LOMBOK, BL- Penyelesaian identifikasi dan pendokumentasian masyarakat adat menjadi penting untuk dilakukan, seiring semakin banyaknya tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan dari negara dan makin masifnya pembukaan lahan oleh perkebunan besar dan kegiatan pertambangan.
Hal tersebut disampaikan oleh Kasmita Widodo, Koordinator Working Group Indigenous Indonesia-People Indonesia (WGII) dalam Konferensi Pers ICCA South East Asia Knowledge Sharing Capacity Building Event di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Jum’at, 21 Agustus 2015.
“Saat ini WGII sedang melengkapi dokumentasi dan pemetaan wilayah adat-lokal. Tantangan terbesarnya tetap menjaga kelestarian alam dan lingkungan di wilayah masyarakat adat-lokal. Harapannya, WGII dapat menjadi simpul jaringan gerakan pelestarian alam dan kearifan lokal yang ada di Indonesia,” kata Kasmita melalui siaran persnya yang diterima Beritalingkungan.com.
Banyak sekali upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat adat dalam melestarikan alam dan wilayahnya. Masyarakat Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan misalnya, telah mempraktekan Borong Karamaka dari generasi ke generasi. Masyarakat Haruku di Maluku mempraktekan Sasi dalam memantau pertumbuhan ikan lompa, untuk memastikan ketersediaan saat waktu panen tiba dan sekaligus memastikan regenerasi populasi ikan lompa. Masyarakat Dayak Kenyah di Malinau, Kalimantan Utara yang melindungi kawasan hutan dan daerah aliran sungai dalam bentuk Tana Ulen.
“Di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pemerintah daerah telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 9/2006 Lombok Timur dan No. 10/2006 yang mengatur pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat local. Perda ini juga dikenal dengan awig-awig pendekatan adat dan partisipatif untuk pengelolaan sumber daya,” ujar Amin Abdullah, Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) Lombok. “Namun penerapan awig-awig ini juga membutuhkan dukungan dari pemerintah dan kesadaran masyarakat agar tradisi melaut yang arif tetap lestari,” tambah Amin.
Pentingnya pengakuan dan dukungan Negara dalam identifikasi masyarakat adat dan kebutuhannya juga dirasakan oleh oleh partisan dari Negara lain, Filiphina, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Timor Leste dan Taiwan. Di Vietnam, saat ini mereka juga akan membentuk Working Group dan akan melakukan identifikasi tantangan masyarakat adat di Vietnam.
Di Sabah, Malaysia, sudah melangkah lebih maju. Mereka akan mengadakan pertemuan semua stakeholder yang terkait seperti LSM, Pemerintahan, Donor dan Komunitas adat untuk membentuk suatu Kelompok kerja. “Selain target membentuk suatu working group, tujuan kami adalah ingin menjunjung kembali kearifan lokal yang ada di Malaysia,” ungkap Gordon John Thomas dari PACOS Trust yang selama ini aktif mendampingin masyarakat adat di Sabah, Malaysia.
Salah satu kearifan lokal masyarakat adat di Sabah, Malaysia adalah Tagal atau peraturan lokal. Tagal Sungai misalnya, berisi aturan adat dalam mengambil ikan. Mereka memiliki zona-zona yang berbeda dalam menangkap ikan di sungai. Setiap zona mempunyai aturan penangkapan yang berbeda-beda sesuai dengan ikan-ikan yang dilindungi. Zona merah adalah wilayah sungai dimana ikan-ikannya harus dilindungi, dan hanya boleh mengambil ikan dalam jangka waktu tertentu untuk dikonsumsi. Zona kuning dan hijau merupakan zona bahaya untuk menangkap ikan dari jenis yang lainnya.
Melihat tantangan ini, ICCA Consortiom hadir untuk menguatkan kearifan lokal di semua Negara anggota. Dalam kegiatan ini hadir pula Terence Hay-Edie, Programme Manager GSI Support UNDP GEF SGP. Global Support Initiative atau GSI merupakan kolaborasi inisiatif yang didukung oleh UNDP GEF SGP, Kementerian Lingkungan Jerman (BMU), ICCA Consortium, IUCN dan UNEP WCMC Mendukung ICCA serta promosi keefektifannya melalui peningkatan kapasitas ICCA Consortium. “Kami melihat banyaknya potensi sumber daya alam dan budaya yang tinggi di Indonesia. Senang sekali dalam kegiatan ini kita saling berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang masyarakat adat di Asia Tenggara terutama di Indonesia yang perlu digali dan didukung,” tutup Terence Hay-Edie. –>