
Ilustrasi karbon dioksida. Foto : Pexels
BERITALINGKUNGAN.COM – Tingkat karbon dioksida (CO₂) di atmosfer mencatat kenaikan terbesar dalam sejarah pada tahun lalu, menempatkan harapan dunia untuk membatasi pemanasan global semakin terancam.
Karbon dioksida (CO₂) adalah gas yang secara alami ada di atmosfer Bumi. Gas ini tidak berbau, tidak berwarna, dan penting untuk siklus kehidupan karena menjadi bagian dari proses fotosintesis yang dilakukan oleh tanaman. Tanaman menyerap karbon dioksida dan mengubahnya menjadi oksigen yang kita hirup.
Selama lebih dari enam dekade, para ilmuwan di Observatorium Mauna Loa, Hawaii, telah memantau konsentrasi CO₂ di atmosfer yang diukur dalam satuan part per million (ppm). Tahun lalu, peningkatan sebesar 3,58 ppm menjadi rekor kenaikan tertinggi dalam satu tahun, melampaui prediksi paling pesimistis dari Kantor Met U.K.
Mengapa Kenaikan Ini Mengkhawatirkan?
Para ilmuwan menjelaskan bahwa selain emisi tinggi dari bahan bakar fosil, kenaikan tajam ini juga dipicu oleh faktor lingkungan. Pemanasan global yang semakin parah menyebabkan hutan, tanaman, dan tanah tidak lagi menyerap CO₂ seperti sebelumnya. Sebaliknya, tanah yang kering justru melepaskan lebih banyak karbon ke atmosfer.
Kondisi buruk tahun lalu diperburuk oleh fenomena El Niño, yang memicu cuaca lebih panas dan kering di sebagian besar wilayah tropis. El Niño berakhir pada musim panas lalu, dan fase pendinginan La Niña yang terjadi setelahnya diharapkan memungkinkan vegetasi untuk menyerap lebih banyak karbon tahun ini.
Rekor Suhu Terpanas dan Ancaman Batas 1,5°C
Selain kenaikan CO₂, tahun lalu juga mencatat suhu terpanas dalam sejarah, dengan suhu global 1,5°C lebih hangat dibandingkan era pra-industri. Meskipun batas pemanasan 1,5°C yang diatur dalam Perjanjian Paris belum resmi dilampaui—karena penghitungan didasarkan pada rata-rata suhu beberapa tahun—angka terbaru ini mengindikasikan bahwa target tersebut hampir mustahil tercapai.
“Batas pemanasan 1,5°C disepakati bukan karena kemudahan, melainkan karena kebutuhan untuk membatasi dampak buruk dan penderitaan manusia,” kata Joeri Rogelj, ilmuwan iklim dari Imperial College London seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman Yale.edu (20/01/2025)
“Melewati batas ini hanya memperkuat urgensi untuk bertindak lebih fokus dalam mengurangi polusi gas rumah kaca.”ujarnya.
Apa Langkah Selanjutnya?
Meskipun situasi ini terlihat suram, para ilmuwan menyerukan aksi kolektif yang lebih kuat untuk menekan emisi. Berkurangnya kemampuan alam dalam menyerap karbon membuat pengurangan emisi langsung dari aktivitas manusia menjadi semakin penting.
Krisis iklim ini menjadi peringatan serius bagi dunia bahwa waktu untuk bertindak semakin sempit. Tanpa langkah nyata yang cepat dan masif, pemanasan global tidak hanya akan melewati batas 1,5°C, tetapi juga membawa konsekuensi lebih besar bagi lingkungan dan kehidupan manusia (Marwan Aziz).