JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Pendiri dan Direktur Environment Institute, yang juga Dosen Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa mengatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan dalam menghadapi perubahan iklim adalah mengawal komitmen negara-negara maju. China, Amerika, Eropa dan India harus bertanggungjawab terhadap lebih dari 55% total emisi karbon.
“Mengawal isu perubahan iklim perlu partisipasi semua pihak, perlu adanya kolaborasi pentahelix antara pemerintah, media, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat,” kata Mahawan.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Kepala Sekretariat Bidang Program Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Ristika Putri dalam paparannya mengatakan tantangan menuju kabupaten lestari dapat dilihat dari segi tata kelola, pola kerja, dan kapasitas.
Dikatakan, dari segi tata kelola, misalnya ada sistem yang bersifat birokratif, berada di luar kendali LTKL, dan sulit dirombak. Dari segi pola kerja, LTKL melihat pentingnya koordinasi sebagai upaya mendorong kabupaten yang lestari.
Sementara dari segi peningkatan kapasitas juga penting misalnya peningkatan kapasitas di bidang digital, skill, dan pemahaman mengenai isu keberlanjutan serta bagaimana cara menghadapi tantangan di tingkat kabupaten.
“Untuk mendorong kabupaten lestari, maka perlu semakin banyak pihak yang mendengungkan hal ini agar semakin banyak orang yang relatable dari sisi pekerjaan mereka dengan isu sustainability yang ada,” ujar Ristika.
Sementara itu, Supervising Assignment Editor CNN Indonesia TV Irvan Imamsyah mengatakan masyarakat Indonesia banyak yang tidak percaya kalau perubahan iklim terjadi karena ulah manusia.
Berdasarkan survey dari lembaga Purpose di tahun 2021, dikatakan 9 dari 10 warga Indonesia khawatir dengan perubahan iklim. Walaupun 89% masyarakat mengetahui tentang perubahan iklim, namun tingkat pengetahuan masih rendah.
Irvan menambahkan literasi masyarakat Indonesia terkait perubahan iklim masih rendah. “Untuk membangun masyarakat yang sadar tentang perubahan iklim, menurut saya penting bagi media untuk mengikuti perhelatan seperti COP26. Meliput COP itu seperti belanja ke pasar, tapi tidak ada daftar belanjaannya. Jadi banyak froum-forum yang harus diikuti media, belum lagi adanya kampanye oleh CSO” ungkap Irvan.
Irvan juga memberikan saran kepada rekan-rekan media untuk menerapkan agenda setting, sehingga peliputan perubahan iklim tidak dilakukan secara instan. Sebagai jurnalis, menurut Irvan yang harus dilakukan adalah bekerja dengan mengawal sehingga apa yang tertulis di kertas oleh pemerintah dapat terealiasasikan dengan selaras.
SIEJ Dorong Media Peduli Krisis Iklim
Ketua Umum The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Rochimawati mendorong media di Indonesia memberikan perhatian lebih terhadap isu perubahan iklim dan komitmen yang akan dibawa Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 (COP26).
Hal itu diungkapkan Rochimawati akrab disapa Ochi saat membuka diskusi “Mengawal Ambisi dan Komitmen Indonesia Pasca COP26,” secara virtual, Sabtu (16/10). Menurut Ochi, perwujudan komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi penting seiring peningkatan suhu Bumi bersamaan dengan COP26 di Glasgow, Inggris.
“Kegiatan editor meeting merupakan kegiatan rutin untuk mendapat insight dari rekan-rekan editor dan media tentang isu lingkungan. Kami berharap kita di COP26 sudah melakukan action. Maka dari itu kita terus mengawal komitmen Indonesia pada COP26,” ujar Ochi.
Ochi berharap, komitmen Indonesia benar-benar dapat dilaksanakan dan penting bagi jurnalis untuk bisa membumikan isu perubahan iklim. “SIEJ berharap rekan-rekan media bisa terus aktif di pemberitaan lingkungan, terutama rekan-rekan media daerah,” ujarnya. Ochi yang dijadwalkan akan menghadiri konferensi internasional COP26.
Lebih jauh, Ochi menantikan aksi nyata dari komitmen pemerintah tersebut. Pasalnya, krisis iklim merupakan ancaman yang sangat serius dan implementasi dari penurunan emisi tersebut perlu dikawal agar transparan dan terukur
Sebagai informasi, kebijakan Indonesia dalam penanganan perubahan iklim dilakukan melalui dua dokumen, yakni peta jalan (road map) adaptasi perubahan iklim hingga Tahun 2030, yang dituangkan dalam Updated NDC dan dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 sebagai upaya aksi perubahan iklim sampai 2050. (Jekson Simanjuntak)