Sekali waktu saya berkunjung ke Cagar Alam Napalano di Pulau Muna, salah satu yang menarik di dalamnya adalah pohon jati besar berdiri kokoh dan tampak perkasa yang telah berumur ratusan tahun .
Untuk mengamankan kawasan cagar alam Napabalano, La Fare hanya dibantu oleh salah seorang rekannya. “Jumlah kami disini hanya berdua,” kata La Fare yang mengeluhkan kekurangan personil untuk menjaga kawasan yang sudah mulai rawan pencurian itu. “Sejak hutan produksi kosong, kelihatannya masyarakat sudah tidak takut lagi akan kekeramatan cagar alam ini,” ungkapnya sambil menambahkan desakan ekonom i menjadi salah satu pemicu perilaku adegan liar itu (illegal logging red).
Sejak tiga bulan bertugas di Napabalo, alumni anggakatan 94 Sekolah Menengah Atas (SKMA) Makassar itu, mengaku sudah pernah menjerat pelaku pencurian kayu hingga kepengadilan. Namun karena si pelaku masih berusia 16 tahun sehingga tak sampai dipenjarakan.
Harapan La Fare kepada pemerintah tak berlebihan, penambahan personil dan peningkatan kesejahteraan petugas lapangan serta perlengkapan saat bertugas menurutnya perlu diperhatikan oleh pemerintah.
“Saya sebagai orang putra daerah di sini hanya mengharapkan agar ada penambahan tenaga untuk menjaga kawasan mengingat belakangan ini makin marak tindak pencurian kayu ke dalam kawasan hutan. Kemudian karena kami ini orang lapangan yang hanya mengharap gaji toh tidak ada honorer begitu, hanya jalan dengan tangan kosong (tak dilengkapi senjata red) apalagi kita ini tidak punya kendaraan,”terangnya.
Keberadaan Cagar Alam yang minim fasilitas itu, dan hanya berjarak 50 meter dari pemukiman warga itu, kedepan bukan tidak mungkin akan mengalami ancaman akan keberlanjutannya yang cukup serius mengingat peralatan yang dimiliki pengelolah Cagar Alam Napabalano sangat terbatas terutama peralatan keamanan.
Ancaman lebih dekat lagi yang menghantui kelestarian Cagar Alam Napabalano diungkapkan La Fare, adalah adanya rencana pemerintah setempat untuk membuat lapangan bola dan sarana hiburan lainnya tepat di samping cagar alam tersebut.“Adanya rencana aparat pemerintah di sini yang mau mendirikan lapangan sepakbola itu memang tantangan bagi kami, masalahnya kalau dibikin lapangan disitu, sangat mengganggu aktivitas satwa-satwa yang ada di dalam situ, sedangkan dengan manusia sendirian saja, mereka sangat peka sekali apalagi dengan banyak orang seperti itu,”ungkapnya.
Jelas rencana itu akan mengusik kedamaian kehidupan satwa yang ada di dalam Cagar Alam Napabalano. Yang bisa dilakukan La Fare kini hanyalah dengan pendekatan ke pemerintah kecamatan agar mau mengurunkan niat tersebut, selain itu La Fare juga mengaku telah melakukan koordinasi dengan kepala seksinya di Dinas Kehutanan Muna untuk menghadap Kepala BKSDA Provinsi Sulawesi Tenggara.
Semua itu dilakukan agar kawasan konservasi tertua di Indonesia itu bisa tetap terjaga kelestarianya. “Dulunya juga bahkan terkecil. Tapi sekarang tidak lagi, karena banyak cagar alam ditetapkan belakangan ini, luasnya lebih sedikit dari sini. Seperti cagar alam yang ada di Jawa Barat, hanya satu hektar. Hanya saya lupa namanya,”jelas La Fare.
Menurutnya pemerintah mestinya memikirkan perlunya penambahan areal 100 meter sebagai daerah penyangga kawasan Cagar Alam. Salah satu tokoh masyarakat Tampo-Napabalano Ismet Efendy, menuturkan keprihatinannya. Jati terbesar yang menjadi kebanggaan Pulau Muna itu, bisa saja menjadi jati terakhir sebagai saksi sejarah yang membuktikan kejayaan pohon jati di Pulau Muna. “Bisa saja menjadi jati terakhir yang ada di pulau ini, jika tanpa perhatian serius untuk menjaganya,” kata mantan anggota DPRD Sultra ini dengan nada prihatin.
“Jati terakhir” yang diungkapkan Ismet perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak, karena tak menutup kemungkinan jati terbesar yang menjadi kebanggaan masyarakat Muna itu akan ditumbangkan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung, sehingga kejayaan jati Muna hanya tinggal sebuah kenangan. (Marwan Azis)