Ilustrasi petani tembakau. Foto : Hartonokarena/flickr.com. |
KELAP-kelip lampu Kota Temanggung dan Magelang nampak jelas dari Desa Jetis, Selopampang, Temanggung, Jawa Tengah. Desa yang berada di lereng Gunung Sumbing ini dapat ditempuh sekitar satu jam dari usat Kota Temanggung. Saat musim kemarau langit sangat cerah. Sehingga kilauan lampu di kota dapat dinikmati dengan jelas.
Walau musim kemarau tahun ini sangat panjang, tapi para petani di Jetis masih bisa tersenyum. Pada satu pagi di akhir September lalu, warga Jetis sudah sibuk. Ibu-ibu menjemur tembakau hasil rajangan.
Sedangkan para bapaknya mengaduk tembakau hasil rajangannya, sambil menuangkan pada tempat jemuran yang dibawa ibu-ibu.
Setelah semua terjemur, desa yang berada di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut itu sepi. Mereka bergerak ke kebun tembakau yang belum dipanen. Dan mereka langsung menyisir deretan pohon tembakau untuk memetik daunnya.
Daun tembakau yang mereka panen ditanam secara organik. “Sejak tahun 2004, tembakau di Lereng Gunung Sumbing ini ditanam secara organik,” kata Katon, Ketua Bidang Pertanian, Asosiasi Petani Organik Karya Tani Manunggal, di Desa Jetis.
Menurutnya, tembakau di Jetis sejak bibit hingga panen tak pernah bersentuhan dengan pestisida.Untuk pupuknya berasal dari kotoran kambing yang mereka ternak sendiri. “Kotoran dan urin kambing kami tampung dan olah menjadi pupuk,” kata bapak dua anak ini.
Dengan menggunakan pola pertanian organik, kualitas tembakau yang dihasilkan menjadi lebih baik dengan aroma yang sangat khas. Selaon iti, bertani secara organik merupakan upaya para petani menjaga kesuburan tanah dan melestarikan lingkungan. “Pupuk kimia faktanya tak membuat produksi tembakau lebih baik. Yang ada malah mengurangi kesuburan tanah,” imbuhnya.
Pilihan Katon dan para petani di Temanggung untuk menanam tembakau sebagai upaya untuk beradaptasi dengan iklim. “Kalau musim hujan kami tanam cabai dan tomat, dan tembakau kami tanam di musim kemarau,” katanya.
Bagi petani di Temanggung, tembakau tak hanya sekadar hasil bumi untuk menghidupi keluarga sebatas makan dan minum. Lebih dari itu, tembakau juga mengangkat taraf hidup petani di Temanggung lebih baik. “Dan yang pasti, tembakau inilah tanaman yang bisa diandalkan pada musim kemarau,” imbuh Katon.
Upaya beradaptasi dengan perubahan iklim juga tak hanya dilakukan warga di pegunungan seperti di Temanggung. Warga di pesisir pantai dan pulau kecil punya resiko yang lebih besar. Hujan yang tak tentu datangnya dan ombak besar membuat mereka terancam kerawanan pangan. Untuk memperoleh hasil laut terhadang ombak besar. Dan untuk bercocok tanam tergantung guyuran hujan. Itulah kondisi yang dialami warga Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat.
Sebagaimana daerah-daerah di Maluku lain pada umumnya, Kepulauan Tanimbar merupakan daerah penghasil kopra. Sejauh mata memandang, kita akan selalu melihat pohon nyiur. Bahkan, karena sangat pentingnya pohon kelapa, terdapat aturan adat di Tanimbar yang mengatur pemanfaatan kelapa.
Proses menghasilkan kopra tak mudah. Selain harus memanjat pohon kelapa yang tinggi, petani juga harus mengupas kelapa dari sabutnya. Setelah itu, kelapa yang telah dikupas harus dijemur pada teriknya matahari hingga kering.
Masalah akan muncul saat musim hujan tiba. Pengeringan kopra yang terkendala cuaca, membuat penghasilan masyarakat Tanimbar juga tersendat. Begitu penghasilan tersendat, kebutuhan pangan masyarakat juga sulit terpenuhi.
Tapi kondisi tersebut mendorong masyarakat Tanimbar yang sangat rentan dengan perubahan iklim itu menumbuhkan peluang baru. Felix Mitakda, Direktur Yayasan Sor Silai, mengatakan bahwa kondisi masyarakat yang rentan tersebut perlu dirangsang untuk kreatif. Pada 2006, Yayasan Sor Silai mendorong pembentukan kelompok-kelompok pertanian pada beberapa desa di Tanimbar. “Selanjutnya mereka membuat program penanaman pisang dengan memanfaatkan lahan-lahan yang ada,” katanya.
Jeremias Aryesem, warga Sangliat Dol, Tanimbar, mengatakan bahwa setelah terbentuk kelompok, mereka lalu membersihkan lahan. “Dengan bimbingan Sor Silai kami bersihkan dua hektar lahan. Kami membagi lahan tersebut untuk sepuluh anggota, dan kami menanam pisang di situ,” katanya.
Keuletan Jeremias dan kawan-kawannya dalam merawat tanaman pisang itu berbuah manis pada 2008, ketika pohon-pohon pisang telah berbuah dan siap dipanen. Satu sisir pisang dapat mereka jual Rp 10 ribu. “Kalau satu tandan bisa mencapai Rp 80 ribu di Pasar Saumlaki. Sekarang mereka setiap saat kita bisa makan pisang, bahkan menjualnya,” kata Jermias.
Langkah Nyata Pemerintah?
Pola-pola beradaptasi dengan perubahan iklim yang dilakukan petani di Temanggung dan Tanimbar itu muncul dengan inisiatifnya sendiri. Padahal beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas mendesak bagi Indonesia. Pemerintahan perlu mempertimbangkan aspek perubahan iklim dalam program-programnya. Seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, ketahanan pangan, pengelolaan bencana, pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota.
Masyarakat dunia sendiri di awal tahun 1990an telah menyusun United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC), yang diberlakukan pada 1994. Di dalam kerangka ini mereka mengajukan dua strategi utama, mitigasi dan adaptasi. Mitigasi meliputi pencarian cara-cara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca atau menahannya, atau menyerapnya ke hutan atau ‘penyerap’ karbon lainnya. Sementara itu adaptasi,mencakup cara-cara menghadapi perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian yang tepat, atau memanfaatkan efek-efek positifnya.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Surjono Hadi Sutjahjo mengatakan pada dasarnya yang dapat dilakukan petani pada iklim yang tidak menentu ini antara lain membuat pola tanam selingan secara berurutan. Sehingga di setiap musim petani tetap dapat memetik hasil walau penghasilannya berkurang dibanding semula. “Hal lain yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan air tadah hujan yang ditampung di embung air untuk dipompa ke ladang,” katanya.
Lalu apa peran pemerintah dalam membantu petani mengatasi masalah tersebut? Menurut Surjono, walaupun upaya nyata sampai saat ini belum ada, namun sebagai langkah awal pemerintah harus berani memulai upaya pemetaan ulang terhadap potensi iklim di Indonesia. “Dengan begitu potensi bisa dimanfaatkan dengan optimal, dan pola tanam sedapat mungkin diadaptasikan dengan potensi tersebut,” imbuhnya.
Semoga inisiatif yang kreatif dari petani dalam beradaptasi dengan perubahan iklim ini segera mendapat dukungan nyata dari pemerintah. Sehingga akan makin banyak peluang yang tumbuh pada iklim yang berubah. (Asep Saefullah).