![]() |
Gajah Jawa yang ditemukan di Kalimatan. Foto : WWF. |
Gajah borneo berukuran kecil, atau yang sering disebut gajah pygmy atau nama ilmiahnya Bornean ygmy elephant, diperkirakan bukanlah gajah asli dari Borneo. Sebuah publikasi terbaru yang dilansir World Wild
Fund for Nature (WWF) melaporkan, bahwa populasi gajah tersebut kemungkinan merupakan ras gajah Jawa terakhir yang secara tidak sengaja berhasil diselamatkan dari kepunahan oleh Sultan Sulu beberapa abad yang lalu.
Asal-usul gajah pygmy, yang populasinya tersebar dari ujung timur laut hingga ke jantung Pulau Borneo tersebut, sejak lama menjadi misteri. Tampilan dan perilaku gajah ini berbeda dengan gajah Asia lainnya dan para ilmuwan mempertanyakan mengapa mereka tidak tersebar ke bagian lain dari Pulau Borneo.
Namun laporan mendukung keyakinan masyarakat lokal yang selama ini percaya bahwa gajah-gajah tersebut dibawa ke Borneo beberapa abad yang lalu oleh Sultan Sulu, sekarang adalah Filipina, yang kemudian diterlantarkan di hutan Borneo. Gajah-gajah Sulu tersebut kemudian dianggap berasal dari Jawa.
Gajah Jawa mulai punah setelah bangsa Eropa memasuki Asia Tenggara. Gajah di Sulu, yang tak pernah dianggap gajah asli pulau tersebut, diburu sekitar tahun 1800-an.
”Pengiriman gajah lewat kapal dari satu tempat ke tempat lain di Asia telah berlangsung sejak beberapa ratus tahun yang lalu, biasanya sebagai hadiah di antara para penguasa,” ujar Shim Phyau Soon, seorang pensiunan rimbawan Malaysia, yang idenya mengenai asal usul gajah sebagian menjadi sumber inspirasi penelitian terbaru ini.
”Sangat menarik anggapan bahwa gajah Borneo yang tinggal di hutan mungkin merupakan sisa terakhir subspesies yang telah punah di tempat asalnya di Pulau Jawa, Indonesia, beberapa abad yang lalu.”kata Shim
Phyau Soon.
Apabila gajah pygmy Borneo memang berasal dari Jawa, yang berjarak lebih dari 1.200 km, bisa dikatakan peristiwa perpindahan satwa ini merupakan translokasi gajah pertama dalam sejarah yang dapat bertahan
hingga ke zaman modern seperti sekarang. Temuan ini memberikan catatan dan data penting bagi para ilmuwan sekaligus sebagai hasil eksperimen yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.
Para ilmuwan berhasil memecahkan sebagian misteri itu pada tahun 2003, ketika tes DNA yang dilakukan Columbia University dan WWF menunjukkan kemungkinan bahwa gajah Borneo secara genetika berbeda dari subspesies gajah di Sumatra atau daratan Asia lainnya. Berdasarkan teori baru ini, baik Borneo maupun Jawa, adalah daerah asal yang paling memungkinkan bagi gajah Borneo. Laporan terbaru berjudul ”Origins of
the Elephants Elephas Maximus L of Borneo,” yang diterbitkan dalam ”Sarawak Museum Journal” bulan ini menunjukkan bahwa tidak ada bukti arkeologis mengenai keberadaan gajah dalam jangka panjang di Borneo,
dan memperkuat kemungkinan asal-usul satwa besar ini yang berasal dari Jawa.
”Hanya dengan seekor gajah betina subur dan seekor gajah jantan subur, yang dibiarkan tak terganggu di habitat yang cukup baik, secara teori dapat menghasilkan sebuah populasi gajah sebanyak 2.000 ekor selama
kurang dari 300 tahun,” kata Junaidi Payne dari WWF, yang juga penulis utama laporan tersebut. ”Kemungkinan hal itu lah yang terjadi di Borneo,” ujarnya.

Diperkirakan terdapat sekitar 1.000 ekor Gajah Borneo di hutan, sebagian besar berada di negara bagian Sabah, Malaysia. WWF telah memasang rantai pelacak gajah menggunakan satelit (elephant satellite collar) pada 11 ekor gajah sejak 2005 untuk mempelajari populasi yang belum pernah diamati sebelumnya.Pelacak satelit tersebut menunjukkan bahwa mereka lebih menyukai habitat hutan dataran rendah yang saat ini semakin banyak ditebang untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri. Kemungkinan asal usulnya yang berasal dari Jawa semakin menjadikan satwa ini sebagai prioritas konservasi.
