Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (On-Grid Solar Photovoltaic Electricity) di pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara. (Foto: Jekson Simanjuntak) |
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dan Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA) Dr. Fatih Birol mengumumkan finalisasi program kerja baru ketenagalistrikan dan energi terbarukan yang ambisius di Indonesia.
Hal itu terungkap saat menghadiri IEA Clean Energy Transitions Summit yang mempertemukan 40 menteri dan para petinggi negara-negara yang mewakili 80% pengguna energi global.
”IEA telah menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa untuk mengumpulkan komunitas internasional dalam upaya bersama menghadapi pandemik COVID-19 yang berkaitan dengan isu energi dan menetapkan langkah untuk pemulihan berkelanjutan,” ungkap Menteri Arifin melalui keterangan tertulisnya, pada 7 Juli 2020.
Indonesia terus berkomitmen mendorong investasi di bidang energi terbarukan, salah satunya diwujudkan melalui kerja sama dengan International Energy Agency (IEA), sebuah lembaga rujukan terkait analisis energi global.
Kerja sama itu berfokus pada optimisasi desain dan implementasi skema andalan untuk mendorong investasi swasta di energi terbarukan, serta strategi untuk meningkatkan integrasi energi terbarukan dan operasi sistem tenaga listrik.
Saat ini, pemerintah juga berupaya mengatasi dampak kesehatan dan ekonomi akibat pandemik Covid-19 melalui berbagai stimulus fiskal dan kebijakan. Meskipun sektor energi telah terdampak secara signifikan, namun respons pemerintah sangat cepat. Salah satunya, penyediaan listrik gratis dan pemberian diskon bagi 31 juta rumah tangga miskin dan rentan miskin.
Sektor energi merupakan kunci pendorong pertumbuhan ekonomi yang berperan penting dalam mendukung pemulihan akibat Covid-19. Atas persoalan itu, Menteri Arifin menilai IEA telah memberikan dukungan kuat terhadap prioritas-prioritas utama kementerian, utamanya terkait peningkatan sistem tenaga listrik dan investasi energi terbarukan di masa pandemi.
“Saya mengapresiasi IEA untuk kerja samanya dan berharap bekerja sama dalam hal ini, karena kami bertujuan untuk terus memajukan transisi energi bersih,” kata Menteri Arifin.
Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA) Dr. Fatih Birol menilai upaya pemulihan yang ambisius oleh pemerintah Indonesia untuk membentuk ulang sistem energinya sebagai langkah maju yang harus didukung.
Adapun momen IEA Clean Energy Transitions Summits, dianggap Dr. Birol sebagai event penting global di bidang energi yang bertujuan mendukung finalisasi program tersebut. Termasuk dengan mempertemukan seluruh pemimpin energi dunia, dimana salah satunya Menteri Tasrif.
”Sebagai negara dengan populasi ke empat terbesar di dunia, Indonesia sangat penting dalam energi global dan bagian dari keluarga IEA yang utama,” papar Dr. Birol.
Selanjutnya, Dr. Birol menantikan langkah nyata Indonesia dalam mendukung transisi energi, mengingat kerja sama itu dilandaskan pada Joint Work Programme yang ditandatangani oleh Dr. Birol dan Menteri Tasrif pada IEA’s Ministerial Meeting pada Desember 2019 lalu.
Program itu dibangun dari kolaborasi yang erat antara IEA dan Indonesia yang topiknya mencakup seluruh jenis bahan bakar dan teknologi. Kolaborasi itu didukung oleh pemerintah Indonesia, PLN, dan IEA pada berbagai prioritas kebijakan energi, termasuk regulasi kendaraan listrik, investasi sistem ketenagalistrikan, dan upaya-upaya untuk mengurangi impor energi.
“Kami sangat senang bekerja sama dengan Menteri Tasrif dan timnya untuk mendukung transisi energi Indonesia yang ambisius,” pungkas Dr.Birol.
Laporan IEA
Akhir Juli lalu, IEA merilis laporan khusus tentang Indonesia dalam IEA World Energy Investment 2020 bertajuk “Attracting Private Investment to Fund Sustainable Recoveries: The Case of Indonesia’s Power Sector”.
