JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Direktur Kampanye Purpose Rika Novayanti mengatakan bahwa lembaganya baru saja melakukan survei atau riset tentang sikap masyarakat terkait krisis iklim. Purpose merupakan lembaga yang berfokus pada dampak sosial dengan penciptaan dunia yang lebih terbuka, adil dan harmonis dengan alam.
“Salah satu riset yang kami lakukan adalah menilai sikap masyarakat terkait isu iklim,” katanya.
Riset di lakukan di Indonesia bagian barat dan bagian tengah terhadap 2073 responden, yang dianggap mewakili keberagaman populasi di Indonesia.
Hasilnya, 9 dari 10 orang Indonesia mengkhawatirkan tentang perubahan iklim. “Ini cukup mengejutkan dan berbeda dengan banyak polling yang selama ini menyatakan Indonesia sebagai Climate Denial,” ujar Rika.
Masyarakat khawatir dengan isu perubahan iklim, karena menilai hal itu sudah terjadi di sekitar mereka. Itu terbukti ketika 89% masyarakat mengetahui tentang perubahan iklim, meskipun dengan tingkat pengetahuan yang beragam.
Sebanyak 13% responden pernah mendengar dan tahu banyak tentang perubahan iklim, 26% pernah mendengar dan cukup tahu dan 34% pernah mendengar dan tahu sedikit tentang perubahan iklim.
“Sisanya 17% pernah mendengar, tapi tidak tahu dan 11% tidak pernah mendengar,” ujarnya.
Terkait krisis iklim, Rika mengatakan, masyarakat memaknainya dengan diksi yang berbeda, namun merujuk pada peristiwa yang sama. “Ada yang bilang sebagai pancaroba, pagebluk, atau paceklik. Ini belum tepat betul secara bahasa, tapi itu dekat di kehidupan mereka,” katanya.
Hasil riset membuktikan bahwa tragedi telah menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda. Masyarakat di Bali, Jakarta, dan Sumatera Selatan sangat khawatir, karena ada hubungan yang kuat antara perubahan iklim dan pengalaman menghadapi bencana.
“Jakarta hampir 100% terkena banjir, polusi udara dan musim hujan yang panjang. Sementara di Sumsel 88% mengalami banjir, kekeringan dan polusi udara. Ketika Jakarta dan Sumsel sering mengalami bencana, warga di wilayah tersebut khawatir perubahan iklim,” kata Rika.
Sementara di Bali terjadi anomali, meskipun disana tidak ada pancaroba atau musim hujan yang panjang. Ternyata masyarakat Bali tetap khawatir akan perubahan iklim.
“Ditengarai ada hubungannya dengan ajaran agama dan ini menjadi sesuatu yang harus kita gali lebih dalam,” jelasnya.
Kekhawatiran menjadi alasan penting untuk menjaga lingkungan tetap lestari. Perlindungan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Itu sebabnya, masyarakat menilai bencana yang timbul akibat perubahan iklim telah berdampak terhadap kesehatan mental mereka.
“Ini cukup mengejutkan, ketika masyarakat menyadari bahwa bencana dan perubahan iklim tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental,” terangnya.
Sebanyak 54% responden merasakan dampaknya bagi kesehatan fisik dan 41% mengakui bahwa pengalaman bencana memberikan dampak terhadap kesehatan mental mereka.
“Ini sangat menarik untuk kesehatan mental dan belum menjadi isu mainstream. Ternyata orang Indonesia lebih advance soal kesehatan mental,” tegas Rika.
Meskipun proporsinya tinggi, Rika menyebut aspek kesehatan fisik tidak terlalu mengejutkan. Alasannya, sudah banyak penelitian yang menemukan hubungan sebab akibat antara ISPA dan penebangan hutan atau diare dengan bencana banjir.
Dari sisi kebijakan ada temuan menarik, dimana faktor penciptaan lapangan kerja, korupsi, investasi, pendidikan, kesehatan, menjaga lingkungan turut memberi warna dalam pemahaman masyarakat.
“Peringkat terkait kebijakan di Indonesia, prosentase pendidikan dominan mencapai 13%, kesehatan 12% dan menjaga lingkungan 12%,” ujarnya.
Rika menambahkan, “Melindungi generasi mendatang, keluarga dan kesehatan merupakan pendorong utama dalam menginginkan kebijakan yang lebih baik.”
