instrumen de-risking (pengurangan risiko) pendanaan energi terbarukan untuk Indonesia, diantaranya penyediaan jaminan, green bond (sukuk hijau), dan pinjaman lunak (concessional debt). Namun, instrumen de-risking perlu didukung dengan kebijakan dan regulasi yang dapat mengurangi risiko investasi energi terbarukan, diantaranya melalui penetapan target energi terbarukan secara jelas.
“Selama ini masih banyak perbedaan target penurunan emisi di pemerintah. Jika ada konsistensi dalam target, maka kerjasama antar seluruh pemangku kebijakan akan lebih mudah dijalankan,” kata Deni dalam forum Indonesia Energi Transition Dialogue (IETD) 2021 hari kelima, Jumat (24/09/2021).
Selanjutnya, Deni menjabarkan bahwa Indonesia perlu memperhatikan dukungan teknis pembangunan energi terbarukan yang terintegrasi, menciptakan iklim perizinan yang mendukung proyek skala kecil, dan meningkatkan kredibilitas proyek energi terbarukan agar bisa bankable dalam memperoleh pendanaan.
Menanggapi hal itu, Presiden Direktur PT SMI, Edwin Syahruzad mengatakan, pihaknya sudah menyediakan proyek de-risking dengan pemberian dukungan teknis. Hal itu akan memudahkan pengembang untuk mengakses teknologi dan pembiayaan suatu proyek energi terbarukan.
Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Faisal Basri tidak menampik jika energi terbarukan dibutuhkan untuk mendorong perkembangan ekonomi Indonesia. Sebab, apabila dekarbonisasi tidak dilakukan, Indonesia diprediksi mengalami defisit energi yang cukup besar.
“Kalau tidak segera melakukan dekarbonisasi maka tahun 2040 kita akan defisit energi sebesar USD 80 miliar. Karena kita lebih banyak mengimpor daripada ekspor energi,” terangnya.
Hal Itu terjadi karena kebutuhan energi yang meningkat tajam dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, pemerintah butuh rencana jangka panjang dalam makro ekonominya dengan cara mempercepat dekarbonisasi.
Namun pada kenyataannya, kebijakan pemerintah belum berpihak pada energi terbarukan. “Hal itu tercermin dari APBN yang masih memberi subsidi ratusan triliun untuk energi fosil,” tegasnya.
Faisal lalu menekankan agar pemerintah perlu mengedepankan kebijakan yang nyata untuk mendukung riset energi terbarukan. Juga memastikan perkembangan industri energi terbarukan agar Indonesia tidak menjadi konsumen semata.
Senada dengan itu, Manager Program Ekonomi Hijau IESR Lisa Wijayani mengungkapkan bahwa sinergitas pertumbuhan ekonomi dengan transisi energi penting dilakukan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia.
“Ada beberapa kesempatan (opportunities) yang dapat dikembangkan seperti melalui pengembangan kendaraan listrik, melakukan efisiensi energi, menciptakan industri hijau sehingga dapat menciptakan banyak lapangan kerja hijau,” terangnya.
Sementara itu, Founder dan CEO Council on Energy, Environment, and Water (CEEW) Arunabha Ghosh menyampaikan bahwa penting untuk menyelaraskan pengembangan sumber daya manusia sehingga mampu memenuhi lapangan pekerjaan hijau (green jobs) yang akan tercipta, seiring transformasi energi dan ekonomi negara.
“Di India, kita mempunyai dewan keterampilan (skill council) untuk pekerjaan hijau yang dibentuk untuk mendorong tenaga kerja di energi terbarukan. Di dalam dewan tersebut, terdapat berbagai program untuk melatih puluhan ribu orang dari berbagai latar belakang, tidak harus lulusan universitas ternama,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)