Foto : suakaelang.org |
Di bangunan bernama Visit Centre Suaka Elang, saya bertemu Budi. Ia adalah salasatu perawat elang yang berada disana. Suaka Elang adalah program pelestarian raptor, burung elang dan kerabatnya melalui upaya penyelamatan, rehabilitasi, dan pengembalian ke habitatnya.
Bambang Supriyanto kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) mengatakan Suaka Elang merupakan program konservasi yang bersifat kemitraan yang sesungguhnya. “Disini ada unsur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, serta lembaga bisnis,” kata Bambang.
Parapihak yang terlibat dalam jaringan Suaka Elang terdiri atas Balai TNGHS, Balai Besar Taman Nasional Gede Pangrango (TNGGP), Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPS Cikananga), International Animal Rescue Indonesia (IAR), Raptor Conservation Society (RCS), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Pengembangan Kehutanan & Konservasi Alam, PT. Chevron Geothermal Salak, Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI-Green Network), Raptor Indonesia (RAIN), Mata ELANG dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat.
Dipihnya Loji yang berada dalam kawasan TNGHS menurut Bambang karena disana memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Jawa. “Taman nasional ini luasnya 113,357 Ha. Terletak di dua Propinsi, Jawa Barat dan Banten dan meliputi Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak,” kata Bambang.
Selain itu, potensi keanekaragaman hayati di kawasan ini sangat tinggi. Dan memiliki populasi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) terbesar di pulau Jawa, bahkan di dunia yaitu sekitar 25-30 pasang. “Hampir semua jenis raptor yang ada di Pulau Jawa dan Bali bisa ditemui di kawasan ini,” imbuh Bambang.
Oleh Budi, sang perawat Elang, saya diajak memberi makan Elang Jawa yang tengah dalam proses rehabilitasi. Pada kandang elang yang terbuat dari jaring berwarna hijau terdapat dua bilik. Pada bilik pertama terdapat dua ekor elang. Dan pada bilik lainnya terdapat satu ekor. Pada setiap bilik yang berdamping itu, elang dapat terbang antar pohon atau melayang dari satu sisi ke sisi lainnya.
Makanan yang diberikan Budi pada sore itu adalah marmut. Begitu marmut dimasukkan, semua elang tetap bertengger di pohon seolah tidak lapar. “Kalau ada orang mereka tak mau makan,” kata Budi.
Ketiga elang yang tengah dirawat itu rencananya akan dilepas pada 17 Agustus 2009. Sebelum dilepas ke alam, kondisi elang harus sudah siap. Sri Mulyati petugas TNGHS mengatakan jangan sampai mereka malah terancam oleh raptor lain atau kondisi alam yang keras.
“Untuk itu lokasi pelepasan juga harus kita lihat. Apakah sudah ada raptor yang menguasai atau belum? Serta bagaimana kondisi ketersediaan makanannya,” kata Sri.
Setelah dilepas, tugas Suaka Elang juga belum selesai. “Kami akan terus memantau perkembangan elang yang telah dilepas itu,” kata Bambang.
Bagi elang-elang yang kondisinya dianggap tidak siap untuk dilepas, Suaka Elang punya perlakuan lain. “Kami tidak akan melepasnya ke alam. Karena mereka dipastikan akan gugur bertahan hidup di alam,” kata Ika Kristiana Widianingrum, petugas TNGHS lainnya.
Elang yang tidak akan dilepas itu jika cacat tetap, sehingga tidak dapat terbang untuk mencari makan di alam. Selanjutnya elang dengan kondisi itu akan digunakan untuk sarana pendidikan di Suaka Elang.
Pasalnya, kata Bambang, Suaka Elang juga dibentuk untuk memperkenalkan masyarakat kepada alam dan meningkatkan kesadaran akan nilai penting sumber daya alam yang beragam dalam sebuah ekosistem kehidupan. “Pendidikan lingkungan dan wisata terbatas menjadi salahsatu layanan Suaka Elang,” kata Bambang.
Hari sudah semakin senja. Sinar mentari di kawasan Suaka Elang mulai berkurang. Saya berpamitan pada Budi dan bertekad suatu saat kembali kesana untuk menikmati liukan elang yang terbangn di udara. (Asep Saefullah)*