Kisah sukses pengembangan energi alternatif dari dua kampung. Sumberdaya melimpah, murah, dan akses yang mudah, menjadi kunci pengembangan. Sangat menjanjikan, tapi masalah masih menghadang.
Lembang dan Megamendung-Daun-daun cemara gunung menghalangiutup matahari dari jalan yang dingin dan lembap sepanjang Lembang, Bandung. Udara siang memang sejuk di kawasan ini, di ceruk gunung Bumi Parahyangan yang subur. Aneka sayur mayur tumbuh, dan sapi-sapi Lembang memproduksi susu terbaik di Indonesia.
Di hulu daerah aliran sungai (DAS) Cikapundung, di antara perbukitan yang penuh kol, kubis, dan cabe rawit, berdiri Desa Suntenjaya, desa terakhir dimana sumber mata air Cikapundung yang membelah Kota Bandung berawal dan salah satu sentra produksi sapi potong dan perah di Jawa Barat, dengan jumlah ternak sapi lebih dari 1.500 ekor.
Cerita Sapi dan Api
Selain memerah susu dan menjual sapi potong, sejak tiga tahun lalu Suntenjaya sukses mengembangkan energi alternatif. Mereka telah membangun ratusan reaktor biogas yang mengubah kotoran sapi menjadi api, untuk memanaskan makanan dan minuman mereka.
Suntenjaya boleh disebut lokasi ideal untuk mengembangkan biogas, karena kotoran ternak tersedia melimpah dan tidak dimanfaatkan. Memang banyak yang memakainya sebagai pupuk alami, tapi kelebihan limbahnya masih berlimpah dan dibuang begitu saja ke sungai.
Menurut cerita Dase, Kepala Dusun III Suntenjaya, sekitar tahun 2009, Pemerintah Provinsi Jawa Barat datang ke desa mereka dan memperkenalkan teknik baru pemanfaatan kotoran sapi untuk bahan bakar atau biogas. Para peternak, kata Dase, segera kepincut teknik baru itu karena mudah sekali dilakukan, yaitu hanya butuh menimbun kotoran sapi dalam ruang beton tertutup, lalu dengan memasang keran, kita bisa mengalirkan gas yang keluar dari panas kotoran itu langsung ke kompor dan siap dipakai memasak.
Sekitar 40 liter kotoran sapi atau setara dua ember ukuran sedang dibutuhkan tiap hari untuk mengisi reaktor berkapasitas empat kubik, yang bisa dipakai memasak masing-masing selama tiga jam. “Kalau beli gas elpiji habis Rp 15 ribu seminggu, ini kan murah tinggal ambil kotoran sapi di kandang,”ujar warga Suntenjaya Iin Rostanti yang sudah menggunakan biogas sejak satu tahun terakhir.
Artinya, dalam sebulan Iis bisa menghemat Rp 60 ribu hanya dari belanja gas elpiji. Bila saat ini ke 160 reaktor biogas yang sudah dipasang di Suntenjaya aktif, maka uang yang bisa dihemat dari pembelian elpiji saja mencapai Rp 9,6 juta tiap bulan. Belum terhitung ongkos transportasi yang mereka pakai untuk mengangkut gas itu ke desa.
Tambahan pula beberapa warung yang ada telah memakai biogas untuk melayani keperluan pelanggan mereka dalam membuat kopi, teh, mie instan, menanak nasi, dan lain-lain. Kata Iin, reaktor harus rutin diisi kotoran sapi pagi dan sore dengan campuran air satu berbanding satu, agar cukup encer. Bila cukup encer, maka saat masuk ke dalam kubah atau dome, akan terjadi penguapan yang cukup cepat yang menghasilkan gas. Ampas biogas yang tersisa langsung bisa dipakai pupuk dan menjaga tanah tetap subur dan menghindarkan pencemaran zat-zat kimia berbahaya dari pupuk pabrik
Pilih Subsidi atau Sendiri
Menurut pakar dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, M. Arif Yudiarto, satu kubik biogas per hari setara dengan 0,46 kg elpiji, 0,62 liter minyak tanah, 0,52 liter minyak solar, 0,80 liter bensin dan 3,50 kg kayu bakar. Itu artinya penduduk sekitar tidak perlu lagi menebang kayu untuk mengumpulkan kayu bakar, sehingga hutan di lereng perbukitan yang mulai gundul itu bisa diselamatkan.
