JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM –Sejumlah Civil Society Organization (CSO) terdiri dari ELSAM, ECOTON, GEMAWAN, Koalisi Buruh Sawit (KBS), SAWIT WATCH, YADUPA, SKPKC Fransiscan Papua, PAPUAN VOICES, KRuHA, Lembaga Peduli Masyarakat Mimika Timur Jauh (LEPEMAWI) dan GempaR-Papua menyerukan keprihatinannya terhadap kualitas air di Indonesia yang terus memburuk.
Pada peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret 2021 yang mengangkat tema “Valuing Water” atau “Menghargai Air”, koalisi masyarakat sipil mendorong pemerintah untuk serius dalam memastikan pemenuhan hak atas air dan sanitasi bersih bagi setiap warga negara.
Saat ini, persentase sungai tercemar berat dari tahun ke tahun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 terus meningkat. Ditengarai penyebab utama adalah aktivitas industri.
Air bersih juga semakin penting, karena digunakan untuk menegakkan protokol kesehatan dikala pandemi. Kegiatan cuci tangan sesering mungkin menjadi hal yang tidak bisa diabaikan.
Kondisi itu, tentu menyulitkan masyarakat yang kerap mengalami kelangkaan air bersih. Akibatnya, pemenuhan hak atas air dan sanitasi menjadi persoalan yang tak kunjung selesai.
Salah satu faktanya bisa ditemui pada perkebunan sawit di Arso Timur Kabupaten Keerom, Papua. M. Busyrol Fuad, staf advokasi dan periset ELSAM menyebut para buruh yang tinggal di area perkebunan hanya mengandalkan air sumur yang disediakan perusahaan.
“Akibatnya, saat musim kemarau, air kering dan sistem irigasi tidak bekerja sama sekali. Untuk mengatasinya, para buruh mengandalkan waduk yang letaknya cukup jauh dari rumah”, ujar Busyrol.
Selama ini, air ditarik menggunakan pipa biasa tanpa ada filter untuk dialirkan ke barak-barak buruh. “Sedangkan untuk kebutuhan minum dan memasak, keluarga buruh mengandalkan sumur sebagai sumber air minum satu-satunya, yang jaraknya 2 ratus meter dan ditempuh dengan berjalan kaki,” kata Busyrol.
Hal serupa juga dialami oleh masyarakat adat Moi Klamono yang berada di area perkebunan sawit di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Yuliana Langowuyo dari SKPKC Fransiscan Papua menyebut mama-mama masyarakat adat terpaksa menempuh perjalanan jauh untuk sekadar mengambil air bersih.
“Ini lantaran sumber air di area perkebunan telah tercemar oleh limbah dari penggunaan bahan-bahan kimia beracun di lokasi perkebunan,” papar Yuliana.
Kekhawatiran atas kelangkaan air bersih juga dialami oleh masyarakat di Kabupaten Sambas dan Ketapang, Kalimantan Barat. Masyarakat di dua kabupaten itu mengeluhkan pencemaran air sungai dan sumur mereka akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan. Bahkan limbah sawit juga dialirkan ke sungai. Akibatnya, sungai tercemar dan jumlah ikan menyusut setiap tahunnya.
Sementara itu, Sawit Watch mencatat hingga tahun 2020 terdapat sedikitnya 72 komunitas masyarakat yang berkonflik dengan perkebunan sawit untuk isu kerusakan lingkungan.
Hady Saputra dari Sawit Watch menilai perkebunan sawit tidak hanya menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air bersih. Dalam konteks yang lebih luas, hadirnya perkebunan sawit mengakibatkan hilangnya sungai-sungai kecil di suatu wilayah di sekitar perkebunan.
“Jika ini terjadi, maka berdampak pada hilangnya budaya dan kearifan lokal masyarakat adat atau masyarakat setempat yang secara turun temurun melakukan pemanfaatan dan pengelolaan air di wilayah tersebut,” ungkap Hady Saputra.
Di Jawa Timur, ECOTON menemukan 5 agen aktif pestisida, dimana 4 diantaranya amat sangat beracun dan 9 jenis pupuk mengandung logam berat yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Hal itu terungkap saat dilakukan pendataan pestisida dan pupuk yang diberikan kepada petani pada 2018 lalu.
“Pupuk dan pestisida mencemari sungai melalui praktik-praktik yang tidak memenuhi prosedur dan regulasi, seperti: mengubah ukuran penyemprot dan pemupukan sembarangan, termasuk penanaman sawit di bantaran sungai,” kata Riska Darwamati (ECOTON).
Tidak hanya merusak lingkungan, paparan pestisida dan pupuk telah meracuni buruh penyemprot yang mayoritas adalah perempuan. Hal itu terjadi, karena pada saat bekerja tidak disediakan alat perlindungan diri (APD) yang memadai.
Menurut Riska, APD memang tidak disediakan oleh perkebunan, termasuk ketiadaan informasi tentang dampak kesehatan akibat paparan senyawa beracun tersebut.
