Oleh: IGG Maha Adi
Target industri hulu migas Indonesia untuk berproduksi pada tingkat 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada tahun 2030, telah dicanangkan sejak akhir 2019 oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Jika tercapai, produksi tu akan menjadi puncak sejarah baru industri migas Indonesia. Di sisi lain, kebutuhan investasi untuk mencapai target tersebut diperkirakan US$250 miliar atau US$25 miliar per tahun, serta komitmen kuat dari pemerintah dalam mendukung kepastian berusaha para investor.
Kepentingan untuk meningkatkan produksi migas sebagai prioritas utama sektor energi 10 tahun ke depan, dapat dilihat dari kondisi-kondisi obyektif industri migas Indonesia, sebagai dasar menentukan arah proyeksinya.
Terdapat minimal tiga kondisi obyektif yang mempengaruhi industri migas Indonesia yaitu visi energi pemerintah, posisi energi dalam pembangunan, dan investasi energi.
Visi energi negara dituangkan dalam UU No.30 Tahun 2017 tentang Energi, yang dengan jelas menyatakan bawah pengelolaan energi dilakukan dengan mengutamakan kemampuan nasional dan dijelaskan pula bahwa tujuan pertama pengelolaan ini adalah mencapai kemandirian pengelolaan energi.
Peraturan Presiden No.22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menerjemahkan keinginan undang-undang itu dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menetapkan target bahwa bauran energi yang berasal dari minyak bumi di tahun 20225 akan kurang dari 25%, dan kurang dari 20% pada tahun 2050.
Sedangkan gas bumi untuk periode yang sama masing-masing 22% dan 24% atau terjadi peningkatan karena cadangannya yang masih relatif besar. Beberapa tahun ke depan, energi migas tetap menjadi primadona yang menggerakkan pembangunan nasional. Sampai tahun 2020, Indonesia mengandalkan 89,10% energi berbasis fosil yang berasal dari minyak bumi, gas alam, dan batubara untuk menggerakkan roda pembangunan, sedangkan hanya 10,9% dari sumber energi baru dan terbarukan.
Ini Saat Tepat
Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dalam beberapa kesempatan menegaskan tentang kebutuhan mutlak untuk melakukan transisi energi dari berbahan dasar fosil menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Indonesia memiliki potensi sumber daya EBT sangat besar, lebih dari 400 GW namun saying sekali dari jumlah tersebut baru dimanfaatkan sebesar 2,5% atau 10 GW. Pengembangan EBT ke tingkat 10% atau 20% dari potensinya, akan membutuhkan investasi yang besar, tawaran insentif yang jelas dari sisi konsumen, pembangunan infrastruktur energi, pengembangan industri penunjang di hulu dan hilir serta pencabutan subsidi BBM agar dapat bersaing dengan energi migas dan batubara.
Faktor penting lain terkait EBT adalah komitmen internasional dari Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan, dan sektor energi akan terus diminta untuk meningkatkan persentase penurunan emisinya.
Karena di sisi lain konsumsi energi menunjukkan peningkatan setiap tahun, sedangkan produksi migas dalam negeri terus menurun, maka pemerintah menempuh strategi dua arah secara simultan yaitu mendorong EBT sekaligus meningkatkan produksi migas.
Melalui peningkatan produksi lapangan dalam negeri, keran impor diperkecil atau dapat ditiadakan sama sekali, dan hasil migas dan pengalihan subsidi energi dapat dipakai meningkatkan investasi pemerintah untuk EBT. Bagaimana menarik investasi setidaknya US$25 miliar setiap tahun, inilah pertanyaannya.
Menggunting Pita
Data Kementerian ESDM menyebutkan cadangan terbukti minyak bumi Indonesia sekitar 2,5 miliar barel atau 0,1 persen dari cadangan terbukti dunia atau di urutan ke-26 dari negara-negara produsen minyak bumi dunia.
Dari sisi investasi, data yang disajikan Wood Mackenzie (2021) menunjukkan daya tarik fiskal hulu migas Indonesia hanya mencapai 2,4 pada skala 0-5 sehingga berada di bawah rata-rata dunia yang 3,3. Dengan situasi ini, Indonesia harus berjuang keras memperebutkan investasi migas global yang tahun 2021 diperkirakan stagnan di angka US$300 miliar.
Untuk mempelajari pengaruh berbagai faktor atas investasi migas, kita bisa meminjamnya dari studi tentang migrasi manusia yang dapat diterapkan untuk menyederhanakan telaah, yaitu faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull factors).