Bila sebagian besar reaktor yang berukuran empat kubik diperbesar menjadi delapan kubik atau 12 kubik maka, biogas Suntenjaya dapat dipakai untuk memasak tiga jam dan menghidupkan dua bohlam 25 watt semalam suntuk. Saat ini baru satu reaktor biogas di rumah lurah Suntenjaya yang dipakai ujicoba mengalirkan listrik.
Ratusan reaktor biogas di Suntenjaya dibangun memakai banyak skema, antara lain dengan subsidi dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat (Pemda Jabar), sebagian yang lain dengan cicilan ringan Rp 15 ribu tiap dua minggu, ada pula yang mendapatkan hibah sepenuhnya dari Pemda dan Pemerintah Belanda, dan beberapa diantaranya membangun dengan biaya sendiri.
Iis misalnya, mengaku menghabiskan dana hanya Rp 1 juta untuk membangun reaktor empat kubik. Noneng, penduduk dari Dusun Sukaluyu, tetangga Suntenjaya, mengaku menghabiskan hampir Rp 6 juta untuk membangun reaktor berkapasitas delapan meter kubik, tetapi ia cuma perlu membayar Rp 2 juta, sedangkan sisanya,” saya dapat bantuan dari Pemda dan pemerintah Belanda,”katanya.
Dengan penghasilan dari beternak sapi dan berjualan sayur mayur, biaya reaktor itu tidak seberapa baginya. Tambahan lagi, dia tidak akan kesulitan mendapatkan air hangat di pagi hari untuk memandikan perut sapi-sapinya agar susunya lancar. Melihat antusiasme warga, mulai tahun 2012, Pemda Jabar bahkan memberikan subsidi lebih besar lagi, dimana warga hanya perlu membayar Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu untuk reaktor berkapasitas empat hingga 12 kubik, dan sisanya disubsidi Pemda.
Sebentar lagi, ketika reaktor biogas 12 kubik merata di Suntenjaya dan setelah sapi ikut menyalakan api tungku di dapur keluarga mereka, sapi-sapi itu akan berjasa juga membawa kehangatan lewat lampu-lampu yang menerangi rumah-rumah di perbukitan di utara Bandung itu.
Cerita Air
Dua jam perjalanan dari Lembang ke arah Bogor, di antara lembah Megamendung, kawasan Puncak yang cukup dingin, ada cerita lain dari Desa Paseban. Di kampung yang berjarak 20 km dari Kota Bogor, kisah dimulai 15 tahun lalu, ketika beberapa warga bosan menunggu listrik masuk ke desa mereka yang memang jauh di udik.
Padahal dengan adanya listrik banyak kegiatan bisa dilakukan, anak-anak mereka tidak ketinggalan informasi dan menikmati hiburan di rumah. Memang banyak vila sudah dibangun di desa itu, tetapi mereka punya genset sendiri untuk memenuhi kebutuhan listriknya dan tidak dibagi kepada warga. Tinggal masyarakat di hulu yang tak kebagian penerangan bila malam turun.
Adalah Ahmad Sanip, orang Paseban yang tinggal di tepi Sungai Cirangrang, yang punya gagasan. Pak Ahmad pernah meyaksikan tetangganya membuat kincir air sederhana ketika masih tinggal di Jonggol.
Saat itu ia memperhatikan dengan seksama dan yakin bisa menirunya, meskipun tak meninggalkan sketsa dan corat-coret karena ia buta huruf. Mengandalkan ingatan dan dukungan dari adiknya Dul Haq dan beberapa tetangga, dua bersaudara ini membeli peralatan lalu mencoba berkali-kali. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya empat kincir air berdiri di tepi Sungai Cirangrang yang beraliran deras.
