Ilustrasi salah satu proyek CDM adalah kincir angin. Foto : Istimewa
Minggu pertama perundingan perubahan iklim dunia (COP 17 UNFCCC) di Durban, Afrika Selatan, tampaknya akan berakhir dengan pertarungan kubu negara maju lawan kubu negara berkembang lagi. Setelah perundingan kelompok kerja yang dilakukan tertutup, nasib teknologi rendah karbon atau CDM kini terancam. Uni Eropa pun mulai kelimpungan. Berikut reportase Veby Mega Indah, langsung dari COP 17 Durban.
Semuanya gara-gara kubu negara berkembang yang digawangi China, Brazil dan Venezuela, ngotot minta program CDM dihapuskan selamanya dari dokumen Protokol Kyoto kedua nanti. Permintaan ini segera membuat kubu Uni Eropa marah, bahkan mereka mengancam.“Kita harus tetap mempertahankan CDM dalam Kyoto kedua nanti, atau sama sekali tidak akan ada kesepakatan apapun,” kata Henry Derwent CB, Presiden dan CEO dari International Energy Emission Trading Association, yang notabene adalah kubu Uni Eropa dari pihak bisnis.
Sekalipun demikian, Henry menyatakan jika Uni Eropa memang harus keluar, mereka tetap akan melakukan cara mereka sendiri mengatasi perubahan iklim. Salah satunya, ya, itu, dengan tetap menerapkan proyek-proyek CDM di sana-sini. Tapi ancamannya untuk negara-negara berkembang adalah, Uni Eropa tidak akan mau ikut campur jadi donor atau menyetujui batasan pengurangan emisi apapun di bawah bendera UNFCCC.
CDM yang selama ini menjadi sarana carbon offset alias membeli saham karbon dari teknologi terbarukan untuk mengganti kotornya industri Eropa, menurut Henry akan terus dilakukan di negara-negara berkembang. Tapi untuk Indonesia, mungkin tak akan banyak terjadi.“Karena Indonesia bukan negara tertinggal, jadi kami akan lebih memfokuskan CDM di tempat lain, dan itu kenapa Uni Eropa pun terlihat lebih antusias dengan program REDD daripada CDM di Indonesia,” kata Henry.
Untuk Indonesia, Iwan Wibisono dari World Wild Fund Indonesia menyatakan CDM memang sudah lama tak beken. Alasannya karena untuk negara-negara hutan seperti Indonesia, ada program yang lebih sederhana dan tak sepelik CDM. Program itu tak lain tak bukan, program anti deforestasi dan anti degradasi hutan alias REDD+. Hutannya sudah ada, tinggal bongkar sana-sini cari mekanisme dan ramai bahas siapa yang berhak.
“Selain itu CDM selama ini lingkupnya kecil, hanya sedikit stake holder saja yang terlibat, sehingga gemanya tak sebesar REDD+. Sementara REDD+ lebih populer karena nyata-nyata akan melibatkan urusan hidup orang banyak, dan melibatkan bukan hanya bisnis, tapi juga masyarakat, pemerintah lokal, pemerintah pusat dan lainnya,” kata Iwan.
Kalau menengok data, proyek REDD+ memang sedang menggebu di tanah air. Secara resmi Pemerintah menyatakan ada 14 proyek percontohanREDD+ di seluruh Indonesia yang sedang dijalani. Sementara untuk CDM yang telah ada sejak Protokol Kyoto, hanya punya 12 pasar karbon sukarela hingga kini, dan itu pun makin sunyi.
Neeraj Prasad dari Bank Dunia mengakui pasar karbon CDM dari tahun ke tahun semakin turun, yang menurutnya bahkan sudah mulai masuk “area merah” secara investasi. Alasannya serupa dengan yang diunggap WWF Indonesia, cara hitung karbonnya memang terlalu pelik.
“Salah satu pelajaran pertama yang harus kita ingat untuk memasukkan CDM ke dalam Protokol Kyoto sesi kedua nanti adalah; penyederhanaan. Misalnya kita menghitung methana dari setumpuk sampah yang diolah, bisa disederhanakan dari besarannya saja, tak perlu menghitung sampai jenis sampah apa yang ada di dalamnya atau ini-itu,” kata Neeraj. (Veby Mega)