JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Pada tanggal 14 September 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan surat keputusan Nomor 2.1447/MENLHK-KSDAE/KKHSG/KSA.2/9/2022 yang ditujukan kepada seluruh Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) agar tidak memberikan pelayanan kepada peneliti asing atas nama Erik Mejaard, Julie Sherman, March Ancrenaz, Hjaimar Kuhi, Serge Wich dalam semua urusan, perizinan/persetujuan terkait dengan kegiatan konservasi dalam kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Adapun alasan pelarangan kepada peneliti tersebut adalah karena perkembangan publikasi nasional dan internasional yang mereka tulis tentang satwa, antara lain orangutan, ‘dengan indikasi negatif dan mendiskreditkan Kementerian LHK’.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan IndoProgress Institute for Social Research and Education (IISRE) menilai surat keputusan KLHK sebagai bentuk kebijakan anti-sains yang membatasi kebebasan akademik serta wujud kontrol kekuasaan atas produksi pengetahuan.
“Praktik semacam ini kerap ditemui dalam negara yang fasistis, totaliter dan anti-demokratik,” tulis mereka dalam siaran pers yang diterima BeritaLingkungan pada Minggu (30/10).
Jika KLHK tidak setuju dengan temuan penelitian Meijaard dkk yang menyatakan merosotnya jumlah orangutan, mereka menilai, KLHK dapat menyanggahnya melalui publikasi ilmiah, bukan melalui pelarangan, sensor, apalagi ancaman.
“Keengganan KLHK menggunakan tradisi ilmiah dalam menyatakan ketidaksetujuan adalah bentuk sikap anti-sains bertentangan dengan narasi yang kerap didengungkan pemerintah mengenai pembuatan kebijakan berbasis riset,” tulisnya.
Sikap KLHK yang menolak riset sebagai basis pembuatan kebijakan dan hanya bisa menerima hasil penelitian yang sesuai kepentingan pemerintah, jelas mempermalukan Indonesia di dalam pergaulan internasional.
“Bukan kali ini saja, sikap anti-sains pemerintah telah lama menyertai kecenderungan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang semakin anti-demokrasi,” tulis mereka.
Sikap anti-sains KLHK patut disayangkan di tengah banyaknya profesor dan ilmuwan yang menjadi staf ahli dan penasehat senior menteri. Para profesor dan ilmuwan tersebut ternyata tidak menunjukkan sikap ilmiah yang tegas dalam merespons (menolak) kebijakan anti-sains pemerintah dan bahkan turut menjustifikasi kontrol kekuasaan (fasisme) dalam produksi pengetahuan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan sikap menentang segala bentuk kebijakan anti-sains pemerintah karena meniadakan kebebasan akademik. Mereka juga mendesak KLHK untuk mencabut surat keputusan Nomor 2.1447/MENLHK-KSDAE/KKHSG/KSA.2/9/2022 sebagai kebijakan anti-sains dan menuntut permintaan maaf secara terbuka kepada publik, khususnya komunitas ilmiah, karena telah menggunakan kekuasaan dalam menyatakan ketidaksetujuan atas hasil penelitian, bukan menggunakan karya akademik.
“Mendesak para ilmuwan yang menjadi tenaga ahli maupun penasehat menteri KLHK untuk menghentikan segala bentuk sikap anti-sains dan kontrol kekuasaan atas pengetahuan dari KLHK,” tulis mereka.
Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak para ilmuwan yang menjadi tenaga ahli maupun penasehat menteri KLHK untuk mundur dari posisinya jika terus mendukung kebijakan anti-sains pemerintah.
“Termasuk mendesak pencabutan gelar Guru Besar Menteri LHK Siti Nurbaya karena sikapnya anti-sains yang dituangkannya dalam kebijakan pencekalan peneliti asing,” tutup siaran pers tersebut. (Jekson Simanjuntak)