Empat kincir itu diposisikan di bawah aliran sungai yang cukup deras, yaitu di dekat air terjun Curug Panjang, sehingga mereka tak perlu biaya dan tenaga tambahan untuk membendung sungainya. Aliran air lalu ditalang dengan kayu dan dialirkan untuk memutar kincir di bagian bawah turbin.
Kincir ini dihubungkan dengan sabuk berbentuk V atau V-belt, yang dihubungkan dengan dinamo atau turbin di atasnya. Energi kinetik dari putaran sabuk inilah yang menyebabkan kumparan dinamo menghasilkan arus listrik, yang dihubungkan dengan kabel ke rumah-rumah. Ternyata mereka berhasil membangkitkan listrik dari air. Dengan daya 300 watt dari setiap kincir itu, kini belasan rumah bisa diterangi termasuk musala kecil yang kini bisa dipakai untuk mengaji di malam hari.
Keluarga Pak Ahmad, akhirnya menikmati terangnya lampu listrik, indahnya siaran televisi, dan memakai setrika listrik. Istrinya, Nur Halimah, bisa membuka warungnya lebih malam karena tak takut harus menghemat minyak tanah untuk lampunya. Peternakan kambingnya pun kini diterangi lampu bohlam.
Walaupun sudah berdiri 15 tahun, keempat kincir itu ternyata jarang rusak. “Paling cuma karetnya putus, ya tinggal beli dan ganti saja,”kata Nur.
Biasanya tiap lima bulan sekali, Pak Ahmad memeriksa semua kincirnya dan mengganti beberapa abgian yang aus atau rusak. Kayu yang merupakan bagian paling banyak dari kincir itu cukup murah dan tersedia banyak di sekitar Paseban. Bukan cuma nyala lampu, warga kampung Paseban sekarang bisa menyalurkan bakat bernyanyi atau sekedar menghibur dengan berkaraoke karena listrik telah masuk rumah.
Potensi dan Peluang
Potensi mikro hidro Indonesia memang besar. Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum, pada tahun 2011 tercatat potensi sumberdaya air Indonesia sebagai listrik sebesar 7.500 Megawatt, dan 500 MW diantaranya adalah potensi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Sayangnya, dari potensi yang besar itu, baru sekitar empat persen atau 20 MW yang dimanfaatkan.
Pemda Jabar yang melihat potensi air di Curug Panjang ini rupanya ikut tergerak membantu. Meskipun sebagian warga paseban di hilir sudah menikmati aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), tetapi mereka belum menjangkau hingga ke hulu, karena investasi tiang panjang yang lumayan tinggi, ditambah lagi rumah-rumah penduduk di kawasan itu tersebar sehingga dapat mempertinggi biaya penarikan kabel PLN. Membangun PLTMH adalah jawabannya.
Sejak awal 2011, Kantor Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Jawa Barat, mulai membangun rumah turbin PLTMH di hulu Curug Panjang, dan sebelum setahun berakhir, pembangkit itu telah beroperasi. Kini seluruh warga Paseban bisa menikmati listrik dari PLTMH, tetapi untuk malam hari saja, kecuali Sabtu dan Minggu. Pembangkit ini dibuat dengan biaya dari APBD Jawa Barat sekitar Rp 855 juta, yang menghasilkan daya 15 ribu watt dan bisa menerangi 80 rumah.
Setiap bulan warga cukup membayar rata-rata sebanyak Rp. 20.000, sebagian untuk gaji operator yang menjaga turbin dan sisanya untuk biaya perawatan. Sayangnya, bila air sungai surat pembangkit tidak bisa beroperasi seperti yang terjadi lima bulan lalu.
