Para peneliti di PhenoRob Cluster of Excellence di Universitas Bonn – sedang meneliti penggunaan drone di bidang pertanian. Foto: Volker Lannert / Universitas Bonn.
BONN, BERITALINGKUNGAN.COM– Penggunaan drone untuk memantau lahan dari serangan gulma dan robot yang menargetkan serta mengobati penyakit tanaman mungkin terdengar seperti fiksi ilmiah, tetapi sebenarnya sudah terjadi, setidaknya di beberapa lahan pertanian percobaan.
Peneliti dari Klaster Keunggulan PhenoRob di Universitas Bonn sedang memajukan digitalisasi cerdas pertanian dan telah menerbitkan daftar pertanyaan penelitian yang harus diutamakan di masa depan. Makalah mereka telah terbit dalam “European Journal of Agronomy.”
Bahwa bumi sekarang memberi makan lebih dari delapan miliar orang adalah tidak terlepas dari keberhasilan pertanian berkinerja tinggi modern. Namun, kesuksesan ini datang dengan biaya yang tinggi. Metode budidaya saat ini mengancam keanekaragaman hayati, sementara produksi pupuk sintetis menghasilkan gas rumah kaca, dan bahan kimia pertanian mencemari badan air dan lingkungan.
Banyak masalah ini dapat dikurangi dengan menggunakan metode yang lebih terarah, misalnya dengan hanya menggunakan herbisida pada bagian-bagian tertentu dari lahan yang menjadi masalah gulma daripada memperlakukan seluruh area.
Kemungkinan lainnya adalah untuk mengobati tanaman yang sakit secara individual dan hanya menggunakan pupuk di tempat yang benar-benar diperlukan. Namun, strategi-strategi seperti ini sangat rumit dan hampir tidak mungkin dikelola secara luas dengan cara konvensional.
Memanfaatkan teknologi tinggi dan Artificial Intelligence (AI) untuk menjadi lebih berkelanjutan dan efisien
“Salah satu jawabannya bisa menggunakan teknologi digital cerdas,” jelas Hugo Storm, anggota Klaster Keunggulan PhenoRob. Universitas Bonn telah bermitra dengan Forschungszentrum Jülich, Institut Fraunhofer untuk Analisis Cerdas dan Sistem Informasi (IAIS) di Sankt Augustin, Leibniz Centre for Agricultural Landscape Research di Müncheberg, dan Institut Penelitian Bit Gula di Göttingen dalam proyek berskala besar yang ditujukan untuk membuat pertanian lebih efisien dan ramah lingkungan menggunakan teknologi baru dan kecerdasan buatan (AI).
Para peneliti berasal dari berbagai bidang, termasuk ekologi, ilmu tanaman, ilmu tanah, ilmu komputer, robotika, geodesi, dan ekonomi pertanian. Dalam makalah posisi yang baru diterbitkan, mereka menetapkan langkah-langkah yang mereka yakini harus diatasi sebagai prioritas dalam jangka pendek.
“Kami telah mengidentifikasi beberapa pertanyaan penelitian kunci,” kata Storm seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman Universitas BONN (08/05/2024).
Salah satunya adalah pemantauan lahan pertanian untuk mendeteksi kekurangan nutrisi, pertumbuhan gulma, atau serangan hama secara real-time. Gambar satelit memberikan gambaran kasar, sedangkan drone atau robot memungkinkan pemantauan yang lebih rinci.
Yang terakhir dapat mencakup seluruh lahan secara sistematis dan bahkan merekam kondisi tanaman individual dalam prosesnya. “Salah satu kesulitan terletak pada menghubungkan semua informasi ini bersama,” kata rekan Storm, Sabine Seidel, yang mengoordinasikan publikasi bersamanya: “Misalnya, kapan resolusi rendah sudah cukup? Kapan hal-hal perlu menjadi lebih rinci? Bagaimana cara terbang drone agar mencapai efisiensi maksimum dalam melihat semua tanaman, terutama yang berisiko?”
Data yang diperoleh memberikan gambaran tentang situasi saat ini. Namun, petani pada dasarnya tertarik untuk menimbang berbagai strategi potensial dan implikasi mereka yang mungkin: berapa banyak gulma yang dapat ditoleransi tanaman saya, dan kapan saya perlu campur tangan? Di mana saya perlu menggunakan pupuk, dan berapa banyak yang harus saya aplikasikan? Apa yang akan terjadi jika saya menggunakan pestisida lebih sedikit?
“Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini, Anda harus membuat salinan digital dari lahan pertanian Anda, seakan-akan,” jelas Seidel. “Ada beberapa cara untuk melakukannya. Sesuatu yang masih perlu diteliti peneliti adalah bagaimana menggabungkan berbagai pendekatan untuk mendapatkan model yang lebih akurat.”
Metode yang sesuai juga perlu dikembangkan untuk merumuskan rekomendasi tindakan berdasarkan model-model ini. Teknik-teknik yang dipinjam dari pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan memiliki peran besar dalam kedua area ini.
Petani harus terlibat
Namun, jika produksi tanaman benar-benar ingin mengadopsi revolusi digital ini, para petani mesti terlibat atau dilibatkan, karena mereka yang akan menggunakannya.
“Ke depan, kita harus lebih fokus pada pertanyaan apa yang dibutuhkan untuk menjamin penerimaan ini,” kata Profesor Heiner Kuhlmann, seorang geodesis dan salah satu pembicara Klaster Keunggulan bersama dengan kepala grup robotiknya,
Profesor Cyrill Stachniss. “Anda bisa menawarkan insentif keuangan atau menetapkan batasan hukum tentang penggunaan pupuk, misalnya.” Efektivitas alat-alat seperti ini, baik sendiri maupun dalam kombinasi, juga bisa diukur saat ini menggunakan model komputer.
Dalam makalah mereka, para peneliti dari PhenoRob juga menggunakan contoh untuk menunjukkan apa yang mampu dilakukan teknologi saat ini. Misalnya, “saudara digital” dari area yang sedang ditanami dapat dibuat dan diberi aliran data berbagai jenis dengan bantuan sensor, misalnya untuk mendeteksi pertumbuhan akar atau pelepasan senyawa nitrogen gas dari tanah.
“Dalam jangka menengah, ini akan memungkinkan tingkat pupuk nitrogen yang diterapkan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman secara real time tergantung pada seberapa kaya nutrisi suatu titik tertentu,” tambah Profesor Stachniss.
Di beberapa tempat, revolusi digital dalam pertanian sudah lebih dekat daripada yang mungkin kita kira (Marwan Aziz)