Termasuk ke dalam faktor pendorong utama adalah dua situasi umum yang dihadapi oleh produsen dan konsumen migas yaitu; Pertama, potensi hipernormalitas permintaan migas pasca pandemi Covid19 yang ditandai dengan kenaikan permintaan, semua negara produsen ingin menarik investor sebanyak mungkin dan berproduksi setinggi mungkin.
Secara sederhana, hipernormalitas diterangkan sebagai keadaan melebihi normal, seperti kenaikan permintaan energi dunia. Ketika krisis keuangan terjadi tahun 2007-2008 permintaan energi global turun, tetapi naik setahun kemudian melampaui permintaan periode yang sama sebelum krisis.
Pola ini diproyeksikan berulang pasca pandemi global. Energy Information Administration (EIA) memproyeksikan konsumsi minyak bumi global tahun 2021 naik 5,3 juta barel/hari dan kembali naik 3,7 juta b/h tahun berikutnya sehingga konsumsi dunia diperkirakan 101,4 juta b/h pada 2022 atau telah melampaui konsumsi tahun 2019 yang 100,9 juta b/h.
Faktor pendorong Kedua adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi global. Selama puncak pandemi Covid19 tahun 2020, permintaan minyak dunia turun 8,6 juta b/h.
Saat tingkat penduduk tervaksinasi meningkat di seluruh dunia, permintaan itu akan kembali didorong oleh naiknya produksi dan permintaan barang dan jasa di seluruh dunia serta pertumbuhan sektor bisnis travel.
Setiap negara ingin mengejar pertumbuhan ekonomi yang turun selmaa 2020 akibat pandemi Covid19, yang menyebabkan mereka kehilangan kesempatan untuk memproduksi barang dan jasa lebih banyak, membayar hutang jatuh tempo, memperluas lapangan kerja, dan berinvestasi.
Karena energi berbasis hidrokarbon mencakup 85% dari seluruh jenis energi yang dikonsumsi dunia dan alternatif energi lain, maka ekonomi dunia akan kembali tumbuh di atas titik tumpu utamanya yaitu minyak bumi, gas, dan batubara.
Faktor penarik (pull factors) pertama adalah kebijakan untuk kebijakan menggunting pita merah birokrasi (cutting the red tape). Arti idiom adalah memotong peraturan atau kesesuaian dengan aturan atau standar formal yang diklaim berlebihan, kaku, atau pada birokrasi yang diklaim menghambat atau mencegah tindakan atau pengambilan keputusan.
Pengesahan UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diikuti penerbitan puluhan aturan pelaksanannya dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presidan serta aturan yang lebih teknis seperti keputusan menteri, harus dilihat sebagai upaya sistematis, terarah, dan cepat untuk memotong rantai birokrasi dan regulasi. Sebagian peraturan pelaksanaan seperti PP No. 25 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, PP No.21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, PP No.42 tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, serta aturan lainnya adalah terobosan untuk membuka sumbatan (bottle neck) investasi. Sebelumnya, berkaitan dengan sistem fiskal, telah ditetapkan Permen ESDM No. 12 Tahun 2020 yang memberlakukan bentuk Kontrak Kerja Sama (KKS) dan fleksibilitas opsi bentuk KKS.Menteri Keuangan juga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 140/2020 tentang Barang Milik Negara.
Pita kedua yang digunting oleh UU Cipta Kerja adalah cutting the green tape yang berpusat pada peningkatan koordinasi antarlembaga, kemitraan serta kebijakan lembaga untuk memungkinkan restorasi ekologi dan pengelolaan terjadi lebih cepat, sederhana, dan hemat biaya.
Salah satu sektor kebijakan yang dipersepsikan berpotensi menghambat percepatan pencapaian target produksi migas adalah sektor kehutanan dan lingkungan hidup.
Persepsi ini muncul karena proses dan persetujuannya dinilai terlalu lama, birokratis dan tidak ada kepastian atas beberapa aspek legal yang sangat penting dalam investasi berbasis spasial seperti kepastian atas ganti rugi lahan, kepastian perubahan status atas lahan, dan penggunaan lahan kawasan hutan termasuk kawasan konservasi dan lindung, atau kawasan konservasi perairan selama masa operasi migas.
