(foto: darilaut.id)
MANADO, BERITALINGKUNGAN.COM- Rapid Assessment Program (RAP) yang dikembangkan Conservation International mampu mencegah potensi kehilangan biodiversity dengan mempercepat identifikasi tanaman dan hewan. Sekarang Indonesia mampu melaksanakan RAP sepenuhnya bersama ilmuwan lokal.
Mark Erdmann, seorang ilmuwan dan konservasionis yang tertarik dengan Indonesia, saat itu tidak menyangka kunjungan bulan madu bersama istrinya ke pasar ikan di Manado Tua pada 18 September 1998 akan menjadi luar biasa. Bagi mereka yang mencintai laut, saat melihat berbagai biota laut berjajar di atas meja di pasar ikan, tentu saja sudah mati, sesuatu yang menyenangkan. Tetapi satu ikan dengan bentuk aneh menarik perhatian istrinya, karena mirip ikan purba coelacanth yang diberitakan punah di dunia tetapi ditemukan kembali tahun 1938 di Kepulauan Komoro, Afrika. Nelayan lokal Manado menyebutnya ikan raja laut.
Mark memotret dan mengunggahnya ke internet dan diskusi pun berkembang tentang apakah itu spesies coelacanth baru atau tidak. Tahun berikutnya, para nelayan kembali menangkapnya dan memberi Mark satu ekor yang bisa bertahan hidup hingga enam jam. Singkat cerita, dunia sains heboh sekaligus bergembira karena ikan itu ternyata spesies baru coelacanth yang berbeda dengan Komoro, dan oleh komunitas ilmuwan dunia diberi nama Latimeria menadoensis, sesuai tempat ditemukannya. “Saya sempat ragu tentang spesies baru ini, tetapi rupanya memang ada perbedaan fisiologis termasuk warna sisik dengan spesies di Komoro,” kata Mark. IUCN menetapkan spesies baru itu dalam kategori vulnerable (rentan punah).
Beberapa tahun berikutnya coelacanth juga tertangkap jaring nelayan di Raja Ampat, Papua Barat. Sebelumnya, fosil coelacanth yang berhasil ditemukan berusia 410 juta tahun dan diperkirakan punah pada era Cretaceous Akhir 66 juta tahun lalu, sampai ditemukan kembali di Komoro. Ilmu pengetahuan masih mempelajari bagaimana ikan ini bertahan hidup dan interaksinya dengan komponen ekosistem laut lainnya.
Cerita lain tentang kepunahan datang dari Alwyn Gentry atau Al, seorang botanist dari Missouri Botanical Garden, yang kelak juga bergabung dengan CI sebagai salah satu perancang Rapid Assessment Program (RAP). Pada 1978, Al bersama satu orang koleganya baru selesai mengumpulkan spesimen tumbuhan di hutan dataran rendah di gigir gunung Centinela di bagian Barat Ekuador. Banyak spesies baru di tangan mereka, tetapi untuk memastikan, seluruh spesimen harus dianalisis di laboratorium resmi dan terakreditasi.
Belum selesai hasil analisis diumumkan, hutan Centinela tiba-tiba dibuka untuk jalan dan beralih fungsi menjadi perkebunan kakao. Ternyata, hasil analisis memastikan terdapat 90 spesies tumbuhan baru, namun semuanya dinyatakan punah setelah perubahan fungsi hutan itu, semua spesies baru itu belum dijelaskan oleh sains secara lengkap. Dari kasus ini, ahli zoologi Universitas Harvard Edward O. Wilson mempopulerkan istilah Kepunahan Centinela (Centinelan Extinction) sebagai padanan kepunahan spesies oleh manusia sebelum ilmu pengetahuan memahaminya.
Sayangnya, kegembiraan dari Manado dan kesedihan dari Centinela tidak menghentikan laju kepunahan keanekaragaman hayati yang sangat berharga, terutama di negara-negara berkembang di wilayah tropis. Pembukaan hutan untuk perkebunan, peternakan, pembangkit listrik tenaga air, dan pabrik-pabrik, terus berderap dan dengan cepat mengubah kawasan hutan atau laut dan tak bisa dihentikan begitu saja.