“Kondisi ini diperburuk dengan tidak tersedianya air bersih bagi buruh untuk membersihkan diri/dekontaminasi setelah bekerja,” kata Riska.
Sementara itu, Yuliana Langowuyo dari SKPKC Fransiscan Papua mencontohkan, air menjadi malapetaka bagi manusia yang tidak menjaga lingkungannya. Kasus Banjir Bandang pada Maret 2019 di Kabupaten Jayapura yang menelan ratusan korban jiwa menjadi contoh nyata. Termasuk banjir yang dialami masyarakat Yerisiam, di Kabupaten Nabire, Papua pada tahun 2016.
“Hal itu disebabkan pembabatan hutan yang meluas untuk perusahaan sawit,” terang Yuliana.
Fakta-fakta di atas memperlihatkan adanya praktik pengabaian hak-hak buruh, terkait ketersediaan air bersih yang layak. Pasalnya, air bersih menjadi kebutuhan dasar bagi manusia termasuk pekerja/buruh.
Ketiadaan air bersih sangat mengganggu karena manusia tidak bisa lepas dari kegiatan utama, seperti memasak hingga mandi. Belum lagi, pandemi Covid-19 memunculkan kerentanan, sehingga pemenuhan hak atas air bersih dan sanitasi tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) mencatat pelanggaran hak atas air akibat ekspansi yang terus menerus telah dilakukan oleh perusahaan sawit dan berdampak buruk terhadap lingkungan.
“Pertama, perusakan massal sumber air di hulu akibat pembukaan hutan untuk perkebunan, akibatnya ribuan DAS mati,” ujar Sigit K. Budiono (KRuHA).
Kedua, menurut Sigit, pencemaran sumber air warga, baik oleh pupuk, buruknya pengolahan limbah, maupun oleh bahan yang terkandung dalam sumber daya alam yang dibongkar selama proses ekstraksi.
“Ketiga, pengeringan sumber air rakyat di sekitar wilayah industri akibat tingginya konsumsi air dalam setiap proses produksi, dari perkebunan hingga pengolahan di pabriknya,” ujar Sigit.
Keempat, pembukaan lahan untuk industri ekstraktif seperti perkebunan sawit yang telah mengurangi kapasitas tanah dalam menyerap air hujan, seringkali mengakibatkan banjir di wilayah sekitar.
Kelima, perampasan air yang bahkan letaknya jauh di luar kawasan industri sawit misalnya, mengakibatkan “peningkatan permintaan dan supply air minum dalam kemasan di kawasan produksi sawit, karena kurangnya air layak konsumsi di wilayah tersebut,” ujar Sigit.
Berangkat situasi tersebut, bersamaan dengan momentum Hari Air Sedunia 2021, koalisi masyarakat sipil mendorong pemerintah melakukan prinsip-prinsip panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (UNGPs) dengan baik. Sebab, prinsip-prinsip itu menekankan adanya tanggung jawab perusahaan dalam menghormati HAM termasuk hak atas air dan sanitasi.
Untuk itu, perusahaan sudah sepatutnya memastikan kebijakan hak atas air dan sanitasi, mengidentifikasi, mencegah serta berupaya memulihkan apabila terdapat kerusakan lingkungan di lokasi operasi mereka.
Momentum Konservasi Air
Sejak diputuskan dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992, tanggal 22 Maret selalu diperingati sebagai World Water Day (Hari Air Sedunia).
Peringatan itu menjadi hajat tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus pada mendorong pentingnya konservasi air. Lebih dari pada itu, ini menjadi momentum penting peningkatan kesadaran atas krisis air global dan turut mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke-6: Ensure availability and sustainable management of water and sanitation for all.
Komitmen internasional tersebut turut diperkuat melalui Resolusi 64/292. Majelis Umum PBB pada 28 Juli 2010 secara eksplisit mengakui bahwa hak atas air dan sanitasi yang bersih sangat penting untuk mewujudkan semua hak asasi manusia (HAM).
Resolusi menyerukan kepada negara dan organisasi internasional untuk 3 (tiga) hal. Pertama, menyediakan sumber daya keuangan. Kedua, membantu pengembangan kapasitas dan transfer teknologi untuk membantu negara-negara, khususnya negara berkembang. Ketiga, untuk menyediakan air minum dan sanitasi yang aman, bersih, dapat diakses dan terjangkau untuk semua.
Sementara itu, General Comment No. 15: The Right to Water, Kebersihan lingkungan sebagai aspek hak atas kesehatan menurut pasal 12, paragraf 2 (b) mensyaratkan pengambilan langkah-langkah non-diskriminatif untuk mencegah ancaman terhadap kesehatan dari kondisi air yang tidak aman dan beracun.
Oleh karenanya, negara harus memastikan bahwa sumber daya air alami dilindungi dari kontaminasi zat berbahaya dan mikroba patogen. Demikian pula, harus memantau dan memerangi ekosistem air yang beralih fungsi menjadi habitat vektor penyakit, yang akan menimbulkan risiko bagi lingkungan hidup dan manusia. (Jekson Simanjuntak)