“Bienvenidos Politicos” “Di Meksiko, penyejuk ruangan disamakan dengan politikus: berisik, tapi tak becus bekerja.”
(Len Deighton)
Apakah para politisi memang tidak lebih baik dari berisiknya penyejuk udara, belum bisa dipastikan setidaknya sampai tanggal 10 Desember nanti, ketika Cancun akan merayakan hasil Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), atau tidak sama sekali.
Sejak 29 November lalu Cancun menjadi tuan rumah konferensi perubahan iklim dunia atau biasa disebut Konferensi Para Pihak (COP) ke-16, yang menjadi acara reguler tahunan komunitas global, dengan niat mulia tetapi sulit, untuk mencari titik temu politis bagaimana cara terbaik menyelamatkan bumi dari dampak perubahan iklim global.
Untuk memuaskan 15 ribu orang dari 192 negara yang terlibat dalam konferensi, Meksiko menghabiskan 841,4 juta dólar Amerika atau dua kali lipat biaya COP13 di Bali. Delegasi resmi pemerintah, aktivis lembaga swadaya masyarakat, wartawan, akademisi, dan ratusan lembaga penelitian bergabung dalam konferensi. Jika berhasil menghasillkan sesuatu yang penting, dunia barangkali akan punya Cancun Protocol atau Meksiko Declaration seperti Nusa Dua punya Bali Road Map dan Denmark menghasilkan Copenhagen Accord.
Sayangnya, kali ini Cancun memainkan peran figuran. Para negosiator iklim baru akan memainkan peran “COP sesungguhnya” tahun depan di Durban, Afrika Selatan. Kekhawatiran Cancun menjadi seromonial belaka, sudah tersirat dalam pernyataan Sekretaris Eksekutif UNFCCC Christiana Fegueres, “Cancun bisa berhasil, asalkan semua pihak berkompromi.” Ketua delegasi Indonesia Rachmat Witoelar juga menganggap COP kali ini cuma batu loncatan, pernyataan yang ditambahi Liana Bratasida, salah satu co-chair konferensi dari Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang hampir bisa memastikan, “Tidak akan ada kesepakatan mengikat dari Cancun karena rancangan dokumennya tidak diterima para pihak.”
Sebagai figuran, wajar bila Cancun berbedak dan bergincu sekenanya. Tidak ada spanduk dan umbul-umbul selamat datang yang memeriahkan jalan utama, tidak ada sambutan khusus di hotel-hotel. Semuanya terlibat normal saja, dimana pemandangan turis mabuk tengah malam karena alkohol tersedia gratis gampang dilihat, dan polisi dan tentara parkir jauh dari hotel. Carlos, penjaga bar di hotel tempat saya menginap juga mengaku jumlah tamu tak banyak berbeda, kecuali beberapa wajah asing yang sulit dibedakannya. “Anda dari India ya?” tanyanya kepada tamu dari Indonesia, Bangladesh, atau Pakistan.
Cancun tidak terkoneksi langsung atau menjadi kota satelit dari kota yang lebih besar seperti Nusa Dua terkoneksi dengan Denpasar atau Kuta, justru menjadi kawasan panduan (landmark) daerah sekitarnya. Dari kawasan hotel ke Moon Palace, tempat konferensi digelar, harus ditempuh dengan bis sekitar 30 menit, dengan catatan tidak ada kemacetan seperti saat hari pembukaan. Bila yang terakhir terjadi, maka 3 jam dibutuhkan untuk sekedar baru tiba di ruang pers, dan masih perlu naik bis sekali lagi sampai ke gedung konferensi.
Cancun ramah bagi yang beruang, terutama turis Amerika yang selalu mendominasi tiap musim liburan. Bila hari-hari ini Anda sempat singgah dan melihat Cancun, kawasan rawa-rawa ini hijau tertutup pepohonan, perdu, semak, dan beberapa kawasan bakau di sana-sini.
