PEKANBARU, BL- Moratorium pemberian ijin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut harus dilanjutkan dengan beberapa perbaikan.
Salah satunya memperkuat basis hukum dari semula hanya instruksi presiden menjadi setidaknya dalam bentuk peraturan presiden (Perpres) supaya mengikat bagi para aparatur pemerintahan di bawahnya.
Hal tersebut dibahas dalam Diskusi Terbatas bertemakan “Melanjutkan Moratorium untuk Melindungi Hutan Indonesia” di Pekanbaru pekan lalu. Hadir sebagai narasumber di acara tersebut Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau, Muslim Rasyid, Aktivis Jikalahari, Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau, dan Suhardiman Amby, Ketua Pansus Perijinan DPRD Riau. Hadir memberikan keynote speech Arsjad Juliandi, Plt Gubernur Riau.
Riau adalah salah satu provinsi yang memiliki hutan tropis dan gambut yang dalam serta kaya karbon. Sebanyak 46% dari wilayah Riau merupakan wilayah bergambut yang memiliki fungsi penting sebagai carbon storage. Kini kondisinya berada dalam ancaman yang serius akibat kebakaran lahan dan hutan, serta alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan sawit dan akasia. Guna melindungi hutan alam primer dan lahan gambut, pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium selama dua periode. Periode kedua akan berakhir pada 12 Mei 2015.
Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau mengatakan bahwa saat ini fakta yang terjadi di Riau adalah lahan yang memiliki gambut dalam dan hutan alam yang masih bagus tidak termasuk dalam wilayah Peta Indikatif Penundaan Pemberian Ijin Baru (PIPPIB). Sehingga moratorium pemberian ijin baru selain perlu diperpanjang juga perlu diperluas dengan memasukkan hutan alam primer dan lahan gambut yang tersisa. Serta perlu dilakukan audit pemberian ijin yang telah dikeluarkan sebelumnya di kawasan gambut dalam yang masih di area hutan alam bagus sehingga lahan gambut yang tersisa di Riau dapat diselamatkan.
Muslim Rasjid, Aktivis Jikalahari menyatakan bahwa moratorium hutan dan gambut perlu diperkuat dengan memberikan ruang dan akses masyarakat untuk terlibat aktif dalam perlindungan dan pengelolaan hutan dan gambut itu sendiri. Blok Rimbang Baling, hutan Rumbio, hutan Buluh Cina dan hutan desa Segamai-Serapung merupakan contoh baik bahwa masyarakat lokal/adat lebih lestari dalam mengelola hutan dan lahan gambut. Skema-skema perhutanan sosial dan hutan adat dapat menjadi alas hak bagi rakyat untuk terlibat aktif dalam memperkuat moratorium itu sendiri.
Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau mengatakan bahwa kebijakan nasional tentang moratorium sejak tahun 2011, perlu diperpanjang dan diperluas terutama kaitannya terhadap aspek implementasi, pengawasan dan mekanisme sanksinya. Salah satu hal yang penting untuk dimasukkan adalah ukuran capaian keberhasilan, kendala serta upaya perbaikannya. Misalnya berapa capaian kawasan hutan yang sudah ditata batas, bagaimana mekanisme pengelolaan kawasan hutan open akses, evaluasi konsesi dan validitas izin, dan pengembangan tata kelola hutan yang lestari, termasuk didalamnya capaian pengelolaan gambut yang rendah emisi.
Pendekatan pembangunan pada gambut perlahan dan pasti harus diperbaiki, jangan terlalu mengusik karakteristik alami gambut yang harus tetap basah dan lembab. Kita harus berangkat dari niat yang sama, bekerja keras memperbaiki tata kelola hutan dan gambut di Indonesia. Saat ini kita sudah dalam kondisi daurat akan masa depan hutan dan gambut. Salah satu obat penting untuk menghentikan atau mengurangi resiko kebakaran hutan dan gambut adalah kebijakan moratorium yang harus diperpanjang dan diperluas.
Suhardiman Amby, Kepala Pansus Perijinan DPRD Riau mengatakan bahwa Pemda Riau mendukung penuh kampanye untuk melanjutkan kebijakan moratorium, tapi bukan sekedar kampanye tapi langsung melakukan monitoring terhadap kondisi hutan. Saat ini hutan yang masih tersisa hanya kurang dari 2 juta hektar dari total 7,1 juta hektar kawasan hutan. Karena itu, DPRD melalui pansus monitoring akan sesegera mungkin membuat suatu rekomendasi penyelamatan kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, konservasi sumber daya alam yang memang sampai hari ini dalam kondisi kritis.
Bagi provinsi Riau, melanjutkan moratorium hutan masih sangat diperlukan untuk meredam kerusakan hutan dan lahan gambut. Dengan adanya jeda pemanfaatan hutan untuk industri-industri besar, pemerintah dan masyarakat bisa kembali memulihkan lahan-lahan gambut dengan berbagai teknis, seperti pembangunan sekat kanal, pembasahan kembali (rewetting), penanaman sagu dan tanaman-tanaman asli lahan gambut, dan teknik-teknik lainnya. Dalam melanjutkan moratorium ke depan harus disertai sejumlah perbaikan, salah satu diantaranya adalah basis hukum untuk moratorium harus berbentuk Perpres. (Ratih)
–>