Membuka akses pengelolaan kawasan konservasi kepada masyarakat, ternyata dapat meredam konflik sumberdaya alam, meningkatkan taraf hidup dan kualitas lingkungan. Masyarakat adat terbukti mampu mengelola hutan dan laut secara berkelanjutan.
Enos Sakaipelly berdiri memandang gelombang air di bawah kaki-kaki penyangga dermaga. Awal November lalu, di kampung Salio di pulau Wageo, gugusan kepulauan Raja Ampat, Papua Barat ia menunggu sasi dibuka. Sudah tiga tahun terakhir, laut di depan kampungnya ditutup untuk penangkapan ikan, teripang, kerang, maupun lobster. Mereka memang sedang melaksanakan sasi-jeda penangkapan hasil laut. Tiga tahun bukan waktu sebentar buat dirinya yang nelayan kecil. Karena tak boleh menjala di lokasi sasi, ia melaut dari desa tetangga. Tapi melihat ikan yang berlarian di air dermaga itu, ia yakin pengorbanannya terbayar.
Bila pada pembukaan sasi pertama tahun 2009 ia mendapatkan beberapa juta, sekarang pasti lebih banyak. “Ikan banyak sekali, kalau memancing di dermaga saja bisa dapat banyak,” katanya kepada Florence Soebroto dari Energi Today, dengan mimik senang. Petrus Gimla pemuda dari kampung Salpele, tetangga Salio sama gembiranya. Ia akan panen lobster dan lola-sejenis kerang. Beberapa juta diperolehnya pada sasi yang lalu, dan sekarang ia yakin pasti lebih banyak lagi setelah melihat laut di kampungnya penuh ikan. Beberapa nelayan di Salio yakin hasil buka sasi tahun ini lebih tinggi dari Rp 165 juta pada sasi pertama.
Beberapa tahun lalu kawasan konservasi laut Raja Ampat masih dikenal rawan pencurian ikan, pemboman, dan penangkapan satwa laut yang dilindungi seperti penyu. Kapal-kapal besar dari Makassar, Ambon dan Jayapura, berdatangan menangkap apa saja yang bisa dijual. Beberapa kali nelayan memergoki mereka hingga terjadi bentrokan bahkan menyita kapalnya, tetapi para pencuri ini tetap berdatangan. Akibatnya, tangkapan ikan berkurang drastis dan nelayan mulai kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Semua dimulai pada September 2008 ketika para tetua adat dari berbagai kampung nelayan di Raja Ampat, sepakat mendirikan “bank ikan” dengan cara menerapkan sasi atau masa larangan tangkap yang pertama di Pulau Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool. Sekitar seribu jenis terumbu karang dan seribu lima ratus jenis ikan di perairan itu diberi kesempatan untuk berkembang biak. Bila ikan-ikan itu dibiarkan tanpa diganggu, dalam jangka waktu tertentu jumlahnya akan berkembang biak persis seperti bank tempat menyimpan banyak uang. Satu tahun berlalu, ketika membuka sasi mereka berhasil meraup Rp 165 juta dari penjualan berbagai hasil laut, padahal sebelumnya kebanyakan hasil laut mereka untuk subsisten-memenuhi kebutuhan hidup saja. Akhir November nanti mereka menunggu buka sasi ketiga, dan harapan sudah membuncah mereka akan menikmati jauh lebih besar dari yang lalu.
Cerita serupa Raja Ampat sebetulnya makin banyak terdengar dari berbagai kawasan konservasi di Indonesia, baik dari rimbunnya hutan maupun luasnya lautan. Di dalam Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, misalnya, komunitas Ngata Toro sepakat dengan kepala taman untuk memberikan mereka akses memburu sarang lebah madu, dan menebang kayu hanya untuk rumah dan kayu bakar. Di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, telah disepakati pula daerah perlindungan laut yang ditetapkan bersama oleh masyarakat dan balai taman nasional, atau di Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, yang mendapatkan akses sangat luas di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, bahkan mereka membangun desa baru beserta seluruh perangkatnya di dalam taman nasional.