“Laporan itu merupakan bentuk komitmen IEA mendukung Indonesia dalam pemulihan sektor energi menghadapi dinamika global dan pandemi Covid-19 yang sangat berdampak pada pembangunan ekonomi termasuk pengembangan sektor energi,” ujar Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM melalui keterangan tertulisnya, Senin (3/8/2020).
Selain Kementerian ESDM, PT PLN (Persero) dan beberapa institusi lain juga terlibat dalam kerja sama penyusunan laporan, mendukung transisi energi menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Laporan juga menyebutkan tren investasi dan pembiayaan di sektor listrik Indonesia, kuantifikasi pengeluaran modal, proyeksi demand dengan skenario keberlanjutan, dan merangkum kinerja ekonomi makro negara.
Ketersediaan dana publik dan swasta serta identifikasi masalah-masalah yang mempengaruhi keputusan investasi dalam pembangkit listrik energi terbarukan, dan sumber energi alternatif juga dipetakan dalam laporan itu.
Laporan telah didistribusikan kepada Asosiasi Pengusaha Prancis, dan sebagai bentuk komitmennya kepada Indonesia, IEA mengoordinasikan rencana pertemuan antara Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris dan Asosiasi Pengusaha Perancis dengan Kementerian ESDM pada September 2020 dengan tujuan mempromosikan investasi di bidang energi terbarukan di Indonesia.
IESR Apresiasi Kerja Sama Kementerian ESDM dan IEA
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik kerjasama Kementerian ESDM dengan International Energy Agency (IEA) dalam sebuah proyek baru tentang ketenagalistrikan dan energi terbarukan.
IESR menilai kerja sama itu sangat relevan dengan situasi dunia dan kondisi Indonesia yang sedang melakukan pemulihan pasca-Covid-19 dan pada saat yang bersamaan menghadapi tantangan untuk memulihkan investasi di sektor energi, khususnya energi terbarukan untuk mencapai target 23% bauran energi pada 2025. .
“Kerja sama Kemen ESDM dan IEA seharusnya memperkuat kapasitas Indonesia dalam merencanakan transisi energi bersih, mengatasi dampak COVID-19 di sektor energi, pemulihan ekonomi yang rendah karbon, dan meningkatkan daya tarik investasi energi bersih melalui pembuatan kebijakan dan regulasi yang ramah terhadap investasi,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, di Jakarta, 8 Juli 2020.
Secara operasional, pekerjaan itu dilakukan dalam bentuk kemitraan bersama PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Kerja sama antara Pemerintah Indonesia, PLN, dan IEA juga mencakup prioritasi serangkaian kebijakan pendukung terkait energi, termasuk regulasi kendaraan listrik, investasi sistem kelistrikan, dan strategi untuk mengurangi impor energi.
“IEA dapat membantu Kementerian ESDM mengidentifikasi celah-celah pada regulasi yang perlu diperbaiki, serta mempersiapkan kebijakan dan regulasi yang diperlukan untuk mengantisipasi era kendaraan listrik, integrasi energi terbarukan yang lebih besar pada sistem kelistrikan, efisiensi energi, dan strategi pengembangan sistem energi di era transisi,” pungkas Fabby Tumiwa.
Energi Bersih
Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini menilai masalah transisi energi perlu menjadi fokus pemerintah saat ini.
“Pasalnya, sudah sejak lama kita bergantung pada energi fosil yang memiliki banyak permasalahan lingkungan dan sosial dalam pengembangannya,” kata Grita.
Grita mencontohkan, pada 2019 lalu, porsi batubara dalam bauran energi untuk pembangkit listrik di Indonesia mencapai 60,50%, sementara energi terbarukan masih di angka 12,36%.
“Kemudian berdasarkan RUPTL PLN 2019-2028, hingga 2028 pembangkit berbasis batubara dicanangkan tetap menjadi tumpuan (sebesar 52%),” ungkap Grita yang sebelumnya sebagai peneliti Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan ICEL.
Padahal pembangkit berbasis batubara memiliki dampak sangat besar terhadap lingkungan. Mulai dari emisi yang dikeluarkan (SOx, NOx, PM) yang berdampak pada kesehatan manusia (penyakit ISPA hingga kematian dini), juga menyumbang CO2 yang besar terhadap perubahan iklim.
