Bekantan, Monyet si Hidung. Foto : Bina Karos/Beritalingkungan.com |
Suasana perjalanan pulang dari Taman Nasional Tanung Puting tetap mengasikkan, selain pemandangan alam yang luar biasa indahnya, keberuntungan masih menghampiri kami. Seekor Bekantan, kera si hidung panjang terlihat bertengger di pepohonan.
Kami juga menyaksikan sejumlah satwa seperti monyet, buaya dan burung. Dari sekian saya jumpai, saya sangat tertarik dengan Bekantan, karena ini pertama kalinya meliat monyet yang memiliki hidung panjang dan berwarna coklat kemerahan. Tak heran satwa yang menjadi maskot Provinsi Kalimatan Selatan juga biasa disebut Monyet Belanda.
Bekantan merupakan sejenis kera yang mempunyai ciri khas hidung yang panjang dan besar dengan rambut berwarna coklat kemerahan. Di negara-negara lain disebut dengan beberapa nama seperti Kera Bekantan (Malaysia), Bangkatan (Brunei), Neusaap (Belanda). Masyarakat Kalimantan sendiri memberikan beberapa nama pada spesies kera berhidung panjang ini seperti Kera Belanda, Pika, Bahara Bentangan, Raseng dan Kahau.
Bekantan yang merupakan satu dari dua spesies anggota Genus Nasalis ini sebenarnya terdiri atas dua subspesies yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis larvatus orientalis. Nasalis larvatus larvatus terdapat dihampir seluruh bagian pulau Kalimantan sedangkan Nasalis larvatus orientalis terdapat di bagian timur laut dari Pulau Kalimantan.
Status konservasi Bekantan (Nasalis larvatus) oleh IUCN Redlist sejak tahun 2000 dimasukkan dalam status konservasi kategori Endangered (Terancam Kepunahan) setelah sebelumnya masuk kategori “Rentan” (Vulnerable; VU). Bekantan juga terdaftar pada CITES sebagai Apendix I atau tidak boleh diperdagangkan secara internasional.
Populasi Bekantan dari tahun ke tahun terus menurun dratis. Berdasarkan data IUCN, pada tahun 1987 diperkirakan terdapat sekitar 260.000 Bekantan di Pulau Kalimantan tetapi pada tahun 2008 diperkirakan jumlah itu menurun drastis dan hanya tersisa sekitar 25.000. Hal ini disebabkan oleh banyaknya habitat yang mulai beralih fungsi dan kebakaran hutan.
Satwa ini dijadikan maskot dan menjadi kebanggaan Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan SK Gubernur Kalsel No. 29 Tahun 1990 tanggal 16 Januari 1990. Selain itu, satwa ini juga menjadi maskot Dunia Fantasi Ancol.
Hidung panjang dan besar pada Bekantan menurut beberapa literatur hanya dimiliki oleh spesies jantan. Fungsi dari hidung besar pada bekantan jantan hingga saat ini masih tidak jelas, namun ini mungkin disebabkan oleh seleksi alam. Kera betina lebih memilih jantan dengan hidung besar sebagai pasangannya. Karena hidungnya inilah, bekantan dikenal juga sebagai Monyet Belanda.
Bekantan jantan berukuran lebih besar dari betina. Ukurannya dapat mencapai 75 cm dengan berat mencapai 24 kg. Kera Bekantan betina berukuran sekitar 60 cm dengan berat 12 kg. Spesies ini juga memiliki perut yang besar (buncit). Perut buncit ini sebagai akibat dari kebiasaan mengkonsumsi makanannya yang selain mengonsumsi buah-buahan dan biji-bijian mereka juga memakan dedaunan yang menghasilkan banyak gas pada waktu dicerna.
Bekantan hidup secara berkelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seekor Bekantan jantan yang besar dan kuat. Biasanya dalam satu kelompok berjumlah sekitar 10 sampai 30 ekor. Satwa yang dilindungi ini lebih banyak menghabiskan waktu di atas pohon. Walaupun demikian Bekantan juga mampu berenang dan menyelam dengan baik, terkadang terlihat berenang menyeberang sungai atau bahkan berenang dari satu pulau ke pulau lain.
Seekor Bekantan betina mempunyai masa kehamilan sekitar166 hari atau 5-6 bulan dan hanya melahirkan satu ekor anak dalam sekali masa kehamilan. Anak Bekantan ini akan bersama induknya hingga menginjak dewasa (berumur 4-5 tahun).
Bekantan tersebar dan endemik di hutan bakau, rawa dan hutan pantai di pulau Kalimantan. Habitat Bekantan selain bisa dijumpai di Taman Nasional Tanjung Puting, satwa ini juga dapat dijumpai di beberapa lokasi antara lain di Suaka Margasatwa Pleihari Tanah Laut, SM Pleihari Martapura, Cagar Alam (CA) Pulau Kaget, CA Gunung Kentawan, CA Selat Sebuku dan Teluk Kelumpang. Juga terdapat di pinggiran Sungai Barito, Sungai Negara, Sungai Paminggir, Sungai Tapin, Pulau Bakut dan Pulau Kembang.
Dalam perjalanan pulang, kami juga menjumpai anak buaya muara terlihat menampakkan kepalanya di permukaan air sungai, meskipun hanya sekian detik. Biasanya mereka jarang menampakkan diri. Kejutan lain, saat kami melihat seekor burung enggang terbang di antara dahan pepohonan. Kami juga disuguhkan pemandangan unik, yaitu kumpulan bekantan dan monyet yang bertengger berkelompok di pepohonan di sepanjang pinggiran Sungai Sekonyer.
Setelah pemandangan indah itu berlalu, dan hari mulai gelap. Tiba-tiba hujan lebat disertai kilatan petir menyertai perjalanan kami selama hampir dua jam. Berkali-kali telapak tangan harus menutup ke dua telinga saat kilatan petir disertai suara gemuruh keras di atas langit. Karena hujan begitu deras, kami menghindar dari tampiasan hujan ke belakang dek kapal. Sungguh pengalaman yang mengasikkan.
Akhirnya sekitar pukul 20:30 WIB, kami tiba kembali di pelabuhan TNTP di teluk Kumai. Usai perjalanan ini, ada pesan penting yang harus dijalankan dan dikumandangkan. Rawat dan peliharalah alam seperti kita merawat anak cucu kita!.(Bina Karos)