Sebaliknya, pengetahuan terhadap wilayah-wilayah yang kaya dengan keanekaragaman hayati sangatlah minim. Begitu banyak kawasan, terutama di daerah tropis, yang belum pernah tersentuh para peneliti. Belum pernah diketahui apa isinya. Di lain sisi, dibutuhkan waktu relatif lama, sampai berbulan-bulan hingga satu tahun, untuk mengidentifikasi setiap spesies baru yang ditemukan di satu kawasan.
Jadi, dibutuhkan satu cara cepat untuk menghimpun data-data biologi di kawasan yang belum terjamah ini, sehingga kekayaan flora fauna bisa diungkap dan dapat diputuskan strategi konservasi macam apa yang bisa diterapkan sebelum sebuah kawasan diputuskan untuk beralih fungsi. “Betapa sedikit yang kami ketahui tentang daerah tropis, sehingga kami perlu belajar lebih banyak secepat mungkin, selagi masih ada waktu,” begitu ditulis Russell A. Mittermeier, President Conservation International saat itu.
Otak Ensiklopedik
Co-founder Conservation International Peter Seligmann mengenang awal mula gagasan RAP, yang dimulai dari perbincangan selepas makan malam di dapurnya di Washington, D.C. dengan Murray Gell-Mann, pemenang Nobel Fisika sekaligus anggota Resources Committee pada John D. and Catherine T. MacArthur Foundation yang baru saja didirikan. Adalah Murray yang mengusulkan jalan keluar brilian yaitu untuk mengajak para pakar yang paling cemerlang di bidangnya masing-masing, untuk mempercepat identifikasi spesies dalam sebuah survei biodiversitas. Bila identifikasi tanaman dan hewan dapat dipercepat, berarti akan tersedia informasi awal sebagai pertimbangan bagi pemerintah setempat dalam mengambil keputusan atas satu kawasan. Saat itu, Murray juga menyebut dua nama yakni Ted Parker dan Alwyn Gentry.
Di kalangan ahli burung di Amerika Serikat, Parker sangat disegani. Dia dianggap ornitologis paling hebat yang pernah hidup. Ia hafal luar kepala kicauan dari 4.000 spesies burung. Dia dapat mengenali 500 spesies burung di hutan Amazon, hanya dari suaranya. Bahkan, hanya dengan mendengar kicauan burung di hutan, Parker dapat memastikan apakah yang didengarnya itu kicauan dari burung spesies baru atau bukan.
Al tak kalah jenius, karena ia menemukan metode Gentry Forest Transect untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan. Metode ini, digabungkan dengan kemampuannya seperti ensiklopedi berjalan dalam identifikasi tumbuhan, cocok dengan RAP karena mampu mempercepat identifikasi spesies. Tercatat Al telah mengumpulkan sekitar 80.000 spesies tanaman, ratusan diantaranya diidentifikasi sebagai spesies baru.
Selain Ted dan Al, bergabung juga ahli ekologi hutan Robin Foster dari The Field Museum of Natural History di Chicago, dan ahli mamalia Louise Emmons dari The Smithsonian Institution. Para ilmuwan senior yang kaya pengalaman ini, menjadi panel ahli dan dapat melakukan survei keanekaragaman hayati, yang biasanya perlu waktu berbulan-bulan, hanya dalam hitungan pekan. Keempat pakar itu: Ted, Al, Louise, dan Robin adalah tim inti RAP pertama yang dimiliki CI. Sayang sekali, Ted dan Al keduanya meninggal dalam kecelakaan helikopter tragis pada 1993 di Ekuador.
RAP Lahir
Langkah selanjutnya diambil oleh Russell Mittermeier pada pertengahan 1989, ketika ia baru bergabung sebagai President CI. Russell melakukan pertemuan intensif dengan keempat pakar itu di kantornya. Ted, Murray dan Spencer mengusulkan nama program Rapid Assessment of Priority Ecosystem dan belakangan disederhanakan menjadi Rapid Assessment Program (RAP). MacArthur Foundation memberikan hibah pertama senilai US$750.000 untuk periode tiga tahun. Dan ekspedisi RAP di Madidi, Bolivia pada 18 Mei-15 Juni 1990, dinyatakan sebagai batu penjuru pertama oleh CI.
