Panen tebu. Foto : Antarasumbar. |
Peneliti dari Indonesia Climate Change Center-ICCC menyatakan bahwa Indonesia bisa jadi eksportir bahan bakar nabati (BBN) terbesar di dunia, jika dengan tepat memanfaatkan lahan terdegradasi (degraded land) atau lahan kritis.
Namun, pengembangan BBN baru berhasil pada biodiesel, sedangkan bioetanol mengalami kegagalan. Padahal, penggarapan bioetanol yang serius bisa jadi solusi atas defisit energi di Indonesia sekaligus langkah mitigasi perubahan iklim dari sektor transportasi.
Penelitian terbaru ICCC yang bertajuk “Transportasi Ramah Lingkungan untuk Pertumbuhan Ekonomi Jangka Panjang Berkelanjutan” menyatakan bahwa Indonesia berpotensi memenuhi 20% pasar global untuk BBN. Jika dilihat dari target global, estimasi lahan untuk memenuhi kebutuhan BBN dunia mencapai 70 juta hektare hingga 2050. Proyeksi International Energy Agency-IEA menunjukkan bahwa penurunan lahan perkebunan di negara maju mencapai 50 juta ha, sementara di negara berkembang akan terjadi peningkatan 120 juta ha.
Luas lahan kritis di Indonesia sendiri diperkirakan sekitar 78,43 juta ha dimana 29,72 juta ha berada di luar area hutan. Berdasarkan mandat rasio pencampuran bioetanol, Indonesia akan membutuhkan paling tidak 10 juta kiloliter bioetanol hingga 2025. Studi ini memperkirakan minimum 1,5 juta ha degraded land atau lahan terdegradasi yang cocok cukup untuk memenuhi mandat tersebut dengan menggunakan teknologi generasi pertama untuk tebu.
“Indonesia bisa jadi eksportir BBN terbesar di dunia hanya dengan 1,5 juta ha lahan untuk bioetanol. Kalau potensinya digarap serius, Indonesia bisa tidak pakai bahan bakar fosil lagi,” ujar Artissa
Panjaitan, peneliti utama sekaligus Koordinator Kluster Strategi Pengembangan Rendah Emisi ICCC.
Lahan kritis di Indonesia sebagian berasal dari deforestasi. Data dari Dewan Nasional Perubahan Iklim-DNPI, menunjukkan bahwa 53% deforestasi dan kerusakan hutan di Indonesia telah mengubah hutan menjadi lahan kritis. Sisanya, 15% untuk pertanian, 13% untuk perkebunan, 9% untuk Hutan Tanaman Industri atau HTI, 1% untuk pertambangan, dan 10% untuk jalan raya, jalur kereta, dan lain-lain.
“Ini menunjukkan emisi kita selama ini dihasilkan untuk kegiatan yang tidak produktif, maka ke depannya lahan terdegradasi itu perlu dinaikkan produktivitasnya,” papar Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim sekaligus Ketua Sekretariat DNPI seperti dikutip Ekuatorial (Situs Sindikasi Beritalingkungan.com). Tak heran, ICCC merekomendasikan potensi degraded land tersebut untuk produksi bahan baku BBN.
Syarat lahan kritis yang diajukan dari penelitian adalah yang minim konflik sengketa lahan dan biaya perolehan lahannya rendah, serta sesuai dengan rencana tata ruang yang telah berlaku. Area terdegradasi di Hutan Produksi Konversi (HPK) adalah area yang diprioritaskan sebagai perkebunan bahan baku bioetanol.
Saat ini, ada sekitar 14 juta ha lahan kritis dalam area HPK. Lahan 1,5 juta ha yang dibutuhkan kemungkinan besar tersedia di 6 provinsi, yaitu Papua, Kalimantan Tengah, Riau, Maluku, Maluku Utara, dan Pulau Riau. Keenam provinsi tersebut tidak memiliki riwayat perkebunan tebu dan relatif rendah kepadatan populasinya. Prioritas utama dijatuhkan pada Provinsi Kalimantan Tengah sebagai awal dari industri bioetanol tebu.
Defisit Energi
Saat ini Indonesia mengalami defisit energi yang disebabkan oleh dua hal, yaitu menipisnya cadangan minyak bumi sehingga meningkatkan impor BBM, dan meningkatknya konsumsi listrik yang terus menyedot BBM terutama solar. Sedangkan, sebagai hasil dari subsidi bahan bakar transportasi dan listrik, pada 2013 Indonesia defisit lebih dari US$ 9,7 miliar dan berkontribusi pada percepatan emisi gas rumah kaca (GRK). “Di Indonesia, pertumbuhan bensin tiga kali lebih cepat daripada pertumbuhan ekonominya. Ini kan ada yang salah,” Artissa mengungkapkan.
Untuk menghadapi permasalahan ini, pengembangan BBN adalah solusi jitu. Secara global, BBN khususnya bioetanol adalah jalan untuk mengurangi impor minyak, mendistribusikan permintaan bahan bakar untuk mengurangi harga yang berubah-ubah, dan mengurangi emisi GRK dimana produksi dan penggunaan bioetanol 40-60% lebih rendah emisi daripada bensin. Sayang, pemerintah dinilai belum serius menggarap BBN secara keseluruhan. Pengembangan biodiesel memang dinilai berhasil sejauh ini, bahkan produksinya akan ditingkatkan 20%, namun produksi bioetanol mengalami kemandekan.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menginisiasi mandat rasio pencampuran bioetanol melalui Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 yang secara formal mengukuhkan Kebijakan Energi Nasional untuk menggantikan penggunaan bensin dan diesel. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral-KESDM Peraturan No. 32 tahun 2008 tentang target pengembangan bioetanol dan biodiesel periode 2008-2025. Namun, sejak 2010 produksi bioetanol dihentikan karena biaya produksi domestik yang tidak kompetitif.
Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa harga bioetanol yang formulanya dibuat pemerintah, tidak cocok dengan keinginan produsen. “Tahun 2008-2009 harganya masih bisa masuk, tapi 2010 menjadi tidak layak, semua produsen tidak mau menjual dengan harga itu, terlalu murah,” paparnya.
Dadan mengakui bahwa KESDM telah mengajukan revisi formula harga bioetanol itu kepada Kementerian Keuangan sejak Mei 2011 agar bioetanol bisa lebih mahal dan kesepakatan subsidi tercapai. “Saya sih selalu optimistis, tapi kalau dilihat sepertinya masih lama sepakatnya,” tutup Dadan saat ditanya perihal kapan kesepakatan akan dicapai.
Dimulai dari Tebu
Penelitian ICCC merekomendasikan tebu sebagai bahan baku bioetanol generasi pertama yang utama dikembangkan di Indonesia, kemudian dilengkapi dengan singkong dan sagu.
Tebu dipilih untuk bioetanol terutama karena harganya yang paling murah dibandingkan dengan bahan bakar lainnya dan itu konsisten dalam jangka panjang, paling tidak hingga 2050. Harganya per energi konten sudah berimbang dengan harga bensin, impasnya USD 100-110 per barel.
“Proyeksi IEA jelas, bahan bakar dari tebu itu paling murah dan terus flat sepanjang masa. Untuk biaya produksi, dua tahun bisa cepat kembali modal. Investasi lahan sekitar Rp 50 juta per hektare dan teknologi refinery (penyulingan) tebu jauh lebih murah dari minyak fosil,” Artissa menjelaskan.
Selain harganya murah, konsep dan teknologi pengembangan bioetanol tebu pun sudah berkembang stabil secara global. Artissa menjelaskan bahwa sejak 1970-an Brazil telah mengembangkan tebu menjadi bahan bakar etanol dan 30 tahun adalah waktu yang cukup untuk memantapkan teknologi pengembangan BBN dari awal hingga akhir. Alasan lain pemilihan tebu adalah secara ekonomi paling kompetitif dan cocok untuk pembangunan pedesaan, selain itu adanya kepentingan pangan.
“Sementara ini resistensi pengambilan kebijakan agak lebih mudah diatasi kalau kita berbicara tentang tebu karena juga ada kepentingan tentang gula kan,” ujar Artissa.
Untuk singkong, Artissa mengungkapkan beberapa tantangannya, yaitu teknologinya yang belum maju dan belum stabil. “Thailand negara yang cukup serius mengembangkannya baru-baru ini. Hal ini membuat pengembangan bioetanol singkong akan memakan lebih banyak usaha dan investasi biaya serta riset,”katanya, “Oleh karena itu perlu dikombinasikan mana lahan yang ditanami tebu, mana yang singkong, sesuai kecocokannya saja. Tapi jelas tebu harus dipertimbangkan.”
Bahan baku bioetanol lainnya yang berpotensi di Indonesia adalah sagu. Indonesia memiliki 1,2 juta ha dari total 2,2 juta ha kebun sagu di dunia, yang tersebar di Riau, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Satu hektare sagu dapat memproduksi 15 kiloliter etanol per tahun. Angka produktivitas ini lebih tinggi daripada sumber lainnya yang berpotensi. Keuntungan lain dari sagu adalah dapat dipanen secara berkelanjutan berkali-kali selama puluhan tahun. Namun, tantangan pengembangan bioetanol sagu terletak pada teknologi dan ancaman keberlanjutannya.
Pangan vs Energi
Permasalahan yang kerap akan muncul dalam pengembangan bioetanol sebagai campuran bensin adalah kompetisi dengan sektor pangan. Manufaktur mesin mobil harus didorong memproduksi mesin yang fleksibel terhadap pencampuran bioetanol-bensin. Sebab, saat harga gula turun, produsen dapat meningkatkan produksi bioetanol dan sebaliknya, sehingga rasio pencampuran bisa berubah.
“Contohnya di Brazil, jika harga gula sedang jatuh, tebunya diubah menjadi bahan bakar. Ketika harga gula naik, rasio etanolnya berkurang,” terang Artissa. Ia mennyebutkan bahwa di Brazil ada otoritas yang mengatur kapan peralihan semacam itu perlu dilaksanakan. Mekanisme itu juga bisa terjadi karena pemilik kebun tebu merupakan produsen etanol sekaligus produsen gula.
Kalau di Indonesia berbeda, misalnya kegagalan di Lampung terjadi karena produsen etanol bukanlah pemilik lahan, sehingga ketika terjadi persaingan antara pemakai lahan, harga bahan bakunya naik. “Itu persoalan di Indonesia, makanya kami sarankan gunakan lahan yang tadi disebutkan sudah terdegradasi sebagai tempat penanaman tebunya,” kata Artissa.
Hambatan besar lainnya yang ditemukan adalah bahwa lembaga yang mengatur industri bioetanol terlalu banyak, sehingga sulit bagi investor untuk masuk. Saran kami untuk disederhanakan melalui satu otoritas yang mewakili semua lembaga yang disebutkan oleh undang-undang.
Artissa mengungkapkan bahwa pada saat diskusi awal dengan KESDM mengenai hasil penelitian ini, sejauh ini tanggapannya positif, namun mereka ragu perihal penyederhanaan perizinan. Ke depannya, akan ada pertemuan lagi dengan lembaga pemerintah secara khusus. (Ratih Rimayanti/Ekuatorial)