Kawasan Rawan Konflik
Kawasan konservasi Indonesia tahun 2010 luasnya mencapai 37,1 juta ha terdiri dari hutan dan laut, tetapi sarat koflik hingga hari ini. Data yang dihimpun oleh Forest Watch Indonesia misalnya menyebutkan, selama periode tahun 1990-2010 tercatat 2.585 konflik tenurial yang melibatkan masyarakat adat di 27 provinsi yang berakar pada akses dan tuntutan ikut menikmati hasil alam yang ada. Pakar kawasan konservasi IPB Profesor Hadi Alikodra mengatakan, salah satu penyebab konflik adalah tata cara penetapan kawasan biasanya dilakukan tanpa pemeriksaan tata batas di lapangan, sehingga tak mempertimbangkan adanya permukiman masyarakat adat, maupun batas-batas tradisional yang lebih dulu ada. “Batas kawasan lebih sering mempertimbangkan aspek konservasi alam tanpa melihat manusianya,”ujarnya. Akibatnya terjadi tumpang tindih, saling klaim lahan dan perebutan akses mengolah sumberdaya alam yang ada.
Macam-macam konflik yang terjadi seperti pengusiran warga dari batas Taman Nasional Leuser, Bukit Barisan Selatan, Kutai, pembakaran rumah dan pengusiran warga dan Hutan Lindung Pekasa di Sumbawa, penembakan nelayan di TN Komodo, dan berderet kisah lainnya. Apa yang dikatakan Alikodra, dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara-AMAN Abdon Nababan. Kata Abdon, karena masyarakat adat tidak diajak berdiskusi tentang peralihan status kawasan mereka menjadi kawasan konservasi, maka letupan konflik kepentingan sulit dihindari. Tambahan pula pemerintah belum mengakui hak masyarakat adat untuk ikut memanfaatkan sumberdaya alam di kawasan konservasi.
Keyakinan bahwa masyarakat adat mampu mengelola hutan secara berkelanjutan juga diungkapan peneliti kehutanan dari Center for International Forestry Research-CIFOR, Herry Purnomo. Syaratnya, mereka bisa bertahan dari iming-iming transaksi jangka pendek. Saat ini kata Herry, jalan terbaik melibatkan masyarakat di area konservasi adalah ekoturisme dan pemanfaatan hasil hutan non-kayu seperti obat-obatan nabati, damar, rotan, atau tanaman budidaya. Ia mencontohkan model pengelolaan bersama yang berhasil di Taman Nasional Kerinci Seblat, dimana masyarakat mendapatkan 100 hektare lahan taman nasional yang bisa digarap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Meski rawan konflik, selama Orde Baru gangguan terhadap kawasan konservasi relatif sangat kecil, karena rejim berkuasa menerapkan pengamanan yang represif. Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya atau biasanya disebut pula UU Konservasi Hayati. Peraturan ini tidak mengizinkan adanya aktivitas apapun di dalam kawasan konservasi. Biasanya, masyarakat dizinkan memakai zona pemanfaatan di perbatasan kawasan untuk bertani atau berkebun seperti banyak dilakukan taman nasional di Pulau Jawa. Karena tak terusik hampir 30 tahun, maka kondisi sumberdaya alam di alam kawasan konservasi sangat baik dibandingkan
di luar kawasan yang mengalami overeksploitasi.
Luas dan Jenis Kawasan Konservasi di Indonesia(Tahun 2010)
Jenis Kawasan Konservasi Jumlah Luas
(Ha)
(Ha)
Taman Nasional (TN) 50
16.375.253,31
16.375.253,31
Cagar Alam (CA) 249
4.928.928,92
4.928.928,92
Suaka Margasatwa (SM) 77
5.342.379,74
5.342.379,74
Taman Wisata Alam (TWA) 124
1.041.345,21
1.041.345,21
Taman Buru (TB) 14 224.816,04
Taman Nasional Perairan (TNP) 1 3.521.130,00
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) 41 5.014.549,00
Taman Wisata Laut (TWP) 5 278.354,00
Suaka Alam Perairan (SAP) 3 445.630,00
Total 37.152.386,22
Taman Nasional Perairan (TNP) 1 3.521.130,00
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) 41 5.014.549,00
Taman Wisata Laut (TWP) 5 278.354,00
Suaka Alam Perairan (SAP) 3 445.630,00
Total 37.152.386,22
Diolah dari berbagai sumber
Menurut Kementerian Kehutanan, jumlah desa yang berbatasan langsung atau berada di kawasan hutan saat ini mencapai 6.200 desa dengan penduduk mencapai 48,8 juta jiwa, dan lebih dari 25 persen diantaranya tergolong miskin. Masyarakat yang menggantungkan diri pada kualitas dan kuantitas sumberdaya laut dan pesisir mencapai 35 juta jiwa. Tidak mengherankan, apabila penetapan kawasan konservasi dilakukan tanpa melibatkan masyarakat tersebut, maka konflik pun sering muncul.
