JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) dan Fakultas Kehutanan IPB University sejak Oktober 2021 mengusulkan kepada pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Petanian agar menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman kehutanan.
APKASINDO menilai ada tujuh implikasi dengan menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman di kawasan hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak produktif. Pertama, luas areal berhutan Indonesia akan meningkat drastis (16,8 juta ha). Kedua, peningkatan tingkat keanekaragaman jenis hayati pada kawasan hutan terdegradasi, kritis dan tidak produktif.
Ketiga adalah peningkatan kontribusi serapan gas rumah kaca dari areal berhutan. Keempat, nilai ekonomi dan kontribusi kawasan hutan terdegradasi semakin tinggi. Kelima, percepatan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa.
Keenam yaitu target program reboisasi/penghijauan hutan dan lahan kritis akan lebih cepat tercapai. Ketujuh, penyelesaian permasalahan kebun kelapa sawit di kawasan hutan menjadi relatif lebih mudah.
Dengan sejumlah implikasi tersebut, kelapa sawit dianggap mendapatkan perlakuan “diskriminatif/crop apartheid” sebagaimana ditulis oleh tim penyusun di dalam naskah tersebut. Perlakuan tersebut didapatkan kelapa sawit, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Dua Rekomendasi
Draf naskah akademik menghadirkan dua rekomendasi terkait dengan usulan tersebut. Pertama, usulan kepada pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Petanian dapat menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman kehutanan.
Usulan ini berdasarkan hasil kajian/analisis terhadap berbagai aspek sejarah asal-usul, bio-ekologi, kesesuaian lahan dan hidrologi, konservasi keanekaragaman hayati, iklim mikro/serapan dan emisi GRK.
Selain itu, hasil kajian menemukan dampaknya terhadap kinerja ekonomi finansial, sosekbud masyarakat sekitarnya serta keunggulan komparatif dan berbagai implikasi positif yang dimiliki. Atas pertimbangan itu, mereka mengusulkan kelapa sawit layak dan prospektif untuk dijadikan sebagai salah satu tanaman hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak produktif.
Rekomendasi kedua adalah antisipasi kerentanan sistem “monokultur” dan menjaga keseimbangan ekologis, tanaman kelapa sawit dalam skala luas seyogyanya dikombinasikan/dicampur dengan tanaman hutan unggulan setempat dan tanaman kehidupan yang diperlukan oleh masyarakat sekitarnya.
Jalan Panjang
Sebelumnya, pembahasan sawit sebagai tanaman hutan telah dibahas Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat Kajian, Advokasi dan Konservasi Alam (PUSAKA KALAM) melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Sawit dan Deforestasi Hutan Tropika” di IPB International Convention Center pada 12 April 2018. Saat itu, mereka mengundang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Salah satu rekomendasi dari FGD tersebut adalah perlu segera disusun naskah akademik “Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi”.
Setelah tertunda tiga tahun, penyusunan naskah akademis tersebut baru terealisasi. APKASINDO sebagai asosiasi petani kelapa sawit yang kemudian mengajak Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB untuk menyusun naskah akademik tersebut.
Untuk memperkaya data dan informasi yang diperlukan, telah digelar Seminar Nasional dengan tema “Permasalahan, Prospek Dan Implikasi Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi” pada 25 November 2021. Sedikitnya 22 akademisi (dosen dan peneliti berasal dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian) dan praktisi ikut berperan serta secara aktif di kegiatan tersebut.
Namun, seminar yang berlangsung hybrid ini sempat terganggu karena diretas hacker dengan mengirimkan pesan dan video tidak senonoh. Prof. Yanto Santosa, Guru Besar IPB University, menengarai banyak pihak tidak suka dengan pemilihan topik sawit dalam kawasan hutan.
Agar bersifat komprehensif, penyusunan naskah akademik menggunakan metode yang biasa digunakan pada kajian akademis, seperti menggunakan studi pustaka, wawancara, observasi/pengukuran/ pengamatan di lapangan, FGD/seminar dan studi banding.
