Ilustrasi banjir. Foto : Pixabay.
NEW YORK, BERITALINGKUNGAN.COM– Untuk menilai risiko cuaca ekstrem di suatu komunitas, para pembuat kebijakan pertama-tama mengandalkan model iklim global yang dapat dijalankan beberapa dekade, bahkan berabad-abad ke depan, namun hanya dengan resolusi kasar.
Kini muncul pendekatan baru yang dikembangkan oleh para peneliti di Institut Teknologi Massachusetts (MIT) telah berhasil “menyempurnakan” simulasi iklim yang ada, mendekatkannya pada realitas masa depan.
Pendekatan ini sangat penting dapat mensimulasikan kondisi iklim beberapa dekade. Para pembuat kebijakan biasanya menggunakan model ini untuk mengevaluasi kondisi iklim masa depan di area luas, seperti Amerika Serikat bagian timur laut, tetapi model tersebut tidak spesifik untuk lokasi tertentu seperti Boston.
Untuk memperkirakan risiko cuaca ekstrem di Boston, seperti banjir, pembuat kebijakan dapat menggabungkan prediksi skala besar dari model kasar dengan model resolusi lebih tinggi yang disesuaikan untuk memperkirakan frekuensi banjir merusak seiring pemanasan iklim. Namun, analisis risiko ini hanya seakurat prediksi dari model iklim kasar tersebut.
Themistoklis Sapsis, Profesor William I. Koch dan direktur Pusat Teknik Oseanografi di Departemen Teknik Mesin MIT, menekankan bahwa kesalahan dalam memprediksi kondisi skala besar dapat mengaburkan pemahaman tentang bagaimana kejadian ekstrem terjadi pada skala yang lebih kecil, seperti di kota-kota individu.
Metode baru yang dikembangkan oleh Sapsis dan koleganya mengkombinasikan pembelajaran mesin dengan teori sistem dinamis untuk “menyempurnakan” prediksi dari model iklim kasar. Pendekatan ini mengarahkan simulasi model iklim ke pola yang lebih realistis pada skala besar. Ketika digabungkan dengan model skala lebih kecil untuk memprediksi kejadian cuaca tertentu seperti siklon tropis atau banjir, pendekatan tim menghasilkan prediksi yang lebih akurat tentang frekuensi lokasi tertentu akan mengalami kejadian tersebut dalam beberapa dekade mendatang, dibandingkan dengan prediksi yang dibuat tanpa skema koreksi.
Sapsis menyatakan skema koreksi baru ini bersifat umum dan dapat diterapkan pada model iklim global apa pun. Setelah dikoreksi, model-model ini dapat membantu menentukan di mana dan seberapa sering cuaca ekstrem akan terjadi seiring meningkatnya suhu global dalam beberapa tahun mendatang.
“Perubahan iklim akan berdampak pada setiap aspek kehidupan manusia, dan setiap jenis kehidupan di planet ini, dari biodiversitas hingga keamanan pangan hingga ekonomi,” ujar Sapsis.
“Jika kita memiliki kemampuan untuk mengetahui secara akurat bagaimana cuaca ekstrem akan berubah, terutama di lokasi tertentu, hal itu dapat membuat banyak perbedaan dalam hal persiapan dan melakukan rekayasa yang tepat untuk menemukan solusi. Ini adalah metode yang dapat membuka jalan untuk melakukan itu.”tuturnya.
Hasil penelitian tim dipublikasikan telah dalam Journal of Advances in Modeling Earth Systems. Penulis bersama studi dari MIT termasuk postdoc Benedikt Barthel Sorensen dan Alexis-Tzianni Charalampopoulos SM ’19, PhD ’23, bersama dengan Shixuan Zhang, Bryce Harrop, dan Ruby Leung dari Pacific Northwest National Laboratory di negara bagian Washington.
Projek ini didukung, sebagian, oleh Badan Proyek Penelitian Lanjutan Pertahanan AS (DARPA). (Marwan Aziz)