JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Selama 10 bulan pertama di tahun 2022, Indonesia mengalami 2.654 bencana alam yang terkait dengan hidrometeorologi dan iklim dengan dominasi kejadian banjir, longsor dan cuaca ekstrim .
Pemanasan global yang menyebabkan bencana iklim ini disumbang oleh sektor penggunaan bahan bakar fosil dan batubara selain hutan dan penggunaan lahan. Trend Asia merangkum beberapa peristiwa terkait iklim dan transisi energi di Indonesia selama tahun 2022.
1. Kebijakan pelarangan ekspor batubara
Krisis pasokan batubara yang terjadi di pembuka tahun 2022, menjadikan pemerintah mengawali tahun ini dengan kebijakan pelarangan ekspor batubara selama sebelas hari pada bulan Januari. Krisis batubara untuk kebutuhan PLTU domestik ini disebabkan oleh produsen batubara yang mangkir dari kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik atau Domestic Market Obligation (DMO) ketika harga batubara melambung.
Namun, kebijakan yang semula diberlakukan selama satu bulan, sejak 1 Januari hingga 31 Januari 2022, itu akhirnya hanya berlangsung 5 hari dan kembali dibuka pada 11 Januari 2022, setelah Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, membatalkan aturan itu.
Krisis pasokan batubara di awal tahun 2022 ini seharusnya membuat pemerintah sadar bahwa ketergantungan terhadap energi kotor akan terus membawa Indonesia terhadap ancaman krisis energi akibat fluktuasi harga global. Namun sebaliknya, kebijakan pemerintah di tahun 2022 justru sebaliknya, praktik transisi energi di Indonesia berjalan mundur.
2. RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) dukung solusi palsu
Pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) misalnya, yang seharusnya menjadi langkah transisi ke energi bersih dan berkelanjutan, justru banyak memuat poin yang mendukung solusi palsu dan cenderung, seperti pemberian insentif termasuk di antaranya proyek gasifikasi batubara.
3. IUPK PT Adaro
Selain itu, pada September 2022, Kementerian ESDM justru memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada PT Adaro tanpa proses evaluasi yang jelas. Adaro merupakan perusahaan batubara terbesar kedua di Indonesia yang memiliki rekam jejak lingkungan dan sosial yang buruk, khususnya bagi warga Kalimantan Selatan.
Ekspansi pertambangan dari PT Adaro telah menggusur paksa warga Desa Wonorejo. Warga yang tak mau menjual tanahnya pun seringkali diintimidasi oleh aparat keamanan.
Dengan diberikannya IUPK untuk PT Adaro ini, tentu membuat kita mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap transisi energi. Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk ke dalam sepuluh besar penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia yang didominasi dari sektor energi.
4. Cuaca ekstrem
Penggunaan energi kotor batubara merupakan salah satu penyebab kenaikan suhu global yang di tahun 2022 semakin terasa dampaknya di seluruh dunia, contoh nyata yakni bencana gelombang panas (heatwave) yang terjadi di pertengahan tahun 2022 di wilayah Eropa dan Amerika. Meski heatwaves tak terjadi di Indonesia, tapi cuaca ekstrem di Indonesia juga terjadi di pertengahan 2022.
5. Kebijakan kontroversial PP 26 tahun 2022
Dikeluarkannya kebijakan kontroversial PP 26 tahun 2022 yang memuat pembebasan royalti sebesar 0% bagi perusahaan tambang, seakan-akan memberikan “peningkatan nilai tambah” dan memihak pada kepentingan industri ekstraktif.
Kebijakan itu membuat perusahaan tambang ramai-ramai melakukan proyek hilirisasi, seperti proyek gasifikasi batubara yang ditargetkan secara masif oleh para tambang batubara raksasa dalam negeri seperti PT Bukit Asam Tbk, Bumi group, PT Indika Energy Tbk, dan PT Adaro Energy Tbk. Proyek gasifikasi batubara ini kemudian semakin kuat diakomodir oleh pemerintah lewat RUU EBET.
6. Rencana pembangunan 13,5 gigawatt PLTU
Hal lain yang menunjukkan kemunduran transisi energi di Indonesia yakni rencana pembangunan 13,5 gigawatt PLTU baru yang ada dalam RUPTL 2021-2030 yang tertulis dalam Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022. Dalam Perpres tersebut juga
tidak mengatur tenggat pembatasan pembangunan PLTU baru dan masih diperbolehkannya penambahan PLTU untuk penggunaan industri.
