Akhirnya saya dilantik sebagai menteri lingkungan hidup. Empat guru besar pernah duduk di sini, seorang diantaranya profesor ekonomi, sisanya dokter umum, dosen filsafat, dua politikus senior dan seorang pejabat karir.
Jadi, pertanyaan cerewet apakah seorang profesor ekonomi seperti saya cocok di sini, tak relevan lagi. Latar belakang menterinya warna-warni, dan catatan sejarah ini sudah membuat saya nyaman, bahkan sebelum benar-benar bekerja.
Omong-omong, karena belum mengenal tiap sudut rimba lingkungan hidup ini, ada baiknya saya mulai analisis SWOT untuk melihat berbagai peluang yang mendukung keberhasilan dan mungkin bisa mengeliminasi ancaman. Kementerian negara lingkungan hidup sebenarnya kementerian yang kuat, kalau orang cermat melihat. Bicara soal kekuatan—strengh, titik tumpunya adalah wewenang yang diatur Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Beleid ini memperluas kewenangan menteri lingkungan hidup, karena selain wewenang mengesahkan dokumen Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang melekat lebih dulu, kini ada wewenang untuk menyusun dan menetapkan wilayah ekoregion, kajian lingkungan hidup strategis, dan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kalau saja tiga dokumen terakhir ini dikerjakan dengan benar, hampir seluruh kekayaan alam dan potensi Indonesia bisa terbaca.
Di luar kewenangan formil, kementerian punya beberapa program yang populer dan bergengsi, sebut saja Adipura, Kalpataru, dan Proper. Meskipun sukarela, tetapi ketiga penghargaan ini dijadikan acuan kinerja pemerintahan, perusahaan, dan berita yang seksi bagi para jurnalis. Setidaknya saya bisa mendapatkan pengaruh dan simpati di sektor ini. Kementerian ini juga punya latar belakang sejarah hubungan yang manis dengan para akademisi, kelompok non-pemerintah dan wartawan. Inilah kekuatan yang lebih riil dibandingkan wewenang formil itu, karena saya berhadapan dengan individu-individu yang bisa menggerakkan, dan tinggal memainkan kartunya dimana perlu.
Kelemahan—weakness, kementerian ini banyak. Orang sudah bicara tentang kementerian tanpa portofolio, lemah dalam koordinasi, tidak berwibawa di hadapan kementerian sektoral, dan penegakan hukum lingkungan yang lemah karena tak punya agen eksekutor. Tambah satu, ketidakseriusan Presiden. Tampaknya sejak pertengahan era 1980-an, ketika Emil Salim berani bersikap keras terhadap perusahaan pencemar lingkungan, sejak itu pula semua Presiden menghindari memilih menteri lingkungan yang “tak bisa dipegang buntutnya”, lalu memilih calon menteri bak dagang sapi. Kalaupun ada yang bagus, itu artinya berkah tersembunyi. Saya belum memutuskan, apakah akan jadi berkah atau jadi buntut yang manut, karena soal politik praktis, terlalu riskan diputuskan terlalu pagi.
Satu hal yang pasti, saya punya banyak peluang-opportunity. Kalau ingin mendapatkan simpati cepat, saya bisa memisahkan kembali Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) dari kementerian ini. Bila Bapedal muncul lagi, kementerian ini punya tangan eksekutor yang kuat, seperti Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat.
Peluang lain adalah keberpihakan dalam kasus besar. Kementerian lingkungan hidup terlanjur diidentikkan dengan kasus lingkungan besar, contohnya kasus Freeport, Toba Pulp Lestari (Indorayon), sekarang ditambah kasus Lapindo Brantas, mungkin juga intrik pencekalan direktur Greenpeace, ulah kotor beberapa perusahaan sawit membabat gambut, dan masih berderet kasus lain. Menteri lingkungan hanya perlu berkomentar sedikit keras terhadap kasus-kasus itu, maka dia akan berada di tengah panggung politik Jakarta. Bila peluang ini akan saya pakai, analisis SWOT tak memadai lagi. Saya membutuhkan cost and benefit analysis untuk menakar rugi labanya atau metode Delphi bersama teman, sambil makan malam.
Peluang unjuk kinerja paling dekat adalah konferensi perubahan iklim PBB di Durban, Afrika Selatan, akhir November. Ibarat pelari marathon, saya masih segar bugar karena mulai berlari satu kilometer terakhir menjelang Durban. Indonesia punya posisi penting dan disegani bila bicara soal program pengurangan emisi global, sehingga tak sulit untuk segera masuk ke jajaran elit menteri lingkungan hidup dunia.
Tentu saja saya tidak akan melupakan ancaman-threat. Seorang menteri lingkungan hidup mendapat ancaman terbesar, justru datang dari kolega saya para ekonom dan tempat mereka mencari makan yaitu para pengusaha. Mereka ini adalah sekumpulan mahluk yang, barangkali, paling pragmatis di dunia. Kelompok yang merasionalkan semuanya dengan hitungan rumit ekonometrika. Sekali saja lingkungan hidup tak bisa dikuantifikasi, maka mereka mengabaikan nilainya, menyebutnya open access resources dan mengeksploitasinya sampai tandas.
Saya belum satu bulan menjabat menteri lingkungan hidup, dan rupanya seorang menteri memikirkan banyak sekali hal di negeri ini. Bekerja sesuai aturan tidak cukup, karena harus menghadapi tembakan para koboi Senayan, intrik dan mungkin intervensi dari atasan dan kolega menteri, serta bujuk rayu uang dan kekuasaan.
Saya belum memutuskan ingin dikenang dengan cara bagaimana dan warna apa di kemudian hari, entah sebagai menteri hitam, abu-abu seperti kebanyakan menteri lingkungan sebelum saya, atau putih bersih. Ingat, saya ini guru besar ilmu ekonomi, salah satu cabang ilmu paling pragmatis di muka bumi. Segala sesuatu bisa terjadi sampai tahun 2014, dan rasanya tidak pernah episode hidup saya akan sepenting ini. Semoga Tuhan melindungi saya, amin.
* Penulis adalah Direktur The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Senior Editor Beritalingkungan.com