Ilustrasi aksi korban tindak pelanggaran HAM dalam konflik agraria di Indonesia. Foto : Istimewa. |
Tindakan Brimob ini dalam rangka menyelesaikan konflik agraria antara petani Ogan Ilir dengan PTPN VII yang kembali memanas sejak 17 Juli 2012. Dengan dalih mengamankan aset PTPN VII, pihak Brimob menyisir setiap desa untuk mencari petani yang mereka duga berpotensi menggerakkan massa.
Henry Saragih, Ketua Umum SPI dalam rilisnya yang diterima Beritalingkungan.com mengecam keras cara-cara kekerasan dan cenderung tidak manusiawi yang selalu dilakukan oleh aparat dalam menyelesaikan setiap konflik yang dialami oleh masyarakat.
Aparat kepolisian, dalam hal ini Brimob menunjukkan keberpihakan yang membabi buta terhadap perusahaan, bahkan secara kasat mata telah menjadi kaki tangan perusahaan.“Setiap konflik agraria tetap disertai pelanggaran HAM, terutama terhadap kaum tani. Petani selalu ditempatkan sebagai pihak yang salah dan kalah. Sebaliknya, aparatur negara justru berada di posisi yang berlawanan dengan rakyat,”ujarnya.
Tindakan PTPN VII dan personel Brimob jelas melanggar Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 2, yaitu tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
Dalam kasus sengketa lahan lanjut Henry, polisi diharapkan mampu bersikap mandiri dan tidak memihak kepada golongan pemodal, sesuai dengan visi dan misi Polri. Hal ini penting untuk menghentikan kekerasan dan kriminalisasi petani. “Apalagi selama ini, dalam kasus sengketa lahan dengan perusahaan, petani selalu berada dalam posisi rentan, secara sosial, ekonomis dan politis. Untuk itu, polisi diharapkan lebih proaktif dan mendalam saat menangani kasus sengketa lahan tersebut,”jelasnya.
Henry juga menyayangkan peristiwa berdarah ini terjadi hanya berselang dua hari dengan arahan Presiden SBY untuk membentuk tim penyelesaian sengketa agraria.“Berarti Brimob telah lalai dan mengabaikan pernyataan langsung dari pemimpin negara ini,” cetusnya.
Henry juga menyerukan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mengintruksikan Kapolri agar tidak menjadikan aparat kepolisian sebagai petugas keamanan pihak perusahaan perkebunan, tetapi merupakan aparat negara yang melindungi segenap masyarakat.
Kasus ini bermula di tahun 1982, ketika PTPN membuka perkebunan di Kabupaten Ogan ilir (saat itu masih Kabupaten Ogan Komering Ilir), yang dalam proses mendapatkan tanahnya dilakukan dengan paksa. Saat ini luas wilayah perkebunan PTPN VII tersebar di enam kecamatan meliputi Payaraman, Batu, Lubuk Keliat, Indralaya Selatan, Indralaya Induk, dan Tanjung Raja.
Berdasarkan surat keterangam Badan Pertanahan Nasional, tanah PTPN VII yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) hanya 6.512, 423 hektare, sedangkan sisanya kurang lebih 20.000 Ha, tidak memiliki HGU. Pada tahun 2009, juga pernah terjadi bentrokan dengan aparat yang mengakibatkan 23 orang luka tertembak, dan belasan lainnya luka-luka.
Usaha petani untuk menyelesaikan konflik dengan jalan damai juga telah ditempuh. Pada 16 Juli 2012 yang lalu, perwakilan petani telah mendatangi Mabes Polri, BPN, dan Kementerian BUMN. Namun, tetap tidak ada solusi kongkrit dalam menyelesaikan konflik agraria antara PTPN VII dan petani ini.
“Pembaruan agraria sudah memang tidak bisa ditawar lagi, kalau pemerintah tidak bergerak cepat, merumuskan dan mengimplementasikan pembaruan agraria ini, kita tidak tahu berapa banyak lagi petani dan masyarakat tidak bersalah yang akan menjadi korban akibat konflik agraria,” tandasnya. (Marwan Azis).