“Kemudian, air limbah yang dihasilkan oleh PLTU ke laut, seperti air lindi dari tempat penyimpanan batubara, maupun limbah bahang juga berpotensi mencemari dan merusak ekosistem laut,” papar Grita.
Grita juga menambahkan, isu konflik dengan nelayan yang mata pencahariannya terganggu akibat pengembangan PLTU di kawasan pesisir kerap terjadi. Karena itu, transisi energi perlu dilakukan agar sumber-sumber energi tidak berasal dari sumber energi yang justru merusak dan mencemari lingkungan, serta rentan terhadap konflik sosial.
“Itu sebabnya, transisi energi ke energi terbarukan yang berkelanjutan menjadi penting,” pungkas Grita.
Senada dengan ICEL, Institute for Essential Services Reform (IESR) di berbagai kesempatan kerap menyoroti soal ketertinggalan Indonesia dalam pengembangan energi bersih. Daya tarik investasi yang rendah membuat realisasi investasi energi terbarukan jauh dari target yang telah ditetapkan.
Hasil kajian IESR yang dirilis pada November 2019, mencatat total investasi modal (capital expenditure-capex) sekitar US$ 200 milyar untuk mencapai target sektor batu bara, migas, dan kelistrikan RUEN di tahun 2025,
“Sedangkan di sektor energi terbarukan, IESR memperkirakan jumlah kebutuhan investasi untuk membangun kapasitas terpasang pembangkit 45 GW adalah US$ 72,5 milyar hingga tahun 2025, atau US$ 12 milyar per tahun,” ujar Gandabhaskara Saputra, Koordinator Komunikasi, IESR.
Menurut Gandabhaskara, sektor energi merupakan salah satu sektor yang sangat terpengaruh oleh pandemi COVID-19, dan pemerintah berusaha meredam dampaknya pada masyarakat, dengan jaring pengaman energi (energy safety nets) berupa listrik gratis atau diskon pembayaran tagihan listrik untuk 33 juta keluarga rentan terdampak pandemi.
“Sektor energi, sebagai pendorong utama pertumbuhan dan dinamika ekonomi, memiliki peran penting dalam mendukung pemulihan ekonomi dari dampak COVID-19,” pungkas Gandabhaskara.
Bauran EBT Capai 11,51 Persen
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam realisasi bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada triwulan pertama tahun ini, mencatat capaian sebesar 11,51%. Adapun target pemerintah sebesar 23% pada tahun 2025.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM FX Sujiastoto mengakui, dibutuhkan kerja keras untuk mencapai angka itu, mengingat gap yang terlalu besar antara realisasi dan target bauran EBT.
“Untuk mencapai 23%, kita perlu kapasitas EBT pada 2020 sekitar 20.000 MW, sehingga gap ini cukup signifikan dan perlu upaya-upaya percepatan,” kata Sujiastoto dalam konferensi pers Kinerja Subsektor EBTKE secara virtual di Jakarta, 28 Juli 2020.
Menurut Sujiastoto, realisasi bauran EBT sampai Mei 2020, kontribusi terbanyak dari energi panas bumi sebesar 8,17 persen.
“Namun demikian dalam kurun waktu 3-4 tahun terakhir, realisasi perkembangan bauran EBT nasional hanya tumbuh rata-rata 500 MegaWatt (MW) per tahun,” ujarnya.
Jika tidak ada upaya yang signifikan untuk meningkatkan bauran EBT dalam 5 tahun ke depan, Sujiastoto khawatir, realisasi hanya bertambah sekitar 2.500 MW pada tahun 2024, atau secara total hanya mencapai 12.800 MW.
“Padahal untuk mencapai target 23 persen pada tahun 2023, kapasitas terpasang untuk EBT pada 2024 harus mencapai sekitar 20.000 MW,” terang Sujiastoto.
Sementara itu, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Hariyanto memastikan, pemerintah terus mengejar target bauran energi bersih 23% pada 2025. Hal itu diperlukan, karena pengembangan EBT akan berkontribusi terhadap penurunan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 50% sampai 60%.
“Penerapan EBT menjadi penting terkait bauran energi nasional dan komitmen penurunan gas rumah kaca,” ujar Hariyanto.