Dengan mengusung RAP, program survei keanekaragaman hayati CI tumbuh dengan pesat. Organisasi yang masih muda usia ini banyak menggelar survei biologi ke tempat-tempat terpencil yang belum pernah terjamah ilmu pengetahuan, seperti RAP pertama di Bolivia; Teluk Milne di Papua Nugini; dan di sejumlah tempat di Indonesia. Seperti tertulis dalam buku Still Counting Biodiversity Exploration for Conservation, dalam 20 tahun pertamanya (1990-2010) program kaji cepat ini berhasil menemukan 1300 spesies baru di 27 negara.
Ciri-ciri Unik
Bagaimana para ilmuwan itu melakukan RAP? Tentu saja tak mudah menentukan apakah suatu spesies berbeda dari yang pernah ada dan telah diberi nama. Bayangkan, jumlah spesies di dunia begitu banyak. Untuk kelompok taksonomi besar seperti burung, misalnya, tak kurang dari 10.000 spesies sudah diidentifikasi dan diberi nama, dan didokumentasikan secara ilmiah. Semut bahkan lebih dari 12.000 spesies. Lalu bagaimana memastikan bahwa yang mereka temukan adalah jenis yang baru?
Jika menemukan spesies yang asing, yang tak mereka kenali, para ilmuwan akan memasukkan mereka dalam kelompok spesies yang belum terdeskripsikan atau yang tidak disebutkan namanya. Kelompok ini berpotensi merupakan spesies baru, dan karena itu menjadi khasanah yang baru juga bagi sains.
Untuk memastikan bahwa spesies tersebut memang tak terdeskripsikan, para ilmuwan mengumpulkan serangkaian kecil spesimen. Ini diperlukan untuk mengevaluasi variasi morfologi atau perbedaan organ reproduksi, dan membandingkannya dengan karakter spesies sejenis yang telah diketahui. Mereka membandingkan banyak ciri yang berbeda. Misalnya, bentuk tulang, jumlah sisik di kepala, jumlah rambut atau duri pada kaki atau tekstur tubuh.
Karakter yang digunakan untuk mendefinisikan spesies baru dalam ilmu pengetahuan bervariasi dari satu kelompok ke kelompok lainnya, tapi umumnya melibatkan karakter morfologi kunci, yang sering dikaitkan dengan reproduksi. Ciri-ciri unik seperti bentuk organ reproduksi atau warna bagian tubuh yang digunakan dalam “ritual” mating, biasanya sangat berguna dalam diferensiasi ilmiah.
Begitu pula ciri-ciri perilaku, seperti suara, jeritan, atau kicauan burung. Ahli ornitologi, kerap kali mampu mengenali ratusan spesies burung yang berbeda, hanya berdasarkan satu nada. Ahli entomologi juga menggunakan suara yang dihasilkan serangga seperti jangkrik, untuk membedakan spesies, dan terkadang menggambarkan temuan baru hanya dari karakteristik irama suaranya. Di sini keahlian dan pengalaman seperti yang dimiliki Al dan Ted sangat dibutuhkan dalam mengidentifikasi perbedaan atau keunikan itu secara cepat.
Ritme cakar yang melambai pada kepiting bakau, atau bentuk jaring atau bola yang dipintal oleh laba-laba juga dapat digunakan untuk mengenali spesies. Selama survei RAP, para ahli sering membuat rekaman suara atau video dari perilaku hewan, dan data ini membantu mengkonfirmasi status spesies yang didokumentasikan.
RAP Indonesia
Di Indonesia, RAP terestrial pertama dilaksanakan oleh CI di Sungai Wapoga tahun 1998, lalu tahun 2000 di Pegunungan Cyclops dan Lembah Mamberamo, berikutnya di Pegunungan Foja sebanyak dua kali pada 2005 dan 2008. Semua kawasan RAP di Indonesia itu berada di Provinsi Irian Jaya, yang kini menjadi dua provinsi Papua dan Papua Barat. Kajian cepat kelautan (MRAP) pertama dilaksanakan di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah tahun 1998.
