Pertambangan batubara di Kalimantan Timur. |
SAMARINDA, BL- Penyediaan energi dari batubara sangat berdampak pada air. Produksi batubara membutuhkan konsumsi air yang tinggi dan seringkali menyebabkan pencemaran.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi publik yang diadakan bersamaan dengan pameran foto berjudul Batubara Meracuni Air, kolaborasi antara JATAM Kaltim dengan Greenpeace Indonesia di Samarinda, Kaltim pada 26 April 2014 lalu.
Sekitar 120 ribu liter air dibutuhkan untuk memproduksi 105 ribu ton batubara dalam produksi KPC di Kutai Timur setiap harinya. Secara keseluruhan dibutuhkan 1,100 liter air untuk memproduksi tiap satu ton batubara.
Untuk pengangkutan, batubara mengandalkan transportasi air. Sungai-sungai di Kalimantan sejak dulu dijadikan sarana pengangkutan berbagai komoditas, mulai dari kayu, migas, hingga batubara.
Di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Sungai Barito dan Sungai Mahakam dipenuhi oleh tongkang dan ponton yang mengangkut batubara.Tepi sungai juga tak luput dari kegiatan batubara, mulai dari penumpukan batubara hingga aktivitas pelabuhan batubara. Dengan kata lain, industri batubara sangat beresiko meracuni air dan sungai-sungai Kalimantan, bahkan membahayakan sumber air warga lainnya.
Di Kalimantan Timur daerah aliran Sungai Mahakam juga terancam oleh pertambangan batubara.Di Provinsi ini terdapat 31 daerah aliran sungai (DAS), salah satu yang terbesar adalah DAS Mahakam, luasnya 7,8 juta hektar yang meliputi 5 kab/kota dari 10 kab/kota se-Kalimantan Timur. Dari total luasan tersebut, 40 persen atau 3,1 juta hektar diantaranya sudah dikuasai oleh konsesi pertambangan batubara.
Seperti di Makroman, Kecamatan Sambutan, para petani terpaksa menggunakan air dari lubang bekas tambang batubara untuk keperluan pengairan sawah. Airdari lubang bekas tambang amat berbahaya dan beracun, zat asam tambang di salah satu lubang tambang batubara di Makroman bahkan mencapai level yang berbahaya.
Bahan-bahan beracun yang ditinggalkan oleh air dalam lubang tambang mengandung Zat Asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) dan beberapa logam berat berbahaya seperti Mangan (Mn), Besi (Fe), Alumunium (Al), Cadmium (Cd) dan Arsenic (Ar)[4].Bahan-bahan berbahaya tersebut bersifat akumulatif, efeknya baru terasa setelah beberapa tahun kemudian.Pada anak-anak, bahan-bahan beracun di air akibat pertambangan batubara dapat berpengaruh pada kesehatan dan pertumbuhan generasi masa depan tersebut.
“Samarinda kini menjadi kota yang amat berbahaya akibat perluasan pertambangan batubara. Ruang hidup warga semakin sempit. 71 persen luas kota Samarinda dikuasai oleh konsesi tambang, membuat kegiatan pertambangan batubara yang beracun ini amat dekat dengan pemukiman warga kota,” kata Merah Johansyah Ismail, Koordinator JATAM Kaltim melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com.
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Samarinda bahkan mengatakan terdapat 150 lubang bekas tambang yang tak ditutup dan berada dekat pemukiman warga[5]. Lubang-lubang bekas tambang tersebut telah memakan korban jiwa 8 anak dalam tigatahun terakhir ini.
“Carut marut permasalahan pertambangan batubara tidak lepas dari lemahnya kepemimpinan Indonesia untuk mengedepankan kepentingan rakyat dan melestarikan lingkungan,” kata Arif Fiyanto, juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
“Tahun ini adalah tahun penentuan bagi Indonesia, inilah saatnya kita mendesak Presiden terpilih untuk 100% meninggalkan jalur ekonomi yang mengandalkan eksploitasi alam sehingga merugikan masyarakat lokal juga meninggalkan jejak kerusakan alam,”tandasnya. (Marwan).