
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Pesantren di Indonesia kini semakin meneguhkan perannya sebagai penjaga lingkungan. Dalam diskusi publik yang digelar di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merilis riset bertajuk “Pesantren Ramah Lingkungan: Tumbuh atau Tumbang?”.
Studi ini mengungkap bahwa 74,52% dari 361 pesantren yang disurvei telah memiliki program lingkungan. Dengan total 42.000 pesantren dan lebih dari 4,6 juta santri, gerakan ini berpotensi menjadi kekuatan besar dalam menjaga kelestarian alam.
Pesantren tidak hanya berbicara tentang kelestarian lingkungan dalam dakwah, tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, Didin Syafruddin, menegaskan bahwa program seperti wakaf mata air, konservasi hutan, dan pengelolaan sampah telah dijalankan di banyak pesantren.
“Ini bukan sekadar wacana, tetapi sudah menjadi aksi nyata. Santri kini belajar bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah,” ujar Didin.
Inovasi berbasis agama dan sains pun semakin berkembang. Dari sedekah sampah hingga sedekah oksigen, pesantren membuktikan bahwa konsep keberlanjutan dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Islam.
Ketahanan Pesantren dalam Krisis Lingkungan
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI, Basnang Said, menekankan pentingnya visi ekoteologi dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
“Hubungan kita dengan Allah dan sesama manusia bisa terganggu jika lingkungan rusak. Contohnya, shalat membutuhkan air suci, tetapi jika sumber air tercemar, ibadah pun terhambat. Karena itu, kami mendorong program satu santri satu pohon dan khutbah lingkungan di masjid-masjid pesantren,” jelasnya.
Pendidikan Formal, Kunci Transformasi Ekologis
Riset PPIM UIN Jakarta menunjukkan bahwa pesantren yang memiliki pendidikan formal lebih sukses dalam mengadopsi program lingkungan.
“Integrasi ilmu agama dan sains meningkatkan kesadaran ekologis santri. Namun, masih banyak yang perlu dilakukan. Saat ini, hanya 15% pesantren yang memiliki mata pelajaran khusus tentang lingkungan,” ujar Koordinator Riset PPIM, Iim Halimatusa’diyah.
Studi ini juga menemukan bahwa santri di pesantren dengan program lingkungan menunjukkan perilaku 23% lebih ramah lingkungan dibandingkan mereka yang tidak mendapatkan pendidikan serupa.
Menjawab Tantangan Global
Deputi Bappenas, Amich Alhumami, menyoroti pentingnya peran pesantren dalam menghadapi tantangan lingkungan global, termasuk krisis polusi, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
“Pesantren ramah lingkungan adalah solusi lokal untuk krisis global. Mereka tidak hanya mendidik generasi yang peduli lingkungan, tetapi juga menciptakan aksi nyata dalam skala komunitas,” katanya.
Ketua PP Muhammadiyah, Muhadjir Effendy, menekankan bahwa isu lingkungan harus menjadi bagian dari kebijakan pesantren. “UU Pesantren harus bisa mengakomodasi program keberlanjutan agar gerakan ini memiliki dasar hukum yang kuat,” tambahnya.
Dari NU Care LAZISNU, Riri Khariroh mengusulkan pembentukan ekstrakurikuler lingkungan. “Pesantren NU telah mengembangkan tujuh model gerakan hijau, dan kami yakin ekstrakurikuler bisa menjadi kunci internalisasi nilai keberlanjutan bagi santri,” ungkapnya.
Sementara itu, jurnalis lingkungan Dandhy Dwi Laksono menyebut riset ini sebagai “oase” di tengah ancaman eksploitasi sumber daya alam dan potensi keluarnya negara-negara besar dari Kesepakatan Paris.
Langkah Strategis ke Depan
Berdasarkan hasil penelitian, PPIM UIN Jakarta merekomendasikan:
✅ Pelatihan dan ekstrakurikuler lingkungan bagi santri dan pengajar.
✅ Pemberdayaan ekonomi pesantren melalui pertanian organik dan energi terbarukan.
✅ Kolaborasi pesantren, pemerintah, dan swasta untuk pendanaan dan teknologi hijau.
✅ Penguatan kurikulum ekoteologi di pesantren.
✅ Pembentukan divisi khusus lingkungan dalam struktur pesantren.
Pesantren sebagai Aktor Global
Riset ini merupakan bagian dari program Religious Environmentalism Action (REACT) yang mendapat dukungan dari Kedutaan Kerajaan Belanda di Jakarta.
“Dukungan ini mempertegas posisi pesantren sebagai bagian dari gerakan lingkungan global. Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana agama dan sains dapat bersinergi dalam menjaga bumi,” tutup Didin Syafruddin (Marwan Aziz).