Rencana pembangunan PLTU baru ini akan mempersulit ruang bagi pembangunan energi bersih karena keberadaan PLTU baru akan menambah oversupply listrik, khususnya di Jawa-Bali dan Sumatera.
Pembangunan PLTU di tengah oversupply listrik tentu akan menambah beban keuangan negara karena skema take or pay, sehingga PLN harus membayar kapasitas yang ada, meskipun listrik itu sudah tidak diperlukan.
7. Indonesia rawan bencana
Pada tahun 2021, bencana di Indonesia didominasi oleh gempa dan cuaca ekstrem, dan di tahun 2022 ini, kejadian gempa bumi terjadi berulang kali dengan kekuatan yang besar. Cuaca ekstrem merupakan salah satu akibat dari penggunaan PLTU.
Selain itu, pembangunan PLTU yang masih terus dilakukan tentu berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya dan memicu kerugian negara.
Kejadian tsunami tahun 2018 yang meluluhlantakan PLTU Panau, Sulawesi Tengah dan mengakibatkan kerusakan sistem ketenagalistrikan, serta mengakibatkan biaya bencana yang besar, seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah agar berhenti membangun PLTU dan beralih ke energi bersih, terbarukan, adil, dan berkelanjutan.
8. Judicial Review UU Minerba
Di penutup 2022, jalan bagi oligarki ekstraktif pun semakin dipermudah. Setelah Mahkamah Konstitusi memenangkan proses Judicial Review UU Mineral dan Batubara (Minerba), pemerintah dan DPR memperkuat posisi oligarki ekstraktif dengan mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-undang predator itu semakin memperburuk posisi rakyat yang menolak keberadaan industri ekstraktif di wilayahnya.
Pasal 162 yang terdapat dalam UU Minerba memudahkan para pebisnis tambang memenjara masyarakat karena dianggap menghalangi pertambangan. Ini diperkuat dengan keberadaan pasal anti demokrasi dalam KUHP yang menjadikan masyarakat sulit menyampaikan kritik ke Presiden maupun lembaga negara.
9. Kriminalisasi warga tolak tambang
Saat ini, upaya kriminalisasi terhadap warga penolak tambang telah berulang kali terjadi. Di Pulau Wawonii misalnya kegiatan pertambangan nikel PT GKP yang diduga ilegal tak hanya mengancam keselamatan lingkungan, tapi juga memicu intimidasi warga oleh aparat kepolisian.
Selain pulau Wawonii, ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat penolak tambang emas di Pulau Sangihe, pulau kecil di Sulawesi Utara.
Selain upaya kriminalisasi kepada Robison Saul, nelayan penolak tambang, upaya intimidasi juga dialami oleh 14 warga lainnya dari Bawone dan Salurang. Di Lombok Timur, warga yang melawan keberadaan PLTU diintimidasi oleh keberadaan TNI yang membantu melakukan penggusuran warga.
1o. Kemunduran demokrasi
Sebelum adanya KUHP, demokrasi di Indonesia telah berjalan mundur. Dalam perhelatan G20 yang digelar di Bali misalnya, pemerintah melarang kegiatan masyarakat sipil di Bali. Pemerintah menggunakan aparat negara mengintimidasi dan membubarkan berbagai macam diskusi yang diselenggarakan oleh masyarakat sipil, termasuk diskusi yang diselenggarakan oleh masyarakat terdampak industri ekstraktif yang dihelat di Universitas Udayana.
Keberadaan KUHP juga semakin melanggengkan langkah para pebisnis batubara yang hendak melakukan praktik korupsi karena berkurangnya sanksi pidana dalam KUHP.
Sebagai contoh, kasus Pertambangan tanpa Izin (PETI) yang ada di Kalimantan Timur marak terjadi. Bahkan kasus ini melibatkan aparat kepolisian dan laporan warga juga tidak diproses oleh pihak kepolisian.
Fakta itu menguatkan bahwa praktik industri ekstraktif telah terbukti hanya menguntungkan segelintir orang karena pada kenyataannya, PLTU justru menghancurkan kehidupan sosial dan ekonomi warga di sekitarnya. (Jekson Simanjuntak)