Bukti hasil illegal fishing yang terjadi di Taman Nasional Raja Ampat . Foto : Tim Patroli/CII. |
RAJA AMPAT, BL-Maraknya aktivitas penangkapan ikan secara illegal (illegal fishing) pada kawasan konservasi perairan Kepulauan Raja Ampat mendorong masyarakat adat setempat untuk menggelar patroli rutin.
Adalah masyarakat adat suku Kawe yg mengambil inisiatif itu. Proteksi atas 155.000 ha kawasan perairan yang membentang dari Pulau Wayag hingga Pulau Sayang mereka lalukan dengan cara menggelar patroli 24 jam penuh. Mereka disokong aparat dan aktivis LSM.
Kelestarian kawasan ini menjadi penting bagi warga lokal. “Sejak 4 tahun lalu areal ini telah dinyatakan (secara adat,red) tertutup untuk aktivitas penangkapan ikan. Ini adalah bank ikan bagi perairan sekitar, artinya kelestariannya menentukan kelangsungan pendapatan masyarakat,” kata sesepuh adat setempat, Hengky Gaman.
Meski telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi, namun perairan Raja Ampat bukan berarti aman dari aktivitas illegal fishing. Baru-baru ini tim patroli laut masyarakat adat Kampung Salyo dan Selpele bersama aktivis LSM dan TNI/Polri berhasil membekuk 7 kapal berisi 33 nelayan. Dari atas kapal tim patroli menyita dokumen kapal, sirip ikan hiu, bangkai hiu, pari manta dan teripang.
Mereka juga membawa 2 unit kompresor selam, longline hiu atau tali rawa. 7 Kapal itu terdiri dari 1 kapal ikan berasal dari Buton, 2 kapal ikan dari Sorong. Setelah diperiksa seluruh awaknya berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara. Sedangkan 4 kapal ikan lainnya berasal dari Kampung Yoi, Halmahera. Sayangnya, sebelum diproses secara hukum seluruh pelaku kabur duluan.
Untuk mendukung inisiatif masyarakat adat, pemerintah kabupaten Raja Ampat telah mengirimkan bantuan serta menempatkan personil polisi perairan dan pos TNI AL di pulau Wayag sejak 4 Mei lalu. “Kami menghargai upaya pemerintah, sekaligus berharap agar para pelaku dikejar, ditangkap dan diproses secara hukum,” kata Direktur Eksekutif Concervation International Indonesia, Ketut Sarjana Putra
Berdasar penelitian Australian Institute of Marine Science pada tahun 2010 di Palau, seekor hiu karang diperkirakan memiliki nilai ekonomis tahunan sebesar Rp. 1,6 Miliar, sementara nilai seumur hidupnya mencapai Rp. 17,5 miliar untuk industri pariwisata. Kawasan kepulauan Raja Ampat sendiri memiliki potensi pariwisata hiu tahunan sebesar Rp. 165 miliar.
Sejak tahun 90-an perburuan sirip ikan hiu mulai menyasar kawasan perairan Raja Ampat. Ini membuat populasi hiu di kawasan ini menurun. Itu sebabnya selama lima tahun terakhir sejumlah LSM internasional semisal CI, TNC dan WWF mendorong program kolaboratif bersama masyarakat adat dan pemerintah untuk memulihkan populasi hiu. Dalam program ini dibentuk jaringan kawasan konservasi perairan dan kawasan konservasi hiu di Raja Ampat. (Patrix Barumbun Tandirerung).