NUSA DUA-BALI, BERITALINGKUNGAN.COM – Pendiri Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) Mama Loretha menjelaskan bahwa perubahan iklim yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) telah merugikan masyarakat. Menurutnya, dampak buruk mulai dirasakan pada tahun 2011.
“Apa yang kami lihat dan alami di 2011 adalah yang paling nyata di tanaman perkebunan. Coklat busuk buah, harga kopra jatuh. Jambu mete dan bunga kopi tidak sempat berbuah. Jadi rusak bunganya,” ungkapnya saat menjadi narasumber pada sesi diskusi “Broken Promises; The Reality of Climate Finance and Urgent Need to Fix It” di Nusa Dua – Bali, (6/10).
Bagi Mama Loretha yang tinggal Pulau Adonara, Kab. Flores Timur, dampak perubahan iklim telah menyebabkan kerugian finansial secara massal. Hal itu bermula ketika musim hujan berlangsung lama hingga masuk ke musim kemarau.
“Hujan yang seharusnya berhenti di bulan Maret, tapi dia lanjut terus nih. Akibatnya, kita ramai-ramai miskin massal, se Pulau Flores dan kepulauan,” ujarnya.
Sebelumnya, Mama Loretha sempat terpikir bahwa anomali cuaca hanya terjadi di Pulau Adonara. Ternyata anggapannya keliru, karena perubahan cuaca ekstrem terjadi merata di seluruh Provinsi NTT.
“Waktu itu saya berpikir bahwa yang mengalami ini hanya di Adonara, tetapi ternyata seluruh Flores dan kepulauan. Solor juga kena, Pulau Rote, Sabu, Sumba, semua kena. Se-Nusa Tenggara Timur,” ungkapnya.
Sampai suatu ketika, inisiatif Sorgum sebagai pangan lokal mulai dikembangkan, Mama Loretha melihatnya sebagai peluang yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
“Ternyata Sorgum lebih tahan terhadap perubahan iklim dan memang sudah ada di Nusa Tenggara Timur sejak lama,” katanya. Terbukti, ketika musim penghujan yang berlangsung lama, Sorgum tetap tumbuh.
“Di tahun 2015, kita mengalami curah hujan yang cukup tinggi. Lalu kemudian kekeringan yang luar biasa, El nino tahun 2016,” ungkap Mama Loretha.
“Di masa itu, produksi jagung turun. Hasil padi juga tidak jadi. Fisiknya kosong dan dibalas tahun 2021 terjadi Lanina basah,” imbuhnya.
Ternyata hanya Sorgum yang mampu bertahan. “Ini menjadi solusi. Dia mampu tumbuh dan berbulir berkali-kali,” terangnya.
Kemudian inisiatif menanam Sorgum dipimpin langsung oleh masyarakat. Salah satunya oleh Mama Loretha bersama Yaspensel. Menurutnya, inisiatif tersebut merupakan solusi iklim berbasis lokal.
“Lokal karena dipimpin oleh masyarakat itu sendiri,” tegasnya.
Hanya saja, tantangan yang dihadapi juga tidak sedikit. Dari sisi kelembagaan, Mama Loretha sempat mengeluhkan sulitnya mengakses dana-dana perubahan iklim.
“Saya sempat sedih, ketika banyak tawaran yang masuk dan kita mendengar informasi pendanaan. Bagaimana mendapatkan dana itu? Ternyata harus diimbangi dengan administrasi yang baik,” ujar Mama Loretha yang juga tergabung dalam “Koalisi Pangan Baik”.
Hal itu merupakan tantangan, ketika syarat administrasi versus fakta lapangan dipaksa berhadap-hadapan. “Maksud saya disini, orang pandai menulis, laporannya bagus, tetapi sebenarnya riil di lapangannya itu gak benar,” ungkapnya.
Sementara fakta di lapangan menunjukkan jika pembangunan di NTT dan Indonesia timur lebih berfokus kepada infrastruktur (jalan, jembatan dan internet). Temuan itu menjadi keprihatinan tersendiri bagi Mama Loretha, karena ternyata dana perubahan iklim lebih ditujukan kepada investasi skala besar, bukannya menjangkau kelompok rentan.
“Pendanaan tersebut setelah saya melihat siapa yang mendapatkan, itu lebih fokus kepada investasi skala besar,” katanya.
Hal itu membuat Mama Loretha sempat berpikir, “Ya sudahlah. Kalau mereka tidak kasih kita dana, kita masih bisa bergerak.”
Secara umum, komunitas seperti Yaspensel yang dipimpin Mama Loretha kesulitan mendapatkan akses pendanaan untuk mengatasi krisis iklim, karena persyaratan yang rumit. Sejauh ini mereka hanya bermodalkan community base, yakni kehadiran para petani yang mendukung gerakan pangan lokal. Juga dibantu oleh dukungan organisasi masyarakat sipil dan keuskupan.
“Ini kita bersama-sama untuk bagaimana mengatasi perubahan iklim walaupun belum ada dukungan dana waktu itu,” paparnya.
Untuk itu, dukungan kebijakan menjadi salah satu strategi yang penting untuk dipikirkan. Mama Loretha berharap adanya kebijakan yang berpihak terhadap komunitas sebagai kelompok rentan di level desa, kabupaten, provinsi hingga nasional.
“Itu tergantung dari base practise yang relevankah di konteks level kebijakan yang mana. Tentu ini dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, seperti kaum perempuan, pemuda, kaum disabilitas, juga pemerintah daerah harus bersama-sama terlibat,” terangnya.
Selain itu, komunitas harus tetap mengedepankan kearifan lokal, karena terbukti memberi banyak manfaat dan adaptif terhadap perubahan iklim. Kearifan lokal juga yang menuntun masyarakat agar tidak merusak alam.
“Jangan latah. Mentang-mentang Presiden Jokowi perintahkan tanam sorgum, terus semua kita latah nih,” ujar Mama Loretha.
Dia menambahkan, “Biarin aja itu Papua tanam sagu. Sulawesi tetap sebagai kantong Padi dan Jagung. NTT sorgum, jagung dan kapas karena Indonesia tidak punya kebun kapas. Lalu kacang-kacangan,” ungkapnya.
Khusus kacang-kacangan, menurut Mama Loretha jangan dianggap sepele. Pasalnya, kacang merupakan sumber protein alami. “Kacang-kacangan ternyata sangat adaptif dengan perubahan iklim,” ujarnya.
Lebih jauh, Mama Loretha menegaskan bahwa aksi adaptasi terhadap perubahan iklim telah mereka lakukan, meskipun sifat inisitifnya kecil. Dari hal-hal kecil itu, mereka melakukan perubahan.
“Selama ini kemana dukungan itu untuk kita yang sudah benar-benar melakukan inisitif yang mungkin dianggap kecil dalam mengantisipasi perubahan iklim?” tanya Mama Loretha.
Untuk itu, dia mengusulkan agar semua komunitas berjejaring serta melakukannya di tingkat lokal, sehingga memudahkan saat mengakses pendanaan iklim. Dan jika memang ada pendanaan yang lebih besar, seharusnya tetap menyentuh level akar rumput.
” Dana itu harus tetap dikelola oleh masyarakat lokal itu sendiri,” tegasnya.
Jangan sampai, dana yang seharusnya diperuntukkan bagi komunitas rentan, ternyata diambil alih oleh pihak-pihak tertentu. “Karena dana perubahan iklim bukan hanya untuk industri besar yang mengedapankan kapital, tetapi berangkatlah dari kearifan lokal di daerah masing-masing,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)