Sebagai turunan UU Cipta Kerja telah diterbitkan PP No.23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kehutanan, PP No.22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, PP No. PP No.43 tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Dan/Atau Hak Atas Tanah, dan aturan lain yang jika dibaca secara seksama juga merupakan terobosan untuk membuka sumbatan investasi khususnya dari sektor kehutanan dan lingkungan hidup yang dikeluhkan pada investor.
Faktor penarik kedua adalah potensi migas Indonesia. Data yang disampaikan SKK Migas (2020) menunjukkan bahwa dari 128 cekungan migas di Indonesia baru 20 cekungan yang diproduksi, 27 cekungan sudah ditemukan namun belum berproduksi, 13 cekungan dengan status undiscoveries, dan 68 cekungan dengan status not drilled yet. Dari sisa cekungan yang belum dieksplorasi, tersimpan potensi minyak sebanyak 7,5 miliar barel.
Sejak terjadinya Pandemi global Covi19 di awal 2020, terdapat faktor ketiga yang secara bersama-sama menjadi faktor penarik sekaligus pendorong yaitu kinerja negara mengatasi pandemi Covid19, baik di negara konsumen maupun produsen migas.
Di dalam situasi pembatasan mobilitas orang dan barang, pembatasan interaksi sosial, rendahnya tingkat vaksinasi, tingginya angka terjangkit dan kematian akibat Covid19, maka aliran investasi berisiko tinggi seperti dalam industri migas ikut terhenti.
Para investor sangat memahami bahwa berinvestasi dalam wilayah dengan risiko kematian tinggi—apapun penyebabnya—tidak pernah layak untuk dilakukan, karena kematian menjadi risiko absolut dari investasi ketika setiap kehilangan tidak dapat tergantikan (irreversible loss).
Proyek Strategis
Dengan semua penciptaan kondisi yang memampukan (enabling condition) yang telah dilakukan oleh pemerintah sebagai karpet merah investasi hulu migas ini, setidaknya masih ada dua pekerjaan rumah yang menunggu.
Pertama, berkaitan dengan proyek strategis nasional. Di dalam lampiran PP No.109 tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, dari 13 proyek energi yang terdaftar, hanya 3 proyek hulu migas sisanya adalah proyek hilir.
Proyek strategis nasional, sesuai bunyi undang-undangnya, dirancang untuk mendapatkan kemudahan dari pemerintah mulai dari tahap perencanaan sampai operasi dan pemeliharaan, termasuk kemudahaan pengadaan barang dan jasa. Seluruh perizinannya dipercepat, serta dapat dilaksanakan di kawasan konservasi/lindung baik hutan maupun di laut yang sebelumnya tidak dimungkinkan untuk aktivitas bisnis.
Secara kelembagaan, banyak Menteri ikut bertanggung jawab melancarkan setiap tahapan proyek. Ini sebabnya, Menteri ESDM dan SKK Migas harus mengusulkan lebih banyak proyek hulu migas sebagai proyek strategis nasional dengan argumentasi yang kuat.
Kedua, berkaitan dengan sosialisasi kebijakan. Melakukan kunjungan kepada investor (road show ) sangat penting untuk mempromosikan seluruh arah baru percepatan investasi ini, begitu pula promosi melalui media nasional dan internasional.
Tetapi itu tidak cukup, karena dengan nilai investasi yang ingin ditarik sangat besar dan persaingan produsen migas yang ketat, maka promosi ini tidak dapat diperlakukan business as usual. Promosi ini harus dilakukan terencana artinya memiliki visi, misi, tahapan dan output jelas, lalu terarah sehingga jelas kepada siapa ditujukan dan tools apa yang paling efektif dan efisien untuk dipakai.
Mengunjungi investor, berbicara di forum universitas, menulis di jurnal ilmiah, menulis opini dan memberi keterangan pers di depan wartawan memiliki pengaruh dan dampak yang berbeda atas kebijakan.
Aspek berikutnya adalah terukur dengan alat ukur keberhasilan dan kegagalan yang teruji. Promosi ini juga harus adaptif dengan strategi yang mampu mengantisipasi dinamika di sisi investor, pemerintah, dan pengaruh faktor eksternal yang penting. Kutipan bijaksana mengatakan sejarah itu berulang, dan setelah puncak produksi migas yang bersejarah pada 1976 dan 1995, tidak ada alasan untuk tidak terjadi lagi dan mengulanginya tahun 2030.
*Penulis bekerja sebagai staf di lembaga Conservation International-Indonesia