JAKARTA, BL – Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global menyerukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memperkuat serta memfokuskan kembali tujuan perlindungan hutan dengan menerapkan moratorium hutan berbasis capaian.
Seruan itu disampaikan bertepatan dengan momentum setahun pelaksanaan INPRES No. 10/2011 tentang Penundaan Ijin Baru di Kawasan Hutan Primer dan Lahan Gambut serta Penyempurnaan Tata Kelola Hutan.
Hari ini mereka secara simbolis menghantarkan “Kue Ulang Tahun” kepada Satgas REDD+ di kantor UKP4 yang juga dipakai sebagai kantor Satgas REDD+. Kado kue itu sebagai sebuah pengingat bahwa upaya penyelamatan hutan masih memiliki jalan yang panjang dan berliku dan koalisi akan terus mengawal perjalanan upaya tersebut.
Sebelumnya hari Senin (21/05) lalu, para aktivis lingkungan yang bergabung dalam koalisi tersebut mengadakan sebuah pementasan teatrikal oleh Butet Kartaredjasa dan membuat sebuah “Kue Ulang Tahun” untuk upaya penyelamatan hutan Indonesia. Sebuah simbol terhadap dukungan upaya awal pemerintah untuk menyelamatkan hutan Indonesia, dan sekaligus sebagai sebuah bentuk evaluasi atas upaya pemerintah tersebut.
Mereka menilai, moratorium yang diisi hanya dengan formalitas tidak akan menyelamatkan hutan Indonesia. Koalisi terus mendesak pemerintah untuk menyempurnakan upaya moratorium atau jeda tebang dengan menjadikannya berbasis pada capaian.
“Jika memang Presiden bersungguh-sungguh berkeinginan melindungi hutan, maka pelaksanaan INPRES No. 10/2011 selama setahun ini menunjukkan kebalikannya, karena sampai saat ini INPRES tersebut hanya sedikit sekali memberikan perlindungan tambahan terhadap hutan dan lahan gambut serta perlindungan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal,”kata Bernadinus Steni, Manajer Program HuMA.
Sementara, Teguh Surya dari WALHI berpendapat, pengecualian yang ada dalam INPRES tersebut mengecilkan komitmen yang dibuat Presiden untuk melindungi hutan, mestinya harus ada mekanisme kaji ulang ijin yang sudah diterbitkan untuk memastikan legalitas dalam memperoleh perijinan serta penghormatan atas hak-hak masyarakat adat dan lokal yang potensial terkena dampak.
Dari catatan revisi Peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPIB) November 2011, sedikitnya 5.6 juta hektar hutan primer dan lahan gambut dikeluarkan dari wilayah moratorium, karena satu dan lain alasan.
Selain itu, PIPIB versi November 2011 juga ditemukan tumpang tindih wilayah moratorium dengan konsesi hutan, termasuk HTI, kebun sawit dan tambang batubara yang juga berpotensi mengurangi cakupan wilayah moratorium. Ini mengindikasikan bawa sampai sekarang wilayah moratorium hanya melindungi wilayah konservasi dan hutan lindung yang sebenarnya sudah dilindungi.
“Dua tahun moratorium tidak cukup untuk melaksanakan perbaikan tata kelola hutan seperti yang diinstruksikan Presiden kepada Menteri Kehutanan, maka semestinya ukuran moratorium tidak dibatasi waktu tetapi harus berdasarkan pencapaian atas perbaikan tata kelola hutan dengan indikator capaian yang terukur”, tambah Hapsoro, Direktur Forest Watch Indonesia
Di sisi lain, Norwegia sebagai pihak yang berkomitmen membantu Indonesia untuk menangani masalah deforestasi dan penurunan emisi, diminta bertindak lebih pro aktif dan mendorong pelaksanaan moratorium yang lebih terukur capaiannya.”Seperti peninjauan ulang ijin yang lama serta mempercepat penyelesaian konflik kehutanan. Jika tidak, maka pelaksanaan INPRES ini hanya “business as usual”.”kata Yuyun Indradi, Juru kampanye politik hutan, Greenpeace SEA-Indonesia. (Marwan Azis).