Tanaman Transgenik masih menuai perdebatan di kalangan ilmuwan dan pemerintah. Foto:Istimewa. |
JAKARTA, BL- Setidakya selama 10 tahun terakhir, masyarakat Indonesia sudah menyantap aneka produk pangan hasil rekayasa genetika. Yang paling banyak, kedelai trasgenik yang diimpor dari Amerika Serikat. Kontroversi tentang dampaknya masih berlanjut.
Menurut Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) Tejo Wahyu Jatmiko, ketika dihubungi (5/10), pemerintah Indonesia tidak melarang kedelai yang masuk kategori organisme hasil rekayasa genetika (GMO) atau trasgenik, karena senang dengan produk impor yang murah dan tersedia banyak di pasaran, tambahan pula permintaan kedelai tinggi. “Pemerintah tidak punya skema pelarangan kecuali ada kewajiban segregasi atau pemisahan dan labelling sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan,” ujarnya. Tetapi ia meminta agar pemeritah mencari tanaman pangan non-trasgenik untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Indonesia merupakan importer kedelai Amerika Serikat terbesar keempat dan mengimpor lima persen dari total 34,7 juta ton ekspor kedelai Paman Sam pada tahun 2011 dengan nilai impor diperkirakan 806 juta dolar. Sekitar 94 persen dari kedelai ini merupakan transgenik yang telah ditaman sejak 1996. Kedelai impor memang lebih murah daripada kedelai lokal ini dikarenakan adanya kebijakan insentif ekspor dari negara produsen.
Foto : Istimewa. |
Menurut Pakar Bioteknologi IPB Dwi Andreas Santosa, ilmuwan di Amerika memiliki independensi dan kebebasan akademik untuk setuju atau tidak dengan tanaman transgenik ini. Lain cerita dengan Eropa, dimana para petaninya tidak semakmur tetangganya di seberang Samudra Atlantik itu, sehingga sebagian pertani di Eropa menolak transgenik. “Akan lain ceritanya kala dikebangkan di Eropa,” katanya.
Sampai saat ini tanaman transgenik memang masih menjadi kontroversi. Ketika sebagian besar petani di Amerika Serikat memutuskan menerima tanaman pangan transgenik, di belahan dunia lain mereka ditolak termasuk Eropa dan Indonesia. Bahkan kontroversi ini berlanjut ke tingkat penelitian dan akademisi. Contohnya, dua hasil penelitian yang berbeda tentang jagung GMO dari Monsanto yang menjadi kontroversi untuk para aktivis anti-GMO di Indonesia.
Penelitian Profesor Gilles Eric-Seralini dan rekan-rekannya dari Universitas Caen, Perancis, yang dipublikasikan pada International Journal of Biological Sciences, volume 5 tahun 2009 menyimpulkan, jagung hasil rekayasa genetika pada varietas MON 810, NK603 dan MON863 telah menyebabkan tumor, kerusakan organ, dan kematian preamatur pada tikus. Kesimpulan ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Monsanto tahun 2004 yang tidak menemukan adnaya indikasi keracunan para hewan percobaan yang mengkonsumsi jagung dan kedelai transgenik mereka. Hasil penelitian Monsanto diamini pula oleh European Food Safety Authority (EFSA), yang mengeluarkan pernyataan pada April 2004, dengan menyatakan bahwa MON863 tidak memiliki dampak buruk untuk manusia, hewan, maupun lingkungan hidup.
Sementara itu, menurut Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika, Agus Pakpahan, yang dihubungi SIEJ lewat telepon (9/10) mengatakan, meloloskan benih transgenik di Indonesia itu ada aturannya, “Kami sudah mengikuti aturan dunia, kami merujuk pada induknya yaitu Convention of Biological Diversity tahun 1972, dari situ lahirlah Undang-Undang No. 21 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang sekarang kami ikuti,” ujarnya.
Menurut Agus, Komisi yang dipimpinnya melakukan penilaian objektif dari pengkajian yang dilakukan Tim Teknis tentang produk yang aman pangan dan aman pakan. “Jagung dan kedelai yang masuk ke Indonesia memang ada yang merupakan produk transgenik,” kata Agus.
Ia juga mengatakan, Komisi Keamanan Hayati memeriksa hanya yang berbentuk biji kedelainya. Produk jadi semisal susu kedelai tidak ikut diperiksa.Tentang kritik yang menyebutkan benih transgenik yang lolos hanya melewati pengkajian dokumen, Agus menambahkan, kalau dibaca kembali peraturan pemerintah tentang keamanan hayati, memang hanya mensyaratkan adanya kajian dokumen, dan tidak disebutkan uji klinis sebagai syarat lolos benih transgenik ke pasaran. “Jadi, tim menyimpulkan dari parameter perundangan yang ada,” katanya. Bellina Rosellini/IGG Maha Adi/SIEJ).