Kondisi sungai Sagea, Halmahera Tengah, pada 12 Agustus 2023. Foto :Adlun Fiqri.
HALMAHERA TENGAH – Kekeruhan air Sungai Sagea di Halmahera Tengah terus menjadi perhatian. Sejak awal tahun 2024, fenomena perubahan warna air sungai menjadi lebih pekat terjadi lebih dari lima kali.
Menurut Forest Watch Indonesia, kondisi ini merupakan indikasi serius dari masalah lingkungan yang dihadapi daerah aliran sungai tersebut, yang telah berlangsung sejak 2023.
Dalam sebuah webinar yang diselenggarakan pada 04 April 2024 dengan judul “Dibalik Keruhnya Sungai Sagea”, Adlun Fiqri, Koordinator #SaveSagea, mengungkapkan bahwa aktivitas pertambangan di Teluk Weda, yang mencakup 19 izin usaha pertambangan (IUP) dengan total luas 46.129 hektare, telah menimbulkan dampak besar terhadap deforestasi dan pencemaran di beberapa sungai besar termasuk Sungai Kobe, Akejira, Waleh, dan Sagea.
Forest Watch Indonesia melaporkan pada September 2023 bahwa kekeruhan di Sungai Sagea disebabkan oleh erosi tanah dari aktivitas pembukaan hutan di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Sagea. “Kami menemukan deforestasi seluas 392 hektare dalam periode 2021-2023 dan pembukaan akses jalan untuk eksplorasi tambang serta camp pertambangan di area konsesi PT WBN dan PT HSM,” ungkap Agung, juru kampanye FWI melalui keterangan persnya (29/04/2024).
Penelitian oleh FWI juga mengidentifikasi peningkatan potensi bahaya banjir di wilayah pertambangan berdasarkan perubahan tutupan lahan dan curah hujan. Eryana, peneliti FWI, menunjukkan peningkatan signifikan dalam kategori bahaya banjir berdasarkan Flood Hazard Index (FHI).
Lebih lanjut, Sungai Sagea adalah bagian dari sistem sungai bawah tanah Gua Batulubang Bokimoruru. Menurut BPDASHL Ake Malamo, aliran Sungai Sagea berasal dari DAS Ake Yonelo dan Ake Sepo, yang juga berperan penting dalam sistem hidrologi kawasan karst Sagea.
Ahmad Cahyadi, Ahli Hidrologi Karst dari Universitas Gadjah Mada, menekankan pentingnya mengelola sumber daya air di kawasan karst dengan mempertimbangkan wilayah yang berada di luar batas batuan karst, termasuk DAS Yonelo dan DAS Sepo.
Adlun Fiqri menyerukan kepada pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin tambang di Teluk Weda dan memastikan perusahaan-perusahaan tambang bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang mereka timbulkan. “Kami meminta pemerintah untuk segera bertindak sebelum kerusakan menjadi lebih parah,” ujarnya (Marwan Aziz)