JAKARTA, BL – Presiden Joko Widodo telah memperpanjang kebijakan moratorium (penundaan izin baru) hutan yang lemah dengan hanya mengganti nomor pada dokumen Intruksi presiden tanpa ada penguatan di dalamnya. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim Global kecewa terhadap kebijakan copy-paste ini.
Tepat pada akhir masa kadaluarsanya Inpres No. 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada tanggal 13 Mei 2015 lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim Global menilai Inpres moratorium yang dikeluarkan Presiden Jokowi, tidak ada yang berubah kecuali Nomor INPRES dan para pihak yang di instruksikan dikarenakan ada perubahan struktur kabinet pada masa pemerintahan Jokowi.
Tidak ada hal yang baru kecuali meningkatnya risiko penghancuran hutan yang lebih masif dan konflik sosial serta kontribusi lebih besar ke bumi akan Gas Rumah Kaca yang memperparah perubahan iklim/pemanasan global. Ini tanda bahwa Presiden Joko Widodo yang rimbawan belum benar-benar serius bekerja untuk hutan Indonesia dan rakyat yang tinggal di dalam dan sekitarnya.
Presiden dan Kementrian terkait juga gagal mendengar aspirasi publik agar kebijakan perlindungan hutan diperkuat dengan mengambil momentum berakhirnya Moratorium Hutan pertengahan Mei lalu.
Pemerintah telah melewatkan kesempatan baik untuk membuktikan janji perlindungan lingkungan seperti yang ada dalam Nawa Citanya sekaligus gagal memenuhi komitmen Nasional penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% hingga 41% sebagaimana telah diperkuat oleh RPJMN 2015 – 2019.
Saat perpanjangan moratorium yang baru, Menteri Siti Nurbaya melalui pernyataan pers resmi mengatakan bahwa pemerintah akan memastikan adanya penguatan dalam pelaksanaan Inpres. Namun pertanyaan besarnya adalah apa strategi penguatan tersebut, kapan dan bagaimana itu akan terjadi. Atau ini hanya sekedar menenangkan dinamika tuntutan publik semata.
Pilihan penguatan yang harus segera dilakukan Menteri Siti adalah mencabut SK 5984 tahun 2014 tentang peta indikatif arahan pemanfaatan kawasan hutan untuk izin usaha pemanfaatan kayu. SK tersebut secara nyata mengancam wilayah moratorium, juga menjadi peluang terjadinya konversi hutan alam terutama di pulau-pulau kecil. Kajian FWI menemukan bahwa masih banyak wilayah-wilayah berhutan yang belum terlindungi oleh moratorium.
“Dari seluruh area berhutan di Indonesia, hanya ada kurang lebih 54% yang terliput oleh kebijakan tersebut. Selain itu, Pemerintah harus lebih transparan agar publik tahu bagian mana moratorium yang dikorbankan untuk kepentingan bisnis. Statistik ternyata tidak cukup memberikan informasi tentang keberhasilan Penundaan Pemberian Izin Baru, FWI menuntut lebih dari sekadar angka. Informasi tentang letak dan sebarannya dari angka-angka tambah-kurang itu jauh lebih bisa bercerita tentang performa kebijakan PIPPIB,” tegas Muhamad Kosar Pengkampanye FWI.
Dahniar Andriani, Direktur Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mengatakan, selama periode moratorium masih ditemukan peningkatan jumlah konflik tenurial. Pemerintah masih belum mampu untuk menyelesaikan permasalahan mendasar dari tata kelola hutan sebagaimana dimandatkan oleh kebijakan moratorium.
Tercatat 384 konflik tenurial yang melibatkan sektor bisnis berbasis lahan dan Negara berhadapan dengan komunitas lokal dan adat. Konflik-konflik ini terjadi karena buruknya kebijakan perizinan yang tumpang tindih dan berpotensi melanggar hak-hak masyarakat adat dan lokal. Oleh sebab itu, perpanjangan moratorium semestinya diringi dengan upaya perubahan kebijakan terutama kebijakan perizinan. Dalam hal ini, Sekretariat Kabinet semestinya berperan aktif dalam upaya perubahan kebijakan tersebut yang lintas sektor.
Deputi I Sekjend AMAN, Mina Susana Setra mengatakan, selama ini kebijakan moratorium belum bisa menghentikan ekspansi perusahaan ke dalam wilayah adat. Keterlanjuran izin dijadikan alasan untuk merebut hutan adat, padahal seharusnya dilakukan kaji ulang secara utuh terhadap semua izin yang pernah diterbitkan, karena itu adalah bagian tidak terpisahkan dari sebuah kebijakan moratorium yang hakiki. Terlebih dengan adanya Putusan MK 35 tentang hutan adat, kebutuhan untuk mereview ijin-ijin tersebut seharusnya semakin kuat.
Direktur ICEL menuturkan, kondisi perbaikan tata kelola kehutanan yang dimandatkan oleh kebijakan moratorium selama ini belum terlihat maksimal. Hal ini terlihat dari aspek transparansi yang belum bisa ditunjukan dengan baik. Peta PIPIB yang seharusnya dapat diakses oleh publik dalam rangka pemantauan, masih terkesan ditutupi.
Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia Teguh Surya mengatakan, Presiden Jokowi harus memperjelas bagaimana rencana penguatan tersebut akan dilakukan dan kapan hal itu akan terjadi sebab kehancuran hutan Indonesia tidak pernah berhenti.
Oleh karena itu, KLHK perlu segera memastikan keterlibatan masyarakat sipil dengan lebih sistematis dalam agenda penguatan Moratorium sebagaimana yang telah Menteri sampaikan pada 13 Mei 2015. Transparansi terhadap PIPIB juga penting untuk segera diwujudkan secara jelas untuk menjamin akuntabilitas KLHK, dengan membuka akses terhadap data dan informasi yang bisa digunakan organisasi masyarakat sipil untuk melakukan analisis geospasial. Dan untuk menghadirkan rasa keadilan ditengah-tengah masyarakat KLHK perlu menyegerakan pelaksanakan Keputusan MK No 35/PUU-X/2012 dengan tepat dan adil.
“Saatnya presiden berhenti memberi harapan dan segera bekerja keras merumuskan Inpres yang lemah tersebut menjadi lebih kuat pada saat pelaksanaannya. Hutan dan masyarakat Indonesia butuh bukti,” kata Teguh. (Marwan)
–>