Hampir dua bulan lamanya masyarakat tidak bisa menikmati listrik kaerna musim kemarau yang panjang telah mengurangi debit air Curug Panjang. Untungnya kincir air milik warga masih bisa berputar dan beberapa sudut desa itu masih terang oleh nyala lampu. “Kalau mati lampu gak enak, gak bisa nonton tivi,” ujar Dede murid kelas 5 Sekolah Dasar di Mega Mendung.
Walaupun sudah ada turbin dari Pemda tapi warga tidak pernah meninggalkan kincir kayu yang mereka buat. Kincir ini biasanya manjadi cadangan kalau turbin mati saat kemarau atau saat macet karena masuknya pasir. “Setiap hari saya masih memakai kincir air untuk lampu di warung,” kata Nur.
Ketua RT04/RW05 Entis Sutisna mengakui pembangkit itu pernah mati cukup lama, karena air sungai menyurut. Sebagai gantinya, masyarakat akan kembali memakai lampu minyak tanah untuk penerangan.
Pengelola Curug Panjang bernama Idrus malah melihat peluang baru dengan adanya PLTMH Ia akan menawarkan listrik itu kepada sebuah perusahaan wisata asal jakarta yang telah membeli kawasan perkemahan dekat curug. “Wisatawan tidak takut lagi berlama-lama di camping ground karena sudah ada listrik, ” ujarnya.
Listrik akan membuka kesempatan untuk dirinya dan rekan-rekan sekampungnya mendirikan warung-warung makan yang melayani wisatawan yang akan berkemah atau menginap di sana. Mungkin juga menyewakan beberapa kamar penginapan atau tempat hiburan karaoke. Siapa tahu.
Belum “Hijau”
Pengembangan energi alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan, tak seluruhnya cerita yang manis. Kisah biogas dari Kampung Suntenjaya, misalnya, tidak seramah yang terlihat.
Para pemilik biogas itu masih terus membuang ampas kotoran sapinya ke Sungai Cikapundung. Hampir semua ampas dari 160 kepala keluarga pemilik rekator biogas berakhir sungai, hanya sedikit yang dimanfaatkan untuk pupuk kandang atau kompos.
Ketua Gerakan Cikapundung Bersih Taufik Rachman menjelaskan, salah satu sumber pencemaran utama Sungai Cikapundung berasal dari limbah peternakan sapi. Sungai yang panjangnya 28 kilometer itu merupakan sungai utama yang masuk ke kota Bandung, karena alirannya melintasi Kota Kembang itu sepanjang 15,5 km, tetapi setiap hari airnya keruh membawa aneka limbah, termasuk ampas kotoran sapi yang masih membahayakan kesehatan manusia.
Rupanya para pemrakarsa biogas ini tak terlalu peduli kemana limbah kotoran sapi ini berakhir. Buktinya, penduduk terus saja membuangnya ke hulu Sungai Cikapundung dan tidak tahu harus berbuat apa dengan ampas-ampas itu. Di daerah lain, ampas ini dikemas dan dicampur dengan beberapa zat penyubur, dan dijual sebagai pupuk organik yang lebih aman bagi kualitas tanah dan perairan.
Pembangkit mikro hidro di Megamendung juga menyisakan cerita tentang berapa “hijau” sesungguhnya energi ini. Berhentinya operasi pembangkit sekitar dua bulan karena menyurutnya air Curug Panjang, disebabkan oleh penggundulan hutan di hulu sungai.
Daerah resapan air di sekitarnya perlahan menyusut karena hutan digantikan vila, rumah penduduk dan ladang sayur mayur. Perubahan hutan menjadi lahan di Megamendung yang berbukit dan berlereng cukup curam itu, akan menyebabkan air dengan cepat hanyut ke hilir tanpa tertahan.
Akibatnya, bila musim kemarau datang investasi PLTMH menjadi sia-sia karena mangkrak kekurangan air. Andai saja lingkungan hidup berarti kesatuan ekosistem, dimana hutan dan air dianggap saling mempengaruhi, mungkin listrik tidak akan pernah mati lagi di Paseban. (IGG Maha Adi/Bellina Rosellini/SIEJ).