Suasana COP 17 di Durban. Foto: Elmond Jiyane /EPA/guardian.co.uk |
Pertemuan Perubahan Iklim Internasional (UNFCCC) di Durban, Afrika Selatan, membahas satu masalah besar: Protokol Kyoto sebagai satu-satunya perjanjian pengurangan emisi internasional yang diakui saat ini, akan kadaluarsa tahun depan. Jadi, bagaimana kata dunia? Berikut Laporan Veby Mega langsung dari Durban.
Sudah 3 hari ini 15000 delegasi dari 194 negara-negara berkumpul membahas kelanjutan kesepakatan perubahan iklim dunia di COP 17 UNFCCC. Namun Ketua Delegasi Indonesia untuk UNFCCC, Tazwin Hanif, mengakui memang belum ada kemajuan kesepakatan baru yang dihasilkan. Semua negara nampak masih sibuk mengulas komitmen-komitmen yang telah mereka buat dalam perundingan sebelumnya di Cancun, Meksiko, yang semuanya tertulis dalam dokumen dengan jargon “Kesepakatan Cancun”.“Tapi memang ada dua alternatif untuk melanjutkan Protokol Kyoto, yaitu membuat pelaksanaan jangka kedua atau sama sekali membuat perjanjian baru,” kata Tazwin.
Protokol Kyoto dilahirkan pada 1997 di Kyoto, Jepang dan mulai dilaksanakan pada 2005 sebagai kesepakatan 191 negara dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka 5,2 persen dari level 1990 sehingga bumi tidak naik suhunya lebih dari 2 derajat celcius. Negara-negara yang kena kewajiban mengurangi emisi tentu saja para negara maju, yang dikelompokkan dalam grup “Annex I”.
Namun hingga Protokol Kyoto akan kadaluarsa 2012, Amerika Serikat sebagai salah satu negara Annex I tetap bandel tak mau meratifikasinya. Padahal Paman Sam adalah emiter kedua terbesar dunia dan sikap ini terus dibawa mereka dalam Perundingan Durban. Satu-satunya komitmen tak terikat secara hukum yang Amerika mau setujui adalah mengurangi 17% emisi nasional mereka di bawah level 2050 pada tahun 2020.
Atas dasar itu, perjanjian baru adalah sulit. Uni Eropa dan Amerika bahkan sudah merancang startegi mendorong perpanjangan Protokol Kyoto untuk 8 tahun lagi. Tazwin menyatakan kubu negara maju maupun berkembang sebenarnya juga sama-sama sudah punya tawaran untuk melanjutkan Protokol Kyoto sesi kedua. Daripada tak ada kesepakatan sama sekali. Tak ada rotan, Kyoto kedua pun jadi.
Jika Protokol Kyoto akan diperpanjang, Uni Eropa bersedia mendukung habis-habisan dengan syarat negara-negara berkembang harus siap dengan program-program mitigasi rendah karbon mereka atau yang dijuluki NAMAs. Ini berarti negara-negara maju harus bisa menyediakan laporan yang transparan dan berstandar internasional, terutama karena donornya akan banyak berasal dari negara-negara maju.
Sebaliknya, kubu negara-negara berkembang mulai pikir-pikir ingin mengajukan tawaran “Protokol Kedua boleh saja, tapi negara-negara yang bandel tak mengurangi emisinya, dihukum dong.” Hukuman ini dikembalikan pada prosedur Protokol Kyoto, yaitu berupa keharusan mengurangi emisi 3 kali dari yang sudah disepakati atau diskors dari arena perundingan internasional untuk perubahan iklim.
Dengan posisi seperti ini, Perundingan Durban terus berlangsung. Hingga 30 November 2011, China dan India bersatu teguh dalam sikap “pokoknya lakukan dulu Kesepakatan Kankun, baru kita bicara lagi.” Kesepakatan Cancun yang lahir tahun lalu ini, salah satunya menghasilkan kesepakatan Green Fund sebesar USD 100 Miliar dari negara-negara Annex I untuk negara-negara berkembang.
Dilain pihak, Amerika dan Arab Saudi tak terlalu antusias melaksanakan pengucuran dana hijau itu. Meski demikian kedua negara ini belum menunjukkan sikap kontraproduktif, dan para delegasi mereka masih duduk manis mendengarkan setiap kali sidang umum menyinggung dana hijau ini.
Sebaliknya, Meksiko dan Afrika Selatan yang sama-sama duduk sebagai dewan Green Fund sebagai pemimpin negara-negara Afrika semakin bersemangat mendapatkan lebih banyak perhatian dunia ke benua ini lewat kampanye-kampanye mereka selama di Durban. Untuk Afrika misalnya, Afsel mengangkat isu kekeringan, kelangkaan air, polusi, populasi yang berlebihan terkait pembangunan berkelanjutan dan dampak perubahan iklim ke agrikulutur.
Tapi hingga hari ketiga negosiasi ini, tetap saja awan negosiasi belum berubah. Tazwin Hanif menyatakan,” Sampai saat ini memang belum ada yang baru dari Durban.”(Veby Mega)