Survei dan pemantauan biodiversitas merupakan langkah awal untuk mengetahui data-data dasar tentang status, ancaman, dan peran keanekaragaman hayati bagi ekosistem. Informasi dasar ini kemudian digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan untuk menentukan lokasi prioritas, perencanaan, strategi, dan program konservasi yang akan dilakukan.
Kajian RAP harus menyertakan para peneliti yang mampu mengidentifikasi spesies secara cepat, agar secepatnya dapat mengumpulkan data dasar. Untuk itu, dalam setiap pemetaan biodiversitas, CI Indonesia selalu menggandeng ilmuwan senior dari lembaga-lembaga penelitian pemerintah atau universitas. Di Indonesia, sebagian besar RAP, digelar bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan lembaga-lembaga di bawahnya seperti Lembaga Oseanologi Nasional, serta sejumlah akademisi dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Hasanudin di Makasar, Universitas Cendrawasih di Jayapura, atau kampus swasta seperti Universitas Warmadewa di Bali.
Kajian biodiversitas biasanya dimulai dengan Kesepakatan Kerjasama dengan kementerian terkait (seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Kementerian Kelautan dan Perikanan), badan pelaksana serta dinas-dinas di pemerintahan daerah.
Hampir semua program besar yang digelar CI di Indonesia, dimulai dengan survei biodiversitas. Ibarat alat USG di dunia medis, RAP merekam “bisikan alam” dalam bentuk data-data biologi, seperti jumlah spesies, sebaran, mobilitas, kondisi habitat, dan ancaman yang muncul.
Ekosistem yang masih asli, terpencil, dan belum dieksplorasi menjadi semakin sedikit dan semakin terancam setiap hari. Pendokumentasian spesies dari situs-situs ini memberikan dasar ilmiah untuk memandu upaya konservasi di tingkat situs serta skala global, karena data RAP dimasukkan ke dalam IUCN Red List dan Global Biodiversity Information Facility (GBIF).
Spesimen berbagai satwa dari Pegunungan Foja, Papua, yang dikumpulkan dengan metode RAP oleh para pakar dalam ekspedisi tahun 2005 (Foto: National Geographic Indonesia)
Biasanya draft laporan RAP di Indonesia sudah dapat dibaca dalam enam bulan untuk menunjukkan indikasi awal atas kondisi ekosistem, spesies baru yang ditemukan, dan kemungkinan identifikasi lanjutan atas spesies lain. Beruntung bagi dunia sains, karena pemerintah Indonesia bersedia menunggu laporan lengkap dari setiap program RAP yang dilaksanakan oleh CI, dan tidak mengubah kawasan-kawasan itu tanpa pertimbangan menyertakan kajian ekologis yang matang.
Awal 2022 Yayasan Konservasi Indonesia (KI) sebagai mitra utama Conservation International di Indonesia, telah melakukan RAP yang dikerjakan sepenuhnya oleh para ilmuwan lokal dan tidak lagi mengandalkan para ilmuwan kelautan dari luar negeri seperti sebelumnya. Program ini dilaksanakan di perairan Maluku dengan melibatkan para ilmuwan dari Universitas Pattimura, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan para pakar dari KI. “Kami sudah mampu melaksanakan RAP sendiri setelah berpuluh-puluh tahun belajar dari kolega asing kami dari seluruh dunia,”kata Ketut Sarjana Putra salah satu Direktur CI Asia Pacific sekaligus pakar kelautan di dalam RAP itu. Hasil RAP akan disampaikan ke pemerintah, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan agar dapat menjadi dasar dalam pengambilan keputusan atas perairan tersebut. “Perairan Banda adalah lumbung ikan nasional, sehingga kami berharap melalui RAP kawasan ini dapat mendukung kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan secara berkelanjutan,”kata Ketut (IGG Maha Adi)