Potensi Investasi EBT Capai Rp 579 Triliun
Dalam sebuah sesi diskusi online, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Hariyanto menyebut potensi investasi energi rendah karbon di Indonesia cukup besar. Totalnya mencapai US$ 38,9 miliar atau sekitar Rp 579 triliun.
Hal itu perlu dilakukan, mengingat Indonesia merupakan negara penghasil gas rumah kaca kelima terbesar di dunia. Sementara itu, selaku negara pengemisi, Indonesia berkomitmen menurunkan emisinya sebesar 29% pada 2030.
“Sektor listrik bertanggung jawab terhadap 15% total emisi gas rumah kaca negara ini,” ujar Hariyanto pada Jumat (14/8).
Hariyanto menyebut, pemerintah terus berupaya agar peralihan transisi ke energi bersih segera terwujud. Terlebih, investasi EBT menciptakan lapangan pekerjaan yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Hal itu juga sesuai dengan data Bank Dunia yang menyebut, setiap US$ 1 yang diinvestasikan ke energi bersih akan memberikan imbal hasil sebesar US$ 3 hingga US$ 8. Dan total investasi energi rendah karbon diperkirakan mencapai US$ 38,9 miliar.
Pandemi Momentum Transisi ke Energi Bersih
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris Yahya menilai, pandemi Covid-19 telah memberi peluang dalam pengembangan EBT. Terlebih, harga listrik EBT tak terdampak cukup parah saat pandemi seperti minyak dan gas bumi.
“Ini indikasi penting, EBT ke depannya punya peran besar. Mulai dari sekarang kami harus bisa mengatur kebijakan agar peluang bisa diambil secara maksimal,” ujar Harris.
Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia atau METI sangat setuju, momentum pandemi Corona telah menurunkan emisi karbon akibat mobilitas masyarakat yang berkurang. Oleh karena itu, METI mendorong pemerintah segera mengembangkan energi baru terbarukan.
“Jika momentum tersebut tidak segera dimanfaatkan, transisi energi bersih bakal sulit terlaksana,” ujar Surya Darma Ketua Umum METI dalam diskusi secara virtual, Jumat (14/8).
Di sisi lain, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon hingga 29 persen pada 2030. Oleh karena itu, Surya Darma mengusulkan agar pemerintah juga mendorong penurunan emisi melalui pembangkit listrik ramah lingkungan.
Salah satunya, dengan mengkaji ulang megaproyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW). Pembangunan pembangkit yang tertunda, terutama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), sebaiknya diganti dengan pembangkit EBT.
“Misalkan program 35 ribu MW dilanjutkan, perlu ada yang ditahan sesuai perkembangan Covid-19. Kalau ini tertahan, mungkin bisa dilanjutkan dan renegosiasi ulang atau diganti pembangkit EBT,” ujar Surya.
Jika pilihan jatuh pada pembangkit EBT, beberapa pengembang di sektor EBT memiliki tantangan tersendiri dalam serapan listrik ke PLN. Pasalnya, kontrak PLTU menggunakan skema take or pay (TOP) dalam perjanjian jual beli listrik. Hal itu menyebabkan PLN lebih memilih menggunakan sumber energi dari batu bara.
“Sedangkan kontrak EBT tidak menggunakan sistem TOP, tapi take and pay. Oleh karena itu, perlu kebersamaan untuk kita selesaikan ini,” pungkas Surya.
Sejauh ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat ada 7 proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt yang terdampak pandemi virus corona. Ketujuh proyek dengan kapasitas sebesar 6.510 MW itu diproyeksi bakal mengalami keterlambatan jadwal operasi.
Untuk mengatasi hal itu, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM FX Sujiastoto mengusulkan perlunya Peraturan Presiden (Perpres) tentang Harga EBT, jika pembangunan pembangkit EBT dilanjutkan.
“Kita akan menyelesaikan Perpres Harga EBT. Dalam Perpres, di samping harga, juga mendorong dan menugaskan kementerian-kementerian terkait untuk mendukung kebijakan Kementerian ESDM,” pungkasnya.
Dengan terbitnya Perpres Harga EBT, diharapkan dapat meningkatkan pasar EBT di tanah air yang saat ini masih kecil, sehingga skala keekonomian dan harga pembelian tenaga listrik dari PLT EBT lebih wajar dan terjangkau. (Jekson Simanjuntak)