![]() |
Ikan Pelangi Papua. Foto : Istimewa. |
MANOKWARI, BL- Tingginya perubahan habitat alami, pencemaran dan ekspansi ikan eksotis menyebabkan berbagai jenis ikan pelangi (rainbow fish) Papua terancam punah dari habitat aslinya.
Sebagai contoh, jenis ikan asli Danau Sentani, Jayapura, yakni chilatherina sentaniensis dan glossolepis incisus, serta ikan pelangi Arfak atau melanotaenia arfakensis di Manokwari. Chilatherina sentaniensis, bahkan tak ditemukan lagi di Danau Sentani.
Peneliti ikan air tawar dari Fakultas MIPA Universitas Cenderawasih Jayapura, Hendrite L. Ohee, menuturkan, Ikan berwarna merah tomat cerah ini kini hanya ditemukan di sungai-sungai kecil yang masuk ke danau.
Perubahan habitat ini terjadi menyusul daerah hutan sekitar danau, khususnya yang berbatasan dengan daerah perkotaan dan pemukiman ditebang untuk pembangunan sarana dan prasarana pembangunan. Tak terkecuali Cagar Alam Pegunungan Cycloop yang menyuplai air bagi danau ini. “Semakin lama, tekanan terhadap kedua ikan ini kian besar jika tidak ada usaha untuk melestarikan habitatnya,” terangnya.
Danau Sentani juga menjadi tempat sampah besar bagi penduduk yang membuang limbah domestik baik yang cair maupun padat misalnya sampah plastik, kertas, botol dan kaleng. Daerah tepian danau yang merupakan habitat kedua ikan pelangi Danau Sentani yang memiliki kedalaman kurang dari 2 meter saat ini penuh dengan berbagai jenis sampah, limbah cair seperti minyak dan sabun, meningkatnya sedimen dan kekeruhan yang menyebabkan tempat bermain, bertelur dan mencari makan kedua ikan ini hilang.
Kondisi itu diperparah dengan meningkatnya pembukaan areal hutan yang memicu pemanasan global sehingga mengakibatkan suhu permukaan danau semakin panas. Akibatnya, berbagai aspek kimiawi air seperti kandungan oksigen terlarut maupun tingkat asam-basa air (ph air) pun terpengaruh. “Akumulasi berbagai ancaman ini menyebabkan kedua jenis ini semakin terancam,” kata Hendrite.
Glossolepis Incisus pun jumlahnya kian berkurang baik di daerah muara sungai maupun di danau karena sedimentasi menutupi muara sungai. Kali Mekaye, lokasi sekitar danau dimana dua jenis ini masih bisa ditemukan, juga kian mengecil akibat dari pembukaan hutan di sepanjang sungai. “Jika tekanan ini terus terjadi bukan mustahil keberadaan dua jenis ikan di sekitar sungai ini sekedar menjadi cerita,”ujarnya.
Kondisi serupa juga dialami ikan pelangi Arfak di Manokwari Provinsi Papua Barat. Tingginya aktivitas perambahan dan pembukaan areal hutan di sekitar cagar Alam Pegunungan Arfak yang merupakan habitat ikan pelangi menjadi ancaman nyata bagi jenis ikan ini.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan peneliti dari Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua (FPPK UNIPA) pada beberapa sungai/anak sungai di sekitar cagar alam Pegunungan Arfak melaporkan, ikan ini dapat ditemui pada kali di utara cagar alam, yakni, Sungai Warmare, Sungai Madrat, sungai Subsay dan Sungai Aimasi.
Menurut peneliti UNIPA, Richardo Tapilatu dan Albert W.A, Ikan endemik Pegunungan Arfak ini hanya dijumpai terbatas pada sungai – sungai yang dekat dengan Kali Prafi, habitat atau tempat pertama ditemukannya ikan ini oleh Gerald Allen 1990 lalu.
Ikan pelangi Arfak telah diidentifikasi IUCN (1996) dan dikelompokkan dalam Famili Atherinidae yang secara umum berukuran kecil serta termasuk ikan air tawar dari Australia dan New Guinea. Sebagian jenis ikan ini dapat hidup di air payau. Tidak mengherankan karena jenis ikan ini sesungguhnya ikan laut (Menzienes, 1998) yang ‘adapt’ air tawar setelah penurunan permukaan air bumi beberapa juta tahun lampau.
Ikan ini bisa bertahan hidup pada ank-anak sungai atau kali berair jernih yang alirannya tidak deras atau pada genangan air, maupun lengkungan kali yang tidak deras. Biasanya warna ikan yang hidup di air yang mengalir jauh lebih terang dibanding pada kubangan. Diduga hal ini terjadi karena sirkulasi air.
Ikan pelangi Arfak, warnanya beragam yakni hitam kebiru – biruan yang memanjang dari ekor hingga kepala lantas membelah bagian sirip atas dan bawah. Pada bagian lain terdapat dua garis tengah (hitam). Di ekor terdapat dua garis hitam kebiruan pada sirip ekor atas dan bawah (caudal fin) maupun pada garis punggung (dorsal fin) dan sirip bagian bawah (anal fin). Kepalanya berwarna kuning emas bercampur putih abu – abu dan perak, perutnya berwarna putih bening, Warna yang seperti namanya, pelangi.
Warna ikan ini menadi senjata dalam proses reproduksi. Ikan jantan biasa memulai dengan memamerkan warnanya yang cerah kepada ikan betina, kecerahan warna ini memantulkan pola warga garis (tripe) pada tengkuk. Masyarakat Suku Hatam (sub Suku besar Arfak, Manokwari) menyebut ikan ini, “Sebrad” yang artinya berukuran kecil. Panjang rata – rata ikan ini hanya 7 cm dengan diameter rata – rata 1,7. cm. Ukurannya yang kecil serta berduri membuat ikan ini relatif aman (dari) tujuan konsumsi manusia. Masyarakat setempat tak memakannya.
Ikan pelangi termasuk dalam famili melanotaeniidae. Lebih dari 50 persen jenis-jenis ikan pelangi terdapat di Papua. Puluhan jenis diantaranya adalah endemik Papua atau tak ditemukan di tempat lain. Ikan Pelangi Papua, khususnya ikan pelangi merah, telah menyebar sampai di pasaran internasional karena keindahan warna tubuhnya yaitu merah tomat yang cerah sekali, incaran hobis akuarium.
Menurut sejumlah peneliti UNIPA, keberadaan ikan pelangi, khususnya pelangi Arfak, cukup rawan dan rentan punah bila langkah pengelolaannya tak dilakukan sesegera mungkin.
Hal itu juga dibenarkan Ketua Jurusan Perikanan FPPK UNIPA, Dr Ir.Vera Sabariah, MSc, Rabu (14/7). Menurutnya, kondisi ikan pelangi Arfak yang lemah, mudah mati jika ditangkap, mudah tersaingi dan dimangsa ikan – ikan pendatang, rentan penyakit, limbah pemukiman maupun limbah serbuk gergaji di sekitar hutan adalah ancaman utama bagi habitat (dan juga) ikan ini. “Secara ekologis ikan ini masih bisa bertahan, namun perlu perhatian agar tidak punah,” tandasnya. (Patrix. B. Tandirerung)