Ketika UU Konservasi Hayati dijadikan pegangan utama oleh pemerintah untuk mengelola kawasan konservasi, celakanya tahun 2004 pemerintah justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu No.1 tahun 2004 yang mengizinkan 13 perusahaan tambang beroperasi di hutan lindung.
Ketentuan ini dianggap tidak adil oleh masyarakat karena mereka selalu terusir dari kawasan konservasi, tetapi pemerintah malah mengalah kepada perusahaan yang aktivitasnya dapat merusak hutan. Sekitar 920 ribu ha kawasan konservasi berganti menjadi pertambangan dengan potensi kerugian, menurut Greenomics mencapai Rp 70 triliun per tahun. “Nilai kerugiannya sepuluh kali lipat dibandingkan penerimaan negara dari ke-13 perusahaan pertambangan itu,” kata Direktur Greenomics Elfian Effendi. Sikap pemerintah yang dituding memihak bisnis dibandingkan lingknugan ternyata menimbulkan perlawanan, seperti kisah tentang paus dari Nusa Tenggara Timur.
Pelajaran dari Lamalera
Bona Beding berdiri menghadap ke laut Sawu yang bergelombang tenang dan indah di pagi bulan Mei. Mengenakan sarung dan kaos oblong, pemuda ini bicara soal penolakannya pada keinginan pemerintah untuk memasukkan Lamalera sebagai Kawasan Konservasi Laut-KKL Sawu.
“Kalau sudah masuk kawasan konservasi, kami dilarang menangkap paus. Kami menolak,” katanya.
Lamalera dikenal di seluruh dunia sebagai salah satu kawasan yang masih menangkap paus secara tradisional dan turun-temurun. Sekarang tidak lebih dari lima lokasi sejenis di seluruh dunia yang melakukannya. Rupanya, sejak niat pemerintah yang didukung beberapa lembaga swadaya masyarakat-LSM konservasi diutarakan, mereka secara halus dimina menghentikan perburuan mamalia laut terbesar itu. Sayangnya menurut Bona, masyarakat Lamalera tidak pernah diajak bicara secara detil rencana kawasan konservasi itu. Beberapa nelayan yang ditemui di pantai mengaku tidak tahu harus bekerja apa bila menangkap paus dilarang. Penolakan itu disertai dengan penutupan kantor dan pengusiran aktivis LSM konservasi di Lamalera, dan menolak kedatangan para pejabat dari Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan setempat.
Cerita bergulir menjelang Konferensi Laut Dunia atau World Ocean Conference-WOC yang pertama di Manado tahun 2010 lalu. Bona dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Paus Lamalera, datng ke acara itu dan menyuarakan penolakan terhadap rencana Konservasi Laut Sawu teutama Zona II Solor, Alor, Lembata. Padahal kawasan itu berada di tengah-tengah Segitiga Terumbu Karang Dunia atau Coral Triangle Initiative yang juga diluncurkan pada perhelatan akbar WOC itu, dan dianggap sebagai salah satu prestasi pemerintah Indonesia.
Sia-sia sudah proyek yang menelan dana miliaran rupiah yang digalang oleh beberapa LSM konservasi dunia dan dana pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan. Padahal ada jalan keluar yang lebih mudah, yaitu memberikan hak eksklusif berburu paus kepada masyarakat Lamalera seperti yang dimiliki kepada Suku Eskimo, Inuit, dan komunitas Chukchi di Lingkar Kutub Utara. Hak itu bisa diajukan Indonesia kepada International Whale Commission, dan hanya berlaku untuk penangkapan dengan tujuan subsisten atau memenuhi kebutuhan hidup semata. Sayangnya, pemerintah dan aktivis konservasi berkeras ingin menghentikan perburuan paus saat itu juga, sedangkan masyarakat Lamalera tak melihat jalan keluar lain sehingga menolak.
“Tujuan membangun konservasi laut adalah untuk memastikan masyarakat Raja Ampat harus selalu bisa mengambil ikan,” kata Direktur Conservation International-CI Indonesia, Ketut Sarjana Putra menanggapi dukungannya terhadap budaya sasi di Papua. Masyarakat nelayan seperti di Raja Ampat sangat tergantung kehidupannya pada laut dan isinya, sehingga menurut Ketut, “Program konservasi harus mendukung keberlanjutan kehidupan mereka.”