Dulu, Cancun tak lebih dari kumpulan gumuk pasir memanjang menyerupai angka tujuh, dan dipisahkan dengan daratan utama oleh dua kanal sempit yang membentuk laguna, yang langsung berhubungan dengan Samudra Atlantik. Bukan sembarang gumuk, karena dalam 20 tahun terakhir sekitar 120 hotel dari berbagai kelas telah berdiri. Cancun berubah dari rawa menjadi tujuan wisata utama di Karibia mengalahkan Bahama dan Puerto Rico, sekaligus menjadi penyumbang terbesar devisa pariwisata Meksiko.
Tahun 1993 Presiden Meksiko Carlos Salinas menetapkan kawasan ini sebagai kawasan konservasi dan melarang pembangunan hotel tambahan di di Cancun. Salinas lalu mengeluarkan dekrit untuk membangun 45 kawasan lain dalam koridor Tullum-Cancun. Konsep pembangunan dan segmentasi hotel di Cancun mengikuti model supermanzana (apel besar), yang memakai venue besar untuk memisahkan blok kota satu dengan lainnya. Nah, konsep inilah yang membuat peserta konferensi mengeluh karena waktu tempuh dari hotel ke tempat konferensi terlalu lama.
Kembali ke soal politik dan negosiasi iklim. Ketua delegasi Indonesia di Cancun Rachmat Witoelar menyebut COP telah berubah menjadi perundingan politik bukan perundingan iklim. Barangkali tepatnya perundingan politik-ekonomi global, yang akan menentukan pengaturan dan alokasi sumberdaya dunia, tentang siapa akan mendapatkan apa dan mengorbankan apa saja. Bayangkan 189 orang diminta membuat karangan deskriptif bebas, dengan topik pengaruh iklim kepada kehidupan yang kerangkanya sudah disiapkan oleh ribuan orang pintar yang tergabung dalam Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).
Semua berkumpul untuk merumuskan satu karangan saja yang disepakati sebagai karangan milik dunia. Mufakat harus didapat, semua pendapat harus dicatat. Satu saja pengarang saja tak sepakat, semua akan kembali ditelisik. Begitulah semua konferensi di bawah PBB bekerja, dengan prinsip mufakat sehingga keputusan COP diusahakan aklamasi tanpa kecuali, dan di sini pula peliknya.
Ketika Bolivia dan Saudi Arabia tidak menyepakati rancangan mekanisme pasar dalam dokumen REDD (Reducing Emission from Degradation and Deforestation in Developing Country), seluruh bangunan diskusi REDD menemui jalan buntu, padahal di Copenhagen tampaknya semua akan baik-baik saja. Amerika Serikat yang berkeras tak mau menandatangani Protokol Kyoto, tetap menjadi duri dalam daging untuk setiap hasil yang mengikat dari konvensi ini, atau Cina yang selalu menikmati statusnya sebagai negara berkembang tanpa kewajiban mengikat mengurangi emisi, padahal kini mereka emiter nomer satu di dunia.
Anggota delegasi Filipina, Vietnam, dan Argentina, yang saya ajak bicara dalam bis mengaku tidak punya target, sebagian yang lain menyembunyikan target mereka, hanya beberapa yang menyebut REDD sebagai target. Satu hal yang pasti, semangat untuk melahirkan kesepakatann yang mengikat para pihak (legally binding) misalnya protokol baru, tampaknya layu sebelum berkembang. Tidak hanya tertutup soal targetnya, bahkan delegasi Indonesia menyimpan rapat 36 nama negosiatornya.
Entahlah kalau nama-nama di dalam daftar menjadi senjata rahasia negosiasi atau bisa mengungkap bau lain bila dibuka.
Para pakar iklim di IPCC sudah menyampaikan titik awal diskusi, kini para politisi mengambilalih untuk menegosiasikan hak dan kewajiban.
Bila COP16 kali ini gagal, barangkali semakin menegaskan sulitnya bicara terang dengan para politikus karena mereka bisa lentur dan ganas seperti ular. Nah, soal ular-mengular ini ternyata sesuai dengan Cancun, kota yang dalam bahasa Maya artinya sarang ular. Barangkali kali ini mereka akan nyaman di sarangnya dan telur-telurpun mudah menetas karena terhindar dari ganasnya perubahan cuaca dan iklim. Bienvenidos, politicos—selamat datang para politikus. (IGG Maha Adi).