Ilustrasi alat keselamatan pendakian. Dok Beritalingkungan.com
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Di ketinggian Gunung Rinjani, suara angin bisa lebih keras daripada instruksi keselamatan. Di antara jalur terjal dan udara tipis, nyawa bisa tergantung pada satu keputusan: apakah sistem pendakian cukup siap menghadapi darurat?
Kekhawatiran inilah yang mendorong Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni untuk melakukan evaluasi besar-besaran terhadap sistem keamanan pendakian di taman-taman nasional Indonesia, terutama di kawasan ikonik seperti Taman Nasional Gunung Rinjani.
“Saya ingin ada perbaikan menyeluruh. Kita harus hati-hati sekali mengelola Taman Nasional, apalagi untuk pendakian,” ujar Raja Antoni dalam sebuah rapat penting yang digelar pada Rabu (2/7/2025) di Kantor Kementerian Kehutanan di Jakarta.
Melibatkan Para Penjaga Gunung
Apa yang membuat rapat ini berbeda dari biasanya? Raja Juli tidak hanya mengumpulkan pejabat dan birokrat. Ia mengundang langsung para pejuang lapangan—mereka yang mempertaruhkan tenaga dan nyawa menjaga keselamatan pendaki. Hadir di antaranya Abdul Haris Agam dan Herna Hadi Prasetyo dari Rinjani Squad, Mustiadi dari EMHC, serta Samsul Padli dari Unit SAR Lombok Timur.
Juga hadir jajaran Kemenhut, termasuk Nandang Prihadi dari Ditjen KSDAE dan Kepala Balai TN Gunung Rinjani, Yarman.
“Saya tidak mau teori semata. Kita perlu definisi ‘safety first’ yang berasal dari orang-orang yang tahu persis apa yang terjadi di lapangan,” ujar Menhut, menegaskan pentingnya pendekatan partisipatif.
Dari RFID Hingga Jalur Berdasarkan Level Kesulitan
Di antara langkah-langkah konkret yang dibahas, adalah penerapan gelang Radio Frequency Identification (RFID) untuk melacak posisi pendaki secara real time. Teknologi ini sebelumnya telah digunakan di Gunung Merbabu dan terbukti membantu dalam proses evakuasi darurat.
Selain itu, Raja Antoni menggagas sistem prasyarat pendakian berbasis tingkat kesulitan gunung. Dengan kata lain, mendaki bukan lagi semata urusan tiket dan fisik, tapi soal pengetahuan, kesiapan, dan tanggung jawab.
“Kita tidak bisa menyamakan semua gunung. Gunung Rinjani tidak sama dengan Papandayan, dan keduanya berbeda dari Cartenz atau Tambora,” tegasnya.
Menjaga Gunung, Menjaga Manusia
Lebih dari sekadar evaluasi teknis, pertemuan ini menunjukkan kesadaran baru: mendaki adalah hak, tapi keselamatan adalah kewajiban bersama.
Di negeri yang diberkahi 127 gunung berapi aktif, mendaki menjadi bagian dari identitas, sekaligus risiko yang tak boleh diabaikan.
Dan di tengah semua itu, para penjaga gunung—guide, porter, relawan SAR—adalah garda terdepan. Mengajak mereka bicara dalam penyusunan kebijakan bukan hanya soal inklusi, tapi soal nyawa.
Ketika hutan dan gunung tak lagi jadi tempat yang aman untuk petualangan, maka kita tak hanya kehilangan lanskap, tapi juga kehilangan jiwa dari negeri ini.
Kini, lewat tangan Raja Juli dan suara para penjaga gunung, harapan itu ditata ulang. Langkah kecil menuju pendakian yang lebih aman sedang dimulai. Bukan hanya di Rinjani, tapi untuk seluruh punggung-punggung bumi Nusantara (Marwan Aziz)