Deva adalah seekor penyu betina berukuran 74 x 60 cm dan berat 70kg. Tak berbeda dari penyu-penyu dan hewan lainnya, yang dia tahu sebagai insting dasar hanyalah 2 hal. Mencari makan dan melanjutkan keturunan.
Setiap beberapa tahun sekali Deva mengunjungi pantai yang merupakan tempat ia dilahirkan dulu. Tempat dimana ia pertama kali mengeluarkan kepalanya dari gumuk pasir kecil yang menutupi sarangnya.
Gumuk yang dibangun oleh induknya yang memastikan suhu yang tepat bagi telur-telurnya agar dapat menetas. Ditempat ini pulalah Deva mengenali bau pasir, bau pasir di pantai Depok, Bantul Yogyakarta. Bau tempat kelahiran yang tak akan ia lupakan selama hidupnya.
Deva telah mengarungi jutaan kilometer lautan sepanjang hidupnya, ia telah melihat dan melalui berbagai perubahan. Ia telah menyaksikan dunianya yang biru kini semakin dipenuhi serpihan plastik yang tampak sibuk berenang kian kemari, ia merasakan peningkatan suhu yang menyebabkan perubahan arus secara tak beraturan. Ia juga menyaksikan pantainya yang dulu gelap lengang kini tampak berkerlap-kerlip dan riuh rendah oleh bangunan, sampah dan transportasi manusia. Sekali lagi, Deva telah melihat dan melalui banyak hal dalam hidupnya.
Setiap beberapa tahun sekali Deva kembali ke tempat kelahirannya. Tempat yang tersimpan jauh didalam dirinya yang selalu membimbingnya kembali. Setiap beberapa tahun sekali ia selalu kembali kepantai Depok yang dulu masih lengang, tidak kini. Ia selalu kembali ke tempat ia di lahirkan dulu, tempat ia pertama kali mengenal bau pasir. Bau yang tak pernah hilang dalam dirinya. Ia selalu kembali ke tempat yang begitu ia akrabi, ke pantai Depok ini ia akan kembali.
Malam, 02 Maret 2012 Deva berenang menyusuri alur ombak, ia lebih tampak seperti melayang. Mengamati pantainya yang semakin gemerlap. Ia risau. Ketakutan tak jelas membuat ia berkali-kali mengurungkan niatnya untuk menepi. Namun isting yang begitu kuat mendorongnya semakin ke tepi, tak dapat ia lawan lagi. Insting sebagai seorang ibu, insting dasar untuk melanjutkan keturunan dan kelangsungan spesiesnya. Perlahan ia terdorong ke pantai saat malam tak muda lagi.
Terlalu lama Deva berputar-putar dilaut, terlalu lama Deva berputar-putar di pantai, terlalu ragu-ragu Deva mengambil keputusan. Lama ia menyeret tubuhnya di atas pantai. Tak juga ia temukan tempat yang tepat untuk meletakkan bakal keturunannya. Disana basah, disini terlalu banyak sampah, di tempat lain terlalu terang oleh lampu bangunan atau rumah manusia dan di tempat lain pasir terasa begitu padat. Ia tak mengerti, semuanya tampak begitu asing baginya. Keraguan membunuh waktu begitu cepat, mungkin keraguan juga akan membunuhnya. Hingga akhirnya yang ia tahu mentari telah terbangun, nelayan telah menemukannya tampak linglung di pantai. Mereka mengangkatnya, meletakkannya dipasir kering, tak tahu harus berbuat apa. Bagi mereka Deva adalah tontonan yang menarik, bagi mereka dan bagi pengunjung pantai Depok ini. Siang semakin menjadi, begitu pula panas pasir yang menopang Deva. Ia mencoba bergerak namun laut tampaknya semakin menjauh. Ia lelah, ia lemah.
Ketika senja menjelang, pantai ini beranjak sunyi. Sekelompok orang mengangkat Deva dan meletakkannya di dalam mobil bak terbuka, persegi besi yang tak ia kenali. Mungkin Deva berpikir terik tak lagi tinggi, mungkin ia berpikir ini saatnya pergi, atau mungkin ia hanya merasa takut. Sepanjang malam Deva mengepak-ngepakkan siripnya mencoba keluar dari kotak besi itu. Ia tak berhasil, yang ia dapatkan hanyalah luka dan sirip yang hancur hingga beberapa tulangnya menyembul keluar. Pagi menjelang deva terdiam lemas.
Menjelang siang ia merasa kotak besinya bergerak, ia mencoba keluar namun ia sudah terlalu lemah. Ia tak tahu ia bergerak kemana, yang ia tahu hanya hembusan angin sedikit berubah bukan lagi angin pantai, namun angin laju kotak besi yang membawanya entah kemana.
Selang beberapa lama Deva tahu ia sampai ke suatu tempat. Suatu pantai. Orang-orang di tempat ini mengangkat tubuhnya, memasukkan tubuhnya kedalam kolam berisi air laut yang segar, mereka coba memberikan ia makanan, tapi tubunya sudah terlalu lemah untuk mengunyah. Sementara dorongan dalam dirinya sudah semakin tak tertahan. Di kolam mini dengan sisa tenaga ia mengeluarkan 5 butir telur. Telur yang ia harapkan menjadi penerus jenisnya, penerus generasinya. Ia melihat orang-orang di pantai ini mengangkat telurnya, ia tak mampu berontak, ia hanya mampu berharap telur itu diletakkan didalam pasir, ia berharap orang-orang itu melakukan sesuatu yang tak mampu lagi ia lakukan.
Tenaganya tak cukup untuk mengeluarkan sisa telur yang lain yang masih berada dalam rahimnya. Ia hanya mampu diam ketika orang-orang itu membersihkan lukanya, memotong ujung siripnya dan menyingkirkan beberapa daging dan tulang yang sudah mulai membusuk, lalu meletakkan sesuatu pada bekas lukannya. Ia hanya mampu diam. Terdiam melihat, merasakan dan melalui semuanya. Terdiam melalui satu lagi malam yang sunyi. Sebelum ia akhirnya terdiam untuk selamanya.
Terinspirasi dari seekor penyu yang mendarat di pantai Depok, Bantul, Yogyakarta pada 2 Maret 2012 dan tidak bernasib baik karena kurangnya kesadaran dan kepedulian manusia untuk membiarkan dia bebas bertelur di tempat kelahirannya, namun menjadikannya barang tontonan dan menangkapnya.
Kemudian karena kepedulian warga yang tahu tentang fasilitas konservasi di pantai Samas, Deva dibawa ke kolam konservasi pantai Samas. Namun, Deva MATI di fasilitas konservasi Pantai Samas pada 5 Maret 2012, setelah mendapatkan perawatan seadanya dan mengeluarkan 5 butir telur dari rahimnya.
Simpati dan doa kami yang terdalam buat “si Deva”. Mari belajar tentang penyu dan menjaga kelestarian alam agar tidak terjadi lagi peristiwa yang membunuh hewan langka ini! Mau menunggu sampai penyu di pantai selatan Yogyakarta punah! (Naskah dan Foto : Deny Widyanto).