”Jika mereka memang berasal dari Jawa, kisah menarik ini menjadi pelajaran bagi kita betapa berartinya upaya penyelamatan populasi kecil dari spesies tertentu, yang seringkali dianggap telah punah”, ujar Dr. Christy Williams, koordinator WWF untuk program gajah dan badak Asia. ”Hal itu memberikan keberanian bagi kita untuk mengusulkan tindakan serupa terhadap populasi kecil yang masih tersisa dari badak Sumatra dan Jawa, dengan memindahkan beberapa dari mereka ke habitat yang lebih baik untuk meningkatkan jumlahnya. Upaya tersebut berhasil diterapkan bagi badak putih Afrika Selatan dan badak India,” tambahnya.
Gajah pygmy Borneo berukuran lebih kecil dibandingkan gajah daratan Asia. Gajah jantan hanya tumbuh kurang dari 2,5 meter, sedangkan gajah Asia tumbuh hingga 3 meter. Mereka juga memiliki raut wajah yang
lebih menyerupai bayi, telinga yang lebih besar, ekor lebih panjang yang hampir dapat menyentuh tanah dan bentuknya lebih bulat-gemuk.
Gajah pygmy Borneo juga tidak seagresif gajah Asia lainnya. Nama ilmiahnya adalah Elephas maximus dan kadang dikenal dengan Elephas maximus bomeensis, meskipun mereka tidak secara resmi ditetapkan
sebagai subspesies yang berbeda dari gajah daratan Asia.
Gajah paling banyak ditemukan di negara bagian Sabah, Borneo bagian Malaysia , dan beberapa ekor di antaranya memiliki wilayah jelajah hingga Kalimantan Timur, Indonesia .
Ancaman Habitat Gajah
Sebagian besar area hutan Kalimatan yang selama ini menjadi habitat gajah pygmy bernoe menghadapi ancaman yang cukup mengkhawatirkan, secara cepat hutan ditebang dan dikonversi menjadi tanaman perkebunan untuk karet, kelapa sawit, dan tanaman industri kayu.
Padahal berdasarkan alat pelacak satelit yang digunakan WWF, menemukan bahwa gajah pygmy lebih menyukai hutan dataran rendah yang sama dengan yang digunakan oleh industri tersebut, sehingga menimbulkan kompetisi perebutan habitat.
Jika hal itu dibiarkan, maka bukan tidak mungkin apa yang dialami gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) juga bakal menimpah gajah borneo. Berdasarkan data WWF seperti dilansir buku Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup, diketahui pada periode Januari-Mei 2006 tercatat 16 ekor gajah mati.
Kematian demi kematian menyebabkan populasi gajah sumatera di Riau saat ini berkurang drastis hingga 75 %, menjadi 353-431 ekor dari tahun 1985-2003 yang berjumlah 1067-1617 ekor (PILI, 2006) atau sekitar 50% dari 700 ekor pada tahun 1999 menjadi 350 ekor pada tahun 2006.
Berkurangnya gajah sumatera disebabkan oleh berubahnya habitat serta perburuan. Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) 2006 mencatat selama kurang dari 23 tahun terakhir, hutan di Provinsi Riau berkurang hingga 57% dari 6,4 juta hektar menjadi 2,7 juta hektar.
Selain dibantai, populasi gajah turun diakibatkan semakin berkurangnya habitat gajah. Habitat gajah dikonversi menjadi pemukiman dan perkebunan. Konversi hutan merupakan akar dari permasalahan konflik
manusia dan satwa, baik konflik akibat gajah yang merusak ke kebun dan rumah warga, maupun harimau yang menyerang ternak dan manusia.
Konflik antara manusia dan gajah telah berulang kali terjadi dengan insiden yang berakhir tragis. Sejak tahun 2000, enam belas orang tewas akibat konflik dengan gajah dan 45 ekor gajah mati karena diracun atau
ditembak dengan senjata rakitan.
Belajar dari apa yang dialami gajah sumatera, penemuan gajah borneo perlu mendapat perhatian serius dan kerjasama yang kuat bagi pemerintah tiga negara Indonesia, Malaysia dan Brunei dalam menjaga
dan melestarikan hutan tropis Borneo seluas 220.000 kilomoter persegi yang saling berhubung dan membentang melintasi batas tiga negara serumpun itu, dengan harapan satwa yang memiliki banyak nilai manfaat bagi kehidupan manusia itu, tidak mengalami kepunahan seperti yang dialami pendahulunya di Pulau Jawa. (Marwan Azis).