Temuan lainnya, responden menilai pentingnya menjaga lingkungan bagi generasi mendatang sebesar 65%, menciptakan tempat tinggal yang sehat (61%), agar anak dan cucu aman dan bahagia (55%), menjaga ciptaan Tuhan (52%), menjaga semua mahkluk hidup di Bumi (51%) dan membangun perekonomian melalui pertanian, perikanan dan pariwisata sebesar 48%.
“Ternyata ada yang menilai Bumi itu ciptaan Tuhan. Kita sebagai manusia harus menjaga ciptaan Tuhan. Jadi ada aspek keagamaan disini,” katanya.
Lalu saat ditanya tentang tanggung jawab atas perlindungan lingkungan, responden percaya bahwa individu (orang Indonesia) berperan penting, ketimbang pemerintah atau kelompok bisnis.
Besarannya, orang Indonesia (82%), pemerintah (76%), industri/bisnis (48%), pemerintah negara-negara kaya (34%), pengusaha di negera-negara kaya (33%) dan Tuhan (17%)
Riset juga menemukan bahwa minimnya edukasi terhadap isu perubahan iklim membuat responden tidak mampu mengaitkan kebijakan dan perubahan yang lebih terstruktur akibat perubahan iklim.
Misalnya, Jika pemerintah punya kebijakan soal hutan sehingga terjaga baik, kebanyakan responden belum mampu memaknainya secara baik. Secara umum, mereka masih menilai, tidak membuang sampah sembarangan, atau membawa tas saat belanja sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan.
“Jadi ada gap edukasi disini. Dan ini sesuai NDC kita yang ingin membuat edukasi soal krisis iklim. Jadi ini merupakan gap yang harus diisi oleh pemerintah,” kata Rika.
Sementara saat ditanya, siapa yang harus mengambil aksi iklim? Ternyata ada kerpercayaan kuat bahwa Indonesia secara hukum dapat mengambil sikap tanpa harus menunggu negara lain.
Responden yang berpendapat, Indonesia seharusnya menekan gas rumah kaca tanpa harus menunggu negara lain sebanyak 48%, Indonesia harus mengurangi emisi secepatnya tanpa menunggu negara lain (24%) dan Indonesia harus mengurangi emisinya sendiri ketika pembangunan ekonomi dan kemakmuran rakyat terjamin sebesar 6%.
“Yang menganggap Indonesia seharusnya sudah bisa menurunkan gas rumah kaca tanpa harus menunggu negara lain ada 5% dan Indonesia seharusnya mengurangi emisi ketika negara yang lebih kaya sudah melakukannya sebanyak 3%,” papar Rika.
Sisanya menilai, Indonesia tidak perlu mengurangi emisinya dalam kondisi apapun (1%) dan yang menjawab tidak tahu ada 13%.
“Ini menarik dan menunjukkan bahwa kita perlu lebih banyak edukasi. Kita juga mencari tahu apa yang menjadi hambatan untuk melakukan sesuatu tentang perubahan iklim,” ujar Rika.
Secara umum, Rika menemukan ada 3 hambatan besar, yakni: kemampuan, kesempatan dan motivasi. Terkait kemampuan, hambatannya sifatnya internal. “Misalnya: saya tidak tahu apa yang bisa dilakukan,” katanya.
Sementara kesempatan merupakan hambatan eksternal dan motivasi secara emosional masih belum tersentuh.
Selain itu, kurangnya pengetahuan, relevansi dan ajakan yang jelas menjadi hambatan yang paling umum. Namun di sisi lain, ada kabar baik, dimana masyarakat masih percaya sains.
Riset ini juga menemukan fakta bahwa masyarakat memiliki kepercayaan besar terhadap pemerintah lokal sebagai pihak yang harus dipatuhi dan dituruti.
“Saat disajikan daftar entitas dan individu penyampai pesan perubahan iklim, masyarakat lebih mempercayai pemerintah daerah dibandingkan presiden, PBB, LSM, Ilmuan, media dan pemuka agama,” ungkap Rika.
Besaran proporsi pemerintah lokal mencapai 43%, kemudian pemimpin agama (35%), ilmuwan (34%), media (31%), keluarga (28) dan Joko Widodo (25%).
“Meskipun ada banyak masalah misalnya terkait izin tambang, ternyata pemerintah daerah masih dipercaya masyarakat. Selain itu, pemimpin agama lebih didengar ketimbang ilmuwan,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)