Ketika Burung Cendrawasih Bernyanyi dari Tengah Kilang

Berita Lingkungan Environmental News Satwa Terkini

Burung Cendrawasih. Foto : Dok RU VII Kasim.

PAPUA BARAT DAYA, BERITALINGKUNGAN.COM — Di tengah deru aktivitas kilang minyak, sebuah cerita berbeda tumbuh di tepian hutan tropis Papua. Sebuah kisah kolaborasi dan kepedulian terhadap alam yang menggugah, datang dari PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU VII Kasim.

Tak hanya mengolah minyak bumi menjadi energi, mereka juga ikut menjaga denyut kehidupan burung-burung surga: cendrawasih merah dan cendrawasih botak.

Suara burung cendrawasih kembali terdengar. Ini bukan keajaiban, melainkan hasil kolaborasi manusia dan alam untuk mempertahankan harmoni di jantung Papua.

Siapa sangka, cerita konservasi yang kini berbuah emas. Tepat pada Kamis, 10 Juli 2025, RU VII Kasim menerima Gold Medal untuk kategori Biodiversity Conservation di ajang bergengsi ISRA Award di Yogyakarta. Penghargaan ini tak datang tiba-tiba, tapi lahir dari perjalanan panjang menjaga kehidupan yang nyaris senyap.

“ISRA Award bukan sekadar trofi. Ini adalah pengingat bahwa keberlanjutan bukan hanya soal bisnis, tapi juga warisan bagi generasi mendatang,” ujar Karinandini Zahra Ineza, Vice Chairperson of ISRA, dalam sambutannya yang hangat di Hotel Alana, Yogyakarta.

Simbol Papua yang Kian Terancam

Cendrawasih merah (Paradisaea rubra) dan cendrawasih botak (Cicinnurus respublica) bukan sekadar burung. Mereka adalah ikon Papua, lambang surga alam yang menjadikan Tanah Papua begitu unik dan memesona.

Namun, data Balai Besar KSDA Papua Barat sejak 2020 mengungkapkan kenyataan pahit: populasi keduanya terus menyusut.

Di Cagar Alam Waigeo Barat, hanya tersisa 76 ekor cendrawasih merah dan 68 cendrawasih botak—angka yang menempatkan mereka pada status Near Threatened menurut IUCN.

Dari CSR Menuju Komitmen Ekologis

RU VII Kasim tidak tinggal diam. Mereka meluncurkan program KOMPAK (Kolaborasi Mengelola Kawasan Penyangga Area), menjalin kemitraan erat dengan BBKSDA Papua Barat dan Kelompok Tani Hutan Warkesi.

Program ini bukanlah kegiatan tempelan tanggung jawab sosial. Ini adalah jembatan antara industri dan alam, antara pengolahan energi dan pelestarian biodiversitas.

“Jika cendrawasih punah, kita kehilangan identitas hutan kita. Ini bukan sekadar konservasi, ini tentang jati diri Papua,” tutur Bambang Imawan, Pjs Area Manager Communication, Relations, CSR & Compliance RU VII Kasim.

Ketika Hutan Bernyanyi Kembali

Hasilnya nyata. Dalam waktu beberapa tahun, populasi cendrawasih merah meningkat dari 3–5 menjadi 12–15 individu, dan cendrawasih botak dari 3 menjadi 5.

Tapi yang lebih mengejutkan: ekowisata tumbuh. Dengan program birdwatching dan jungletrekking bersama masyarakat lokal, lebih dari 1.300 wisatawan telah datang. Hutan tak hanya menjadi tempat hidup burung, tapi juga sumber hidup baru bagi warga sekitar.

“Ini efek domino positif. Alam terjaga, ekonomi warga ikut tumbuh,” jelas Bambang.

Menjaga Nyala Komitmen

Meski penghargaan telah diraih, tantangan tetap ada. Infrastruktur wisata, pendidikan lingkungan, dan penguatan komunitas masih perlu terus dibenahi. Namun Bambang percaya, inilah awal dari sistem baru yang bisa menata ulang hubungan manusia dengan alam.

“Kolaborasi ini ibarat benih. Ia harus terus disiram dan dijaga agar berbuah. Hanya dengan kerja sama antara industri, pemerintah, dan masyarakat, Papua bisa benar-benar lestari,” ujarnya tegas.

Energi yang Berpihak pada Alam

RU VII Kasim kini menjadi cermin wajah baru industri: tak hanya berorientasi pada profit, tetapi juga planet dan people. Melalui prinsip ESG (Environment, Social, and Governance), Pertamina dan unit kilangnya di Kasim menunjukkan bahwa industri bisa bergerak tanpa mengabaikan kehidupan liar yang hidup di sekitarnya.

Di Kasim, energi tidak hanya menyala lewat kilang, tapi juga lewat semangat menjaga surga yang sempat terancam diam.

Kini, setiap kicau burung surga di atas kanopi hutan bukan hanya tanda kehidupan yang bertahan, tetapi juga bukti bahwa harmoni antara mesin dan alam adalah mungkin—asal ada komitmen, keberanian, dan cinta terhadap tanah tempat kita berpijak (Ola/Wan).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *