JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Deputi II Sekretaris Jenderal AMAN untuk Urusan Politik Erasmus Cahyadi menyerukan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Aturan tentang masyarakat adat sangat dibutuhkan untuk menerjemahkan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat.
Seharusnya, aturan di UU tidak saja sederhana, namun juga komprehensif untuk menjawab prosedur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Pasalnya, selama ini prosedur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat terkesan berbelit-belit dan sektoral.
“Yang kita perlukan saat ini tidak saja mempercepat proses pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat, tetapi juga harus memastikan bahwa RUU itu sungguh-sungguh menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat adat selama ini” ujarnya.
Kondisi negara yang belum memiliki payung hukum perlindungan terhadap masyarakat adat mengakibatkan situasi yang sangat mengkhawatirkan, dan menyebabkan masyarakat adat berada di posisi marjinal.
Sementara itu, kurangnya edukasi dan sosialisasi mengenai hak-hak masyarakat adat juga mengancam ruang hidup mereka. “Karena itu, urgensi untuk menghadirkan harmonisasi kebijakan yang melindungi dan merangkul masyarakat adat harus terus didorong,” tegas Erasmus.
Momentum peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional, menurut Erasmus harus dimaknai sebagai pengingat bahwa masyarakat adat adalah bukti dan teladan dalam hal menyeimbangkan kembali hubungan manusia dengan alam.
“Termasuk kemampuan untuk beradaptasi di tengah perubahan-perubahan atas lingkungan, krisis iklim dan modernisasi,” ujarnya.
Hutan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat yang telah menopang kehidupan sehari-hari, dan juga titipan kepada generasi yang akan datang. Hutan merupakan kekayaan penting bagi masyarakat adat untuk menjamin kesejahteraan hidupnya.
“Maka dari itu dalam momentum ini, perlu direfleksikan kembali hak-hak masyarakat adat atas hak ulayat dan wilayahnya, bagi mereka yang bernaung di NKRI. Sudah sewajarnya masyarakat adat mendapatkan keadilan dan perlindungan melalui pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat,” terang Erasmus.
Hutan Adat Menua Sungai Utik
Ketua Perkumpulan Gerempong Menua Judan Sungai Utik, yang juga Dewan AMAN Daerah Kapuas Hulu Raymundus Remang mengatakan bahwa salah satu hutan adat yang diakui negara adalah hutan milik Masyarakat Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik. Pengakuan tersebut dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui SK Nomor: 3238/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL. 1/5/2020 pada 20 Mei 2020.
Pemerintah menetapkan Hutan Adat Menua Sungai Utik seluas 9.480 hektar sebagai milik Masyarakat Hukum Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik Ketemenggungan Jalai Lintang. Kendati sudah diakui, perlindungan hak masyarakat adat masih belum maksimal.
Pada 25 Mei 2022, beberapa petugas dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kapuas Hulu Utara memasuki kawasan hutan adat tanpa seizin warga. Petugas mempertanyakan aktivitas warga yang tengah mengumpulkan kayu untuk pembangunan revitalisasi Rumah Panjang.
“Para petugas mengaku sedang berpatroli, namun untuk masuk hutan adat, sudah sepatutnya perizinan diantarkan terlebih dahulu ke masyarakat adat yang menjadi tuan rumah,” ujar Raymundus.
Selama ini, masyarakat adat merupakan satu kesatuan dengan hutan adat. Mereka memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan, karena disanalah sumber kehidupan.
“Kejadian seperti ini sangatlah mengecewakan kami, pemerintah seakan-akan tidak menghormati tata aturan adat yang telah dibangun di wilayah adat dan hutan adat Menua Sungai Utik,” terangnya.
Menurut Raymundus yang juga Kepala Desa Batu Lintang Sungai Utik, kejadian di desanya menjadi refleksi bahwa walaupun sudah memegang SK secara sah, tidak menjadi jaminan masyarakat adat terbebas dari konflik agraria. Belakangan bahkan berujung pada upaya kriminalisasi kelompok adat.
“Pengakuan saja tidaklah cukup, masyarakat adat yang bernaung di NKRI memerlukan undang–undang yang mengatur tentang masyarakat adat dan hak ulayatnya secara utuh,” tegasnya.
Menurutnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat yang telah dibahas sejak zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mandek. Padahal urgensi RUU tersebut, memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan masyarakat adat di Indonesia. Juga untuk menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, termasuk kerusakan hutan adat di Indonesia.
Menanti Janji Pemerintah
Pada Maret 2017, AMAN sempat dilibatkan dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat untuk mendukung kehadiran negara di tengah masyarakat adat. Bahkan, Presiden Jokowi sudah menjanjikan dukungan pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam Nawacita periode pertamanya.
Sejumlah komitmen tertuang untuk menghadirkan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat.
Tak hanya itu, Jokowi mengusulkan pembentukan komisi independen yang diberi mandat untuk menyelesaikan konflik agraria, serta penetapan desa adat. Sejauh ini, RUU Masyarakat Adat sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022, namun belum ada perkembangan yang signifikan hingga saat ini.
Harapan atas hadirnya negara di tengah masyarakat adat tidak kunjung terealisasi selama satu dekade Presiden Jokowi. Terbukti perkembangan RUU Masyarakat Hukum Adat seakan jalan ditempat, disertai munculnya konflik agraria, dan diskriminasi yang dialami masyarakat adat di Indonesia.
Jika dibiarkan berlarut-larut, masyarakat adat berpotensi kehilangan hak ulayat yang menjadi sumber penghidupan mereka. Ketiadaan payung hukum akan membuat mereka rentan terhadap berbagai ancaman, kekerasan, dan kriminalisasi, ditambah dengan adanya perubahan iklim yang mengancam ruang hidup komunitas adat.
Di tengah ketidakpastian hukum dan berbagai tantangan, masyarakat adat terus melestarikan hutan dan menjaga kearifan lokal, dengan cara memelihara tradisi dan ritual adat untuk merawat kebudayaan.
Jalan Panjang
Indonesia yang terdiri dari 17.504 pulau, 714 suku dan lebih dari 1.100 bahasa memiliki keberagaman yang dikenal sebagai kekayaan nusantara. Adat dan budaya telah ada sejak dahulu dan tidak dapat dipisahkan dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masyarakat adat adalah kelompok yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. Tersebar di seluruh daerah di Indonesia berjumlah 70 juta jiwa.
Masyarakat adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat sebagai komunitas adat.
Sudah 9 tahun sejak Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan pengujian terhadap UU Kehutanan yang diajukan oleh 3 aliansi masyarakat hukum adat. Gugatan pengujian itu mempersoalkan UU Kehutanan selama 10 tahun masa berlakunya telah digunakan sebagai payung hukum melakukan tindakan sewenang-wenang untuk mengambil alih hak masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya untuk kemudian dijadikan hutan negara.
Selanjutnya, atas nama negara, kawasan hutan diberikan dan atau diserahkan kepada pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak ulayat serta kearifan lokal masyarakat setempat.
Keputusan penting bagi masyarakat adat yang tertulis dalam Putusan Sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara.
Sementara menunggu disahkannya RUU Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.21 tertanggal 29 April 2019 tentang hutan adat dan pengakuan wilayah hutan adat cenderung berjalan lambat.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per 13 Desember 2021 memperlihatkan penetapan status hutan adat sudah mencapai 69.147 hektar dari total 1.090.755 hektar luas indikatif hutan adat. (Jekson Simanjuntak)