Ilustrasi orangutan. Foto : Istimewa. |
Menurut Seto Wibowo, Captivity Program COP, seharusnya kematian tersebut dapat dicegah jika Weni Ekayanti, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kodya Solo selaku salah satu anggota tim pengelola bersedia bekerja sama dengan para pihak yang ingin membantu.
Pada bulan April 2009, Centre for Orangutan Protection melakukan penelitian mengenai kondisi orangutan di 5 kebun binatang di Jawa. Hasilnya, Taman Satwa Taru Jurug merupakan kebun binatang terburuk.
Orangutan tidak dipelihara dengan baik dan hal ini berakibat pada penderitaan fisik dan kejiwaan. Secara khusus, dua orangutan di sana sudah menunjukkan tanda – tanda kelainan jiwa (gila) karena stress berat yang berkepanjangan.“Situasinya sudah sangat kritis di sana. Orangutan jantan yang bernama Toni ditempatkan dalam sebuah encosure berlantai semen. Tidak ada air minum dan juga peralatan untuk bermain yang dapat mengalihkan orangutan dari kebosanan. Para pengunjung dengan bebas bisa memberi makanan, rokok dan menyakiti orangutan. Sedangkan orangutan betina bernama Tina ditempatkan dalam sebuah terowongan penghubung enclosure yang sempit, maksimum hanya 1 x 2 meter. Ini jauh lebih buruk. Orangutan Tina tidak dapat bergerak ke manapun, termasuk akses ke kebutuhan dasar seperti air minum dan makanan,”ungkapnya.
“Kondisi – kondisi buruk seperti inilah menyebabkan mereka menjadi stress. Para peneliti mendapati orangutan Toni memuntahkan kembali makanan yang telah dimakan dan kemudian memakannya kembali. Demikian dilakukan berulang -ulang. Toni juga menyukai rokok yang diberikan para pengunjung. Ini merupakan ancaman serius pada kesehatan orangutan. Sementara itu, orangutan Tina membenturkan kepalanya ke dinding. Pada dasarnya, gejala gangguan jiwa pada orangutan bisa dikatakan sama persis dengan manusia karena secara biologis manusia dan orangutan dikelompokkan dalam satu kelompok yang disebut primata. Orangutan juga memiliki DNA yang mirip dengan manusia,yakni 97,3%, “ Jelasnya.
Penelitian dilakukan dengan mengamati orangutan selama 30.000 detik dengan rincian 10.000 detik pada pagi hari, 10.000 detik pada siang hari ini dan 10.000 detik pada sore hari. Total 3 hari. Standar penelitian yang dipakai berasal dari World Society for Protection of Animals (WSPA). Peneliti juga
didampingi oleh photographer dan videographer.
Sayangnya, para peneliti tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai usia pasti kedua orangutan di Taman Satwa Taru Jurug, karena memang tidak ada catatan apapun mengenai riwayatnya. Termasuk catatan medisnya. Centre for Orangutan Protection memperkirakan bahwa Orangutan yang bernama Toni berusia lebih dari 15 tahun, sedangkan Tina berusia lebih dari 6 tahun. Namun karena malnutris yang berat, penampilan kedua orangutan tersebut nampak lebih kecil dan lebih lemah dari orangutan normal.
Centre for Orangutan Protection telah menyerahkan hasil penelitian tersebut kepada Pemda Solo dan secara intensif juga mengkomunikasikan upaya – upaya perbaikan kondisi. Saat ini, Taman Satwa Taru Jurug dikelola secara bersama oleh Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pariwisata, Dinas Tata Kota dan Asisten 3 Bidang Perekonomian Kantor Walikota Solo.
COP juga telah menawarkan beragam opsi termasuk komitmen untuk membantu pendanaannya.”Kami juga merekomendasikan beberapa opsi penanganan antara lain memperbaiki enclosure. Selama masa perbaikan, orangutan dititipkan di Pusat Penyelamatan Satwa Jogja. Opsi lainnya, Memindahkan orangutan ke pulau yang berada di tengah – tengah danau yang terletak dalam Taman Satwa Taru Jurug. Ini adalah opsi terbaik karena pulau tersebut memiliki pohon yang cukup besar untuk orangutan dapat hidup normal seperti layaknya orangutan liar,”
“Namun seluruh opsi itu ditolak oleh Kepala Dinas Pertanian, meskipun para pihak yang lain secara umum menyetujuinya, termasuk Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. Kini orangutan di Taman Satwa Taru tingga satu dan dapat mati sewaktu – waktu karena buruknya pemeliharaan,”tambahnya.(Marwan Azis).