Kecam Sawit Sebagai Tanaman Hutan
Koalisi Eyes on The Forest (EoF) mengecam upaya menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman kehutanan. Pasalnya, upaya tersebut merupakan tindakan kontraproduktif yang akan menghancurkan lebih banyak hutan yang tersisa.
“Juga menjungkir-balikkan peraturan, keilmuan dan kebijakan kehutanan yang sudah ada,” ungkap Nursamsu dari Eyes on the Forest.
Eyes on the Forest menilai kehadiran tokoh-tokoh di balik upaya itu, terindikasi sebagai akademisi yang setia membela perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terlibat kasus hukum. Contohnya Prof Yanto Santoso, Guru Besar Fahutan IPB yang sering menjadi saksi bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan menjadi ahli perkara perdata. Misalnya kasus PT Jatim Jaya Perkasa vs KLHK; KLHK VS PT National Sago Prima, serta Frans Katihokang GM PT Langgam Inti Hibrindo terpidana kasus karhutla di Riau.
Bukan hanya menjadi ahli yang membela perusahaan di pengadilan, Prof Dr Yanto menurut Koalisi EoF juga mengetuai Tim Pakar IPB sebagai ahli bersama Dr Ir Basuki Sumawinata, Dr Ir Gunawan Djajakirana, Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, Dr Ir Bahruni dan Dr Ir Lailan Syaufina pada gugatan permohonan keberatan uji materil Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ke Mahkamah Agung.
“Jelas sekali bahwa seminar yang diadakan Prof Yanto Santoso adalah kepentingan dari perusahaan kelapa sawait. Sama sekali bukan kepentingan petani, apalagi lingkungan hidup,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Implikasi kebun sawit menjadi tanaman hutan berpotensi menghilangkan kejahatan korporasi dalam kasus kebun sawit dalam Kawasan Hutan. Bahkan upaya untuk mengurangi kerugian negara akibat hilangnya pajak (kebun sawit dalam kawasan hutan) menjadi sia-sia.
Data Kementerian Pertanian (2019) menyebutkan ada sekitar 3,4 juta hektar kebun sawit ilegal berada dalam Kawasan hutan di seluruh Indonesia. Sementara itu, KPK menyebut ada kerugian triliunan rupiah akibat adanya sawit ilegal dalam kawasan hutan dan perusahaan tersebut tidak membayar pajak kepada negara.
“Masalah ini harus diselesaikan di mana pelakunya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan mengembalikan fungsi hutan lindung dan konservasi sesuai aturan,” ujar Boy Even Sembiring, direktur WALHI Riau.
Boy menambahkan, “Secara ekologis, benar sawit bukan tanaman kehutanan dan memiliki ancaman serius terhadap laju deforestasi.”
Karena itu, Koalisi EoF mendesak Pemerintah Indonesia untuk konsisten melindungi hutan dan menolak upaya pihak-pihak yang ingin menjadikan sawit sebagai tanaman hutan karena dampak buruknya terhadap hutan maupun kerugian negara.
Bukan Tanaman Hutan
Hingga saat ini, kelapa sawit masih dikategorikan bukan sebagai tanaman hutan baik oleh FAO maupun pemerintah. Bahkan keberadaan kebun sawit di kawasan hutan dianggap menimbulkan kontroversi.
Sejak tahun 2006, kebun kelapa sawit dituding mengingkatkan deforestasi dan menurunkan keanekaragaman hayati hutan tropika primer. Puncaknya, pada 21 Mei lalu Parlemen Uni Eropa mengadopsi Delegated Act RED II ILUC sebagaimana dimuat dalam Official Journal tanggal 21 Mei 2019.
Walaupun kelapa sawit menempati posisi istimewa dalam perekonomian Indonesia, karena berkontribusi Rp 200 triliun setiap tahun dan membuka lapangan kerja bagi 21,49 juta orang, pemerintah tidak akan gegabah memasukkan kelapa sawit sebagai tanaman hutan.
Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit seluas 3.4 juta ha, ternyata sebagian besar (73%) berada di dalam kawasan hutan dengan status produksi, hutan produksi terbatas dan hutan konversi. Akibatnya, berdampak buruk terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar. (Jekson Simanjuntak)