Kekeyaaan hayati bawa laut. Foto : Ist. |
JAKARTA, BL- Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengharapkan para jurnalis dapat membantu meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati, terutama atas banyaknya ancaman kepunahan maupun dari pencurian sumber daya genetik.
“Dalam situasi Indonesia yang penuh dinamika politik saat ini, KLH memerlukan bantuan rekan-rekan jurnalis dalam mengangkat pemberitaan lingkungan agar tidak kalah dengan pemberitaan isu politik” kata Pelaksana Tugas Sekretaris KLH, M.R Karliansyah pada acara media briefing di Jakarta. Acara ini merupakan rangkaian menyambut Hari Keanekaragaman Hayati (Kehati) pada 22 Mei 2014, Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan Media Briefing di Jakarta
Acara tersebut bertema “Perlindungan dan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Ekosistem Kepulauan”, yang sesuai dengan tema Hari Kehati Internasional Tahun 2014 yaitu “Island Biodiversity” atau keanekaragaman hayati kepulauan. Hal ini sejalan dengan penetapan tahun 2014 sebagai International Year of Small Island Developing States oleh PBB.
Media Briefing ini dibuka oleh Pelaksana Tugas Sekretaris KLH, M.R Karliansyah, serta dihadiri oleh para narasumber yaitu Deputi III KLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Ir Arief Yuwono, MA, dan Pakar Kehati UNDIP, Prof Dr Slamet Budi Prayitno serta jurnalis dari berbagai media.
Dijelaskan, sebagai negara kepulauan yang mempunyai luas 1,3% dari luas permukaan bumi, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan Sumber Daya Genetik (SGD) yang besar, sehingga Indonesia dikenal sebagai megadiversity country. Indonesia juga merupakan salah satu dari 12 (dua belas) Pusat Keaneka-ragaman Hayati karena merupakan kawasan terluas di Pusat Indomalaya.
Di Indonesia terdapat ± 28.000 jenis tumbuh-tumbuhan dan diantaranya terdapat 400 jenis buah-buahan yang dapat dimakan dan sangat bermanfaat sebagai sumber keragaman genetik bagi program pemuliaan.
Sebagai negara hotspot biodiversity, Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati tetapi laju kemerosotannya juga sangat tinggi. Sejalan dengan menipisnya cadangan migas, keanekaragaman hayati akan merupakan sumber daya alam yang penting yang pemegang tongkat estafet pembangunan nasional Indonesia pada masa mendatang. Namun sayangnya, keanekaragaman hayati Indonesia tersebut terancam punah akibat kerusakan habitat, jenis asing invasif, serta pencurian sumber daya genetik Indonesia (biopiracy).
Sementara itu, Ir Arief Yuwono MA, Deputi III KLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim KLH dalam keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com menjelaskan, kekayaan keanekaragaman hayati yang ada di lingkup kedaulatan negara harus dilindungi. Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 11 Tahun 2013 mengenai pengaturan Protokol Nagoya. Protokol Nagoya menjamin akses dan pembagian keuntungan terkait sumber daya genetik serta mengamanatkan supaya keanekaragaman hayati Indonesia tidak diambil oleh orang asing.
Laju kerusakan keanekaragaman hayati pesisir dan laut serta kepunahan beberapa spesies langka seakan berpacu dengan waktu. Degradasi keanekaragaman hayati pesisir dan laut di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Penyebabnya antara lain adalah introduksi jenis asing invasif / JAI (Invasive Alien Species) terutama yang berasal dari luar negeri. Dalam rangka melindungi kelestarian lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, sistem produksi, dan kesehatan manusia harus dilakukan pengendalian terhadap jenis asing invasif di wilayah Republik Indonesia.
Jenis Asing invasif maupun jenis invasif, sejak abad ke-10 sudah dikenal adanya jenis asing yang masuk ke wilayah Indonesia. Menurut UN-CBD (The United Nations Convention on Biological Diversity), Jenis Asing Invasif maupun jenis invasive (JAI/JI) diartikan sebagai jenis yang introduksi dan/atau penyebarannya di luar tempat penyebaran alaminya, baik dahulu maupun saat ini, mengganggu atau mencancam keanekaragaman hayati.
Sampai dengan saat ini, informasi mengenai keberadaan JAI/JI di Indonesia masih terbatas sehingga perlu adanya kegiatan identifikasi dan inventarisasi yang dilakukan di masing masing sektor sesuai dengan kewenangannya maupun kegiatan terpadu antar sektor. Menurut beberapa laporan mengenai JAI/JI, di Indonesia diperkirakan terdapat setidaknya 2000 jenis tumbuhan asing dan banyak jenis satwa asing yang telah terintroduksi.
Banyak jenis asing yang sudah terintroduksi ke Indonesia, baik berupa tumbuhan, hewan, ikan maupun mikroorganisme, sebagian diantaranya pada awalnya didatangkan untuk tujuan positif namun kemudian berubah menjadi jenis invasif, diantaranya :
1. Eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang pertamakali diintroduksi ke Indonesia pada tahun 1886 dari Brazil ke kebun Raya Bogor untuk dikembangkan sebagai tanaman hias (ornamental plant);
2. Erechtites valerianifolia yang terikut sebagai kontaminan biji kopi dari Brazil;
3. Chromolaena odorata, jenis yang berasal dari Amerika Selatan yang secara tidak sengaja terbawa masuk Indonesia melalui perdagangan melalui kapal laut;
4. Mikania micrantha yang masuk ke Indonesia melalui Kebun Raya Bogor sebagai bahan baku obat namun dalam perkembangannya menyebar keluar dan kemudian menekan pertumbuhan jenis mikania lokal (Mikania cordata);
5. Ikan mujair (Tilaphia mozambica) yang didatangkan dari Mozambic sebagai predator jentik nyamuk;
6. Keong mas (Pomacea canaliculata) yang didatangkan sebagai sumber protein dan binatang peliharaan dalam akuarum;
7. Rusa timur (Cervus timorensis laronesiotes) dari Jawa yang diintroduksi di TN. Wasur Papua;
8. Iguana (Iguana sp) yang didatangkan dari Amerika Selatan sebagai binatang peliharaan;
9. Kura-kura Brazil yang didatangakan sebagai binatang hias;
10. Ikan bilih (Singkarak) yang di introduksi ke Danau Toba;
11. Ikan gabus Toraja yang diintroduksi ke Danau Sentani;
12. Ikan Mujair (Tilapia nozambica) yang diintroduksikan ke Danau Poso dan D. Lindu;
13. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang diintroduksikan ke Aceh; dan
14. Ikan Mas (Cyprinus carpio) yang dimasukkan ke Danau Ayamaru, Papua.
(Marwan).