JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) mengecam hasil Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP-29) di Baku, Azerbaijan, yang dinilai gagal mengatasi krisis iklim global. Dalam siaran persnya, ARUKI menyoroti ketiadaan langkah konkret untuk menghentikan laju emisi global, lambannya pendanaan iklim dari negara maju, serta kebijakan pasar karbon yang dianggap kontraproduktif.
Menurut Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, negara-negara maju gagal menunjukkan keberanian dalam merevisi target pengurangan emisi. “Hasil COP-29 meningkatkan risiko suhu bumi rata-rata melampaui 1,5 derajat Celsius, yang akan membawa konsekuensi bencana,” kata Torry kepada Beritalingkungan.com (3/12/2024).
Data dari The Carbon Majors Database 2024 menunjukkan bahwa 78 perusahaan bertanggung jawab atas 70% total emisi global, didominasi oleh produsen dari AS, Tiongkok, Rusia, dan Timur Tengah.
Pendanaan Iklim yang Tak Memadai
Syaharani, Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan ICEL, menyoroti kegagalan pendanaan iklim. Janji negara maju menyediakan dana sebesar $300 miliar masih jauh dari kebutuhan riil $2,5 triliun. Ia mengingatkan bahwa mekanisme pasar karbon justru dapat menambah beban negara miskin dan berkembang, melanggar prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR).
ARUKI menegaskan bahwa COP-29 mengabaikan kebutuhan negara berkembang, pesisir, dan pulau kecil, termasuk Indonesia. Ketua Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menyatakan, “Dana iklim justru berpotensi menjadi utang baru bagi negara berkembang, membahayakan perempuan, petani, nelayan tradisional, dan kelompok miskin kota.” Ia juga menyoroti proyek iklim “solusi sesat” seperti geothermal di Poco Leok dan PLTA di Poso, yang merusak ruang hidup masyarakat adat dan perempuan.
Ginanjar Aryasuta, Koordinator Climate Ranger Jakarta, mencatat bahwa generasi muda menghadapi ancaman kenaikan suhu bumi lebih tinggi hingga 3°C dibanding generasi sebelumnya. “Masa depan orang muda semakin terancam oleh krisis iklim ini,” ujarnya.
Nena Hutahaean dari Perhimpunan Jiwa Sehat menambahkan bahwa penyandang disabilitas sering menjadi korban ganda bencana iklim, dengan tingkat kematian empat kali lebih tinggi akibat kurangnya akses dan dukungan inklusif.
Menuntut Keadilan Iklim yang Nyata
ARUKI menegaskan bahwa pemerintah Indonesia harus lebih ambisius dalam mendorong keadilan iklim, menghentikan skema utang atas nama krisis iklim, dan mengimplementasikan prinsip keadilan lingkungan. RUU Keadilan Iklim, menurut ARUKI, harus menjadi prioritas untuk melindungi kelompok rentan dan menegakkan hak asasi manusia.
“Tanpa langkah konkret, krisis iklim hanya akan memperparah ketidakadilan dan mengancam masa depan planet ini,” pungkas Torry Kuswardono (Marwan Aziz).