Ketut berharap semua lembaga yang bekerja di sebuah kawasan konservasi harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap sumberdaya alamnya. “Masyarakat akan selalu bisa mendapat akses untuk mengambil ikan dan udang dari wilayah yang dikelola sehingga bisa menyejahterakan masyarakat lokal,” ujarnya. Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan juga senada dengan Ketut, ketika ia mengatakan bahwa masyarakat adat memiliki pengetahuan tradisional yang mampu menjaga keberlanjutan ekosistem di dalam kawasan konservasi bahkan di dalam zona inti di beberapa taman nasional, masyrakat adat hidup selaras dengan alam dan memanfaatkannya dengan pengetahuan dan nilai tradisional mereka.
Ketut Sarjana menambahkan masyarakat adat juga mampu menyerap pengetahuan konservasi dengan baik. Cerita kembali ke tahun 1975 ketika di Pulau Wayag, salah satu pulau di gugusan Raja Ampat, nelayan tidak dapat lagi memanen lobster karena terlah terkuras oleh pemancingan kapal-kapal internasional. Untuk memulihkannya CI Indonesia memperkenalkan close recovery system selama dua tahun, dengan cara melarang samasekali perburuan lobster dan melindungi wilayah pemijahannya. “Sistem ini ternyata cocok sekali dengan budaya sasi yang mereka miliki. Dan sejak tahun 2008, mereka sudah kembali memanen lobster,” katanya. Kesimpulanya, kata Ketut, masyarakat ternyata bisa mengelola sendiri sumber daya alamnya dengan memanfaatkan ilmu konservasi.
Ganti Menu Selamatkan Penyu
Tahun 2005 CI Indonesia kembali berhasil mengubah kebiasaan Suku Ayau di Pulau Wayag untuk berhenti memakan daging penyu. Papua memang dikenal sebagai surga penyu dunia. Lima dari enam spesies penyu dunia ada di Papua dan seluruhnya sudah dilindungi.
Dulu Suku Ayau gemar menyantap daging penyu di hari-hari besar mereka. Untuk mengubahnya, CI menawarkan mengganti penyu dengan daging babi yang juga populer di kalangan masyarakat Papua. Sepakat dengan tawaran CI, sepuluh ketua adat dikirim ke Bali untuk belajar beternak babi, mengolah kotoran binatang itu menjadi biogas, dan belajar bercocok tanam kelapa untuk makanan babi. Hanya dalam tiga tahun, peternakan babi berkembang di kalangan Suku Wayag dan mulai menjadi makanan utama mereka menggantikan penyu. “Sejak Natal tiga tahun lalu mereka sudah berhenti makan daging penyu,”kata Ketut bangga.
Di Taman Nasional Wakatobi, inisiatif konservasi justru diambil pejabat pemerintah yaitu Bupati Wakatobi, Hugua. Bupati Hugua sudah menginstruksikan kepada para kepala desa dan lurah di wilayahnya, menyediakan area laut di wilayah masing-masing seluas satu kilometer persegi sebagai area konservasi ikan, terutama jenis ikan karang.
Di kawasan seluas satu kilometer persegi di masing-masing desa wilayah pesisir itu, tidak boleh ada aktifitas warga yang menangkap ikan atau kegiatan lainnya yang bisa mengganggu keseimbangan ekosistem di kawasan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Kebijakan ini mengadopsi sasi di Maluku dan Raja Ampat. Kini, tiap desa di Wakatobi memiliki Kawasan Perlindungan Perairan yang diawasi sendiri oleh masyarakat.
Para Penjaga Laut
Kearifan tradisional seperti sasi tersebar di banyak perairan Indonesia seperti panglima laot di Aceh, lubuk larangan di Sumatera, kelong di Batam, mane’e di Sulawesi Utara, atau awig-awig di Lombok. Salah satu yang paling sukses datang dari Desa Pemuteran di Bali utara.
Seluruh pantai yang mengelilingi Bali didesain sebagai satu pengelolaan kawasan konservasi daerah, termasuk pantai Pemuteran di Singaraja. Sekitar 15 tahun lalu pantai di desa itu hancur karena terumbu karangnya dibom oleh nelayan, dan ikan-ikannya habis dijaring. Tetapi masyarakat bertekad mengembalikan ikan dan karang mereka dibantu oleh beberapa wisatawan asing.
Mereka mulai menanam biorock, berupa kerangka besi yang dialiri listrik lalu ditemplelkan pada terumbu karang yang tersisa. Tujuannya, listrik itu mempercepat pertumbuhan karang sampai lima kali lipat. Eksperimen itu rupanya berhasil, dan terumbu tumbuh kembali di Pemuteran dan ikan karang telah pula kembali. Untuk mengamankan kawannya, warga desa membentuk pecalang atau penjaga laut yang secara rutin berpatroli setiap hari hingga 2 mil dari pantai.
Made Gunaksa, salah satu pecalang menjelaskan, untuk mempercepat tumbuhnya terumbu karang mereka juga menanam berbagai struktur yang terbuat dari bahan-bahan seperti semen, gula, untuk menumbuhkan karang. Total, sejak tahun 2005 mereka telah menanam 67 struktur.
Kini Pemuteran ikut menikmati gemerincing dolar pariwisata Bali. Wisatawan asing ramai berdatangan untuk melihat keindahan terumbu lewat perahu kaca, ikut menanam karang, atau meyaksikan para pecalang dalam pakaian tradisional Bali berpatroli. Tetapi yang lebih penting, kata Made, para nelayan dapat melaut kembali.
Lain Bali, lain cerita dari Aceh. Di provinsi paling barat Indonesia ini, sudah dikenal para penjaga laut sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda 400 tahun yang lalu. Panglima Laot Lok, demikian sebutannya, adalah seorang penjaga laut yang diangkat secara adat untuk mengelola satu kawasan laut tangkapan dan tempat pendaratannya. Daerah kekuasannyab bisanya dicirikan dengan teluk atau lhok.
Menurut jurnal konservasi internasional Oryx edisi Oktober 2012, pada daerah-daerah dengan sistem panglima laot yang lebih kuat, tingkat kesejahteraan nelayan terbukti lebih tinggi akibat jumlah penangkapan ikan yang besar. Luas penutupan terumbu karang juga lebih tinggi. Saat ini di Aceh terdapat kurang lebih 139 Panglima Laot Lok yang bekerja secara mandiri dan tidak masuk dalam struktur pemerintah. Bila pemerintah ingin menetapkan satu kawasan di Aceh menajdi kawasan konservasi laut, panglima laot pasti akan terlibat, kaerna seperti disebutkan dalam Oryx, penjaga sesungguhnya terumbu karang dan ikan-ikan di Aceh selama 400 tahun terakhir adalah para panglima laot.
Pengakuan Hak
Dari Papua sampai ke Aceh, keinginan masyarakat untuk mendapatkan akses dalam pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan, laut, sungai, bahan mineral di dalam kawasan konservasi sangat kuat. Keinginan ini masih bertabrakan dengan keyakinan pemerintah yang menyatakan bahwa masyarakat harus tetap keluar dari zona inti kawasan konservasi dan tidak boleh mengolah apapun dalam zona terlarang itu, walaupun. Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam-PHKA Kementerian Kehutanan Darori mengatakan siapapun di area inti kawasan konservasi seperti taman nasional telah melanggar hukum. “Memang mereka turun-temurun tinggal di kawasan konservasi, tapi sudah ada aturannya, bandel ya ada pidananya.” Konsekuensinya, pemerintah sampai saat ii belum mengakui secara resmi hak-hak masyarakat adat di kawasan konservasi, padahal mereka sudah hidup di sana turun-temurun.
Abdon punya pendapat lain. Menurutnya, pengelolaan kawasan hutan termasuk kawasan konservasi memerlukan terpenuhinya satu syarat untuk berhasil, yaitu pengakuan pemerintah kepada wilayah adat sebagai hak masyarakat adat dan masyarakat adat mengakui fungsi negara untuk menjaga hutan. “Adanya mutual respect adalah pra-syarat menuju manajemen yang besar,” katanya.
Ia menambahkan akar masalah pengelolaan bersama ini, di pihak masyarakat adat mengakui hak wilayah adat atas dasar sejarah yang dibentuk secara turun temurun oleh nenek moyangnya, sedangkan pemerintah datang dengan hukum Negara. “Ya tidak akan bertemu,” katanya. Ditambah pula kesepakatan pengelolaan kawasan konservasi yang sudah ditandatangani oleh berbagai kelompok masyarakat adat dengan kepala taman nasional, camat, bahkan bupati di berbagai tempat. Adakah kesepakatan-kesepakatan itu cukup kuat sebagai dasar hukum masyarakat adat untuk mengelola bersama kawasan konservasi?
Kesepakatan atau Undang-Undang?
Sebuah penelitian Lembaga Kerjasama Internasional Amerika Serikat-USAID, yang diterbitkan tahun 1999 tentang pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia menyimpulkan bahwa kesepakatan masyarakat desa yang dalam proses pembuatannya telah melibatkan aspirasi masyarakat yang sebenarnya, tidaklah secara otomatis mempunyai kekuatan hukum yang formal. Dapat terjadi sebuah keputusan yang dibuat pada satu tingkat pemerintahan tidak diakui oleh tingkat yang lebih tinggi.
Secara umum dapat dianggap bahwa semakin tinggi tingkat pemerintahan yang terlibat maka akan semakin kuat pengakuan formal atas keputusan tersebut. Namun demikian, mengupayakan pengesahan dari tingkat pemerintahan yang terlalu tinggi dapat menjadi upaya yang tidak efisien.
Status hukum juga menjadi penting untuk dapat membawa satu keputusan masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya untuk mendapatkan pengakuan. Namun demikian, menurut studi tersebut, sejauh pihak-pihak yang terkait dengan sumber daya alam yang dipermasalahkan sudah menunjukkan komitmen untuk kuat, status hukum menjadi tidak terlalu penting lagi.
Laporan itu mencontohkan kesepakatan masyarakat di TN Kerinci Seblat yang memiliki tingkat pengesahan di pemerintahan tingkat II yaitu dari Bupati setempat. Dengan adanya pengesahan di tingkat Bupati maka masyarakat dan aparat desa dapat melaksanakan kesepakatan dengan sepenuh hati. Dalam kasus seperti di Desa Lempe di Taman Nasional Lore Lindu yang diperlukan hanyalah kesepakatan dari pihak masyarakat dan pihak taman. Pihak-pihak lain tidak perlu dikutsertakan karena hanya kedua pihak inilah yang berkepentingan.
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo juga punya pendapat berbeda dengan Darori. Menurutnya, tidak mesti zona inti di kawasan konservasi seperti taman nasional atau kawasan koservasi laut, harus dikosongkan dari aktivitas masyarakat. “Yang penting bagaimana manajemen pengelolaan yang disepakati,”katanya. Soal kesepakatan ini, ia mendorong agar kementerian terkait duduk bersama masyarakat adat dan memetakan batas-batas pengelolaan kawasan konservasi lalu disampaikan kepada Menteri Kehutanan untuk mendapatkan pengesahan. Ia menambahkan, peraturan daerah dapat mengatur akses dan partisipasi massyarakat adat di kawasan konservasi ini.
Untuk memperkuat klaim masyarakat di kawasan konservasi, Hariadi menyarankan agar mereka melakukan pemetaan partisipatif seperti yang sudah dilaksanakan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, sebuah jaringan LSM yang membantu masyarakat memetakan batas-batas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan mereka. Hasil pemetaan ini dapat diserahkan kepada pemerintah sebagai dasar pengambila keputusan.
Sejalan dengan Hariadi, beberapa waktu lalu AMAN yang mewakili lebih dari 1600-an komunitas masyarakat adat telah menyelesaikan pemetaan sukarela mereka dan menyerahkannya kepada Kepala Satuan Tugas REDD Plus Kuntoro Mangkusubroto untuk dipakai sebagai salah satu dasar penyusunan sistem satu peta kehutanan Indonesia.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan juga sudah memberikan isyarat, bahwa kementeriannya akan memberikan akses memanfaatkan sumberdaya alam kepada masyarakat, terutama masyarakat adat, di dalam kawasan konservasi, ketika ia menyebut 3-S sebagai cara mengelola sumberdaya hutan. “Sentuh tanah, sentuh air, sentuh budayanya,”kata Menteri Zulkifli. Masyarakat adat sudah lama menyentuh dan merawat tanah, air, dan bumi. Dulu lumbung-lumbung dan gubuk terbakar di tengah konflik, tetapi harapan tumbuh karena lumbung-lumbung baru masyarakat adat ternyata terus dibangun di berbagai kawasan konservasi. (IGG Maha Adi, Bellina Rosellini/SIEJ)