![]() |
Foto : MUI.or.id |
Dengan dibatalkan keberadaan UU SDA, MK menghidupkan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya pembentukkan undang-undang baru. Karenanya, segala bentuk pengelolaan air tidak lagi berdasar pada UU SDA, tetapi UU Pengairan.
“Menyatakan UU SDA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan UU Pengairan berlaku kembali,” ucap Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 85/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Rabu (18/2) seperti dikutip dari Hukumonline.com.
Permohonan pengujian sejumlah pasal dalam UU SDA diajukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kelompok masyarakat, dan sejumlah tokoh di antaranya Amidhan, Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, M. Hatta Taliwang, Rachmawati Soekarnoputri, dan Fahmi Idris. Penerapan pasal-pasal itu dinilai membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan SDA yang merugikan masyarakat sebagai pengguna air.
Meski mengakui keterlibatan swasta dijamin dalam UU SDA dan putusan MK No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005 yang mengakui peran swasta dan telah mewajibkan pemerintah memenuhi hak atas air sebagai kebutuhan pokok, di luar hak guna air. Namun, penafsiran MK itu telah diselewengkan secara normatif yang berdampak teknis pelaksanaannya.
Buktinya, dapat dilihat Pasal 1 angka 9 PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang menyebut penyelenggara pengembangan SPAM adalah BUMN/BUMN, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat. Padahal, Pasal 40 ayat (2) UU SDA sudah dinyatakan pengembangan SPAM tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah.
Ini artinya, PP Nomor 16 Tahun 2005 merupakan swastanisasi terselubung dan pengingkaran tafsir konstitusional MK. Kondisi ini telah melahirkan mindset (pola pikir) pengelola air yang selalu profit oriented dengan keuntungan maksimum bagi pemegang sahamnya. Hal ini jelas pasal-pasal privatisasi itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, sehingga harus dinyatakan dibatalkan.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup orang banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) haruslah dikuasai negara. Sehingga, dalam pengusahaan air harus ada pembatasan ketat sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan. Setidaknya, ada lima poin pembatasan yang ditegaskan MK dalam hal pembatasan pengelolaan air.
Pertama, setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat. Soalnya, selain dikuasai negara, air ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu hak asasi manusia, yang berdasarkan Pasal 28I ayat (4) UUD harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Ketiganya, MK pengelolaan air pun harus mengingat kelestarian lingkungan.
Keempat, sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak air menurut Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 harus dalam pengawasan dan pengendalian oleh negara secara mutlak. Kelima, hak pengelolaan air mutlak milik negara, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD.
“Apabila semua pembatasan tersebut terpenuhi dan masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan memberi izin pada swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto saat membacakan pertimbangannya.
Meski pemerintah telah menetapkan peraturan pemerintah (PP) terkait SDA, keenam PP tetap tidak memenuhi prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air yang telah disebutkan di atas. “Karena UU SDA dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, untuk mencegah terjadinya kekosongan pengaturan SDA dan sambl menunggu pembentukan UU baru, maka UU Pengairan Pengairan diberlakukan kembali.”
Usai persidangan, kuasa hukum Muhammdiyah, Ibnu Sina Chandranegara mengatakan putusan MK membuktikan konstitusi masih berpihak pada kepentingan umum dimana hak air tidak bisa dikotak-kotakan dengan hak guna air. Dengan putusan MK, seluruh norma yang terkandung dalam UU SDA rontok dan harus kembali menggunakan UU Pengairan tahun 1974.
“Soalnya, praktiknya, penggunaan air dalam UU SDA seperti sistem agraria dengan menggunakan hak guna air,” kata Ibnu Sina.
Ditanya peran swasta dalam pengelolaan air, dirinya menilai air harus diserahkan pada BUMN maupun BUMD untuk dikelola. Dia berharap ke depannya pemerintah membuat rumusan baru mengenai UU SDA walaupun saat ini dikembalikan pada UU Pengairan.
–>