BORONG, BERITALINGKUNGAN.COM – Koalisi masyarakat sipil, terdiri dari WALHI NTT, PMKRI, GMNI, Gerakan Perempuan Manggarai, HIPMATIM, TAMISARI, JPIC (KEUSKUPAN, OFM, SVD), FLOBAMORAROSA dan Diaspora Manggarai Raya mengajukan petisi online kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka meminta pertambangan batu gamping di Manggarai Timur segera dihentikan.
Koalisi masyarakat sipil menyesalkan keputusan Gubernur NTT (Victor Laiskodat) bersama Bupati Manggarai Timur (Andreas Agas) yang melanjutkan proses pemberian Izin Usaha Pertambangan produksi Batu Gamping dan rencana pembangunan pabrik semen di Kampung Lingko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur.
“Di tengah amukan COVID-19, diam-diam gubernur dan bupati melanjutkan proses izin tambang batu gamping dan pembangunan pabrik semen”, tulis mereka dalam siaran persnya.
Diketahui Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi telah diberikan kepada PT. Istindo Mitra Manggarai dan Grup Semen Singa Merah No. 540.10/119/DPMPTSP/2019 tanggal 25 September 2019 dengan luas areal konsensi 599 hektar.
IUP tersebut diterbitkan ketika moratorium tambang di NTT masih berlaku sesuai SK Gubernur No. 359/KEP/HK/2018 tanggal 14 November 2018. Padahal dalam butir tujuh SK tersebut dinyatakan bahwa moratorium berlaku selama satu tahun dan akan berakhir pada tanggal 14 November 2019.
“Dengan demikian, pemberian IUP oleh Gubernur melanggar SK yang diterbitkannya sendiri. Karena itu kami meminta Pemprov NTT dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk konsisten menerapkan moratorium tambang di semua wilayah NTT,” tulis mereka.
Di samping itu, pemilik yang sama tetapi dengan nama perusahaan yang berbeda yakni PT. Mangan Reo Indonesia telah diberikan konsensi lahan tambang mangan seluas lebih kurang 700 hektar. Namun selama masa moratorium ini ditelantarkan tanpa proses evaluasi dan perbaikan seperti dimandatkan dalam SK Moratorium tambang.
Sementara Grup Semen Singa Merah adalah investor yang sama yang telah berkonflik dengan 500 petani dalam investasi semen di Puger Kulon Jember Jawa Timur.
“Rekam jejak yang demikian itu tidak diindahkan dalam pemberian IUP dimaksud”, tulisnya kemudian.
Selain itu, lokasi pertambangan tersebut merupakan satu-satunya eko-region perbukitan karst Flores yang telah disahkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018 tentang Penetapan Wilayah Ekoregion Indonesia.
“Karena itu kami meminta pemerintah melindungi kawasan Ekosistem Karst Flores dari semua jenis operasi pertambangan,” tulis mereka.
Wilayah karst ini menjadi regulator air yang menyediakan suplai air bersih bagi daerah sekitarnya, termasuk dataran fluvial yang selama ini memberikan penghidupan bagi ribuan komunitas di belahan barat Pulau Flores, khususnya dari Reo di Kabupaten Manggarai hingga Riung di Kabupaten Ngada.
Operasi pertambangan dinilai turut meningkatkan kerentanan warga di wilayah ini yang sudah bertahun-tahun menderita kekurangan air bersih, menggusur persawahan aktif, lahan pangan, pertanian, dan merelokasi kampung tua Lingko Lolok beserta situs-situs adat yang telah berusia 100 tahun.
Konversi lahan pertanian menjadi pertambangan bertentangan dengan semua kecenderungan kebijakan Pemerintah Nasional untuk mengupayakan ketahanan pangan pasca pandemi COVID-19.
Alokasi pertambangan di wilayah ini merupakan rangkaian dari tindakan gegabah Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur saat membuat tata ruang lewat Perda No. 6 Tahun 2012 yang mengalokasikan pertambangan di ekosistem karst.
Karena itu, koalisi masyarakat sipil meminta Pemprov NTT dan Pemerintah Kab. Manggarai Timur segera mencabut izin pertambangan dan pabrik semen PT. Istindo Mitra Manggarai dan PT. Semen Singa Merah
Selanjutnya Pemkab Manggarai Timur diminta meninjau kembali Perda Tata Ruang Kabupaten Manggarai Timur untuk menetapkan kawasan ekosistem karst sebagai wilayah lindung
Lebih lanjut, koalisi masyarakat sipil juga mengingatkan Pemprov NTT agar konsisten menetapkan Flores sebagai kawasan pariwisata.
Lalu, sejalan dengan misi pariwisata, koalisi masyarakat sipil menyerukan agar “ruang Flores harus bebas dari aktivitas yang merusak bentang alam, terutama pertambangan yang justru melenyapkan potensial pariwisata”. (